Search + histats

Sunday, 3 January 2016

Natural Sense ★34

Author : Rukira Matsunori
Rated : T
Genre : AU/ gajeromance/ BL (MaleXMale)
Fandom(s) : the GazettE, alicenine, A(ACE), ViViD, Versailles, dkk?
Pairing(s) : Uruha x Ruki? Ruki x Uruha?, Tora x Saga.
Chapter(s) : 34
Warning : DRAMA~ LEBE~ XD ! gak!baca!ulang!typos! Rada ero[r] dan kata-kata kotor(?)
Length : 16 Pages (4410 words)
Note : Saia mengerti jika kalian bosan lol~ ini sudah chapter 34 !! Tapi manaaaa tanda akan owarinya? *plak* Ah, sungguh -.- kalo bisa saia juga pengen cepet selesai! Tapi masih ada beberapa yang belum terselesaikan DX gak bisa dipaksain selesai *plak lagi* Saia benar-benar minta maaf!! Dan ini.... err~ hhu ✘Д✘


Chap 34 : ☆~Glimmer~☆



Natural Sense ★~♪
☆ナチュラルセンス☆

“Wow!”

Saga hanya mendelik kakak kelasnya yang terlihat masih tak percaya dia benar-benar datang. “Aku hanya ingin mengembalikan mantel yang sengaja kau tinggalkan.” Saga melemparkan mantel di tangannya ke atas tempat tidur dimana kakak kelasnya duduk masih dengan selimut menutupi setengah tubuhnya.

“Kau hanya perlu menungguku sampai aku kembali masuk sekolah daripada harus merepotkan dirimu untuk langsung mengantarkannya ke rumahku... biasanya itu yang akan kau lakukan?”

Saga menggulir bola matanya sedikit kesal, “Aku ingin bertemu denganmu. Apa tidak boleh?” Nada Saga sinis.

Tora kembali menjatuhkan punggungnya ke atas tempat tidur, menyampingkan tubuhnya menghadap Saga dengan menjadikan sebelah pergelangan tangannya sebagai bantalan kepala bagian sampingnya di atas bantal. Senyuman tipis mengintimidasinya terkembang dengan tatapan khasnya memerangkap Saga. “Besok atau lusa juga aku sudah kembali ke sekolah.” Hanya ingin sedikit menggoda.

Saga meremat celana seragamnya, melangkah cepat mendekati tempat tidur Tora dimana tuan macannya itu terbaring santai menatap setiap pergerakan langkahnya. Saga membungkukan tubuhnya, menumpu'kan kedua telapak tangannya di bibir ranjang menghasilkan wajah kakak kelasnya itu kini hanya beberapa sentimeter di bawah wajahnya. “Tapi aku ingin bertemu denganmu sekarang!” Saga menatap kedua iris cantik itu tegas.

“Aku baik-baik saja. Terimakasih sudah mengkhawatirkanku.” Tora tersenyum tipis. Sejujurnya dia sedikit terkejut Saga tidak berusaha mengelak atau melarikan diri. “Dan hati-hati, jangan terlalu dekat denganku. Atau kau akan tertular virus penyakitku.” Tora sedikit menekan kening adik kelas cantiknya iseng dengan telunjuknya.

Saga mendengus menepis tangan ketua Osis BHS-nya lalu memegang pergelangan tangan kakak kelasnya itu di udara. Dan seakan tak mendengarkan peringatan sebelumnya, Saga mempertemukan keningnya dengan milik Tora. Bola mata kecoklatan dan iris gelap itu bertemu dan mereka bertahan seperti itu selama beberapa lama sampai Saga kembali mengangkat kepalanya.

“Kau benar-benar sakit ya?” Saga sedikit berpaling. Melihat keadaan kakak kelasnya itu yang terlihat bugar-bugar saja, Saga sedikit meragukan kalau tuan macannya itu benar-benar sakit. Tapi Saga bisa merasakan suhu panas yang tersalur dari kening mereka dan itu bukanlah suhu normal dari orang yang sehat.

“Ya. Tapi aku masih punya energi kalau kau mau...”

“Apa maksudmu?” Saga mendelik membuat Tora sedikit terkekeh sampai tiba-tiba suara perut keroncongan membuat kedua makhluk itu saling diam.

“Kau lapar?” Tora terkekeh.

“Apa? Bukankah itu suara perutmu?” Saga menggulir bola matanya malas sedikit mendengus.

“Haha... sepertinya memang aku yang lapar.” Tora tertawa garing sambil membangunkan tubuhnya.

“Menyedihkan sekali, seorang tuan muda Amano kelaparan.”

“Aku hanya tak berselera untuk makan.” Tora menurunkan kedua kakinya, duduk di tepi ranjang lalu meraih apel di meja samping tempat tidurnya.

“Kau belum makan sama sekali?” Saga mengernyitkan dahinya.

“Ah tidak juga. Aku memasukan sesendok bubur tadi pagi.” Tora mengambil pisau yang juga terletak tidak jauh dari apel-apel yang terletak di atas meja dan ia mulai mengupasnya. Namun tidak lama kemudian Saga merebut apel di tangan kakak kelasnya itu, berikut pisaunya.

Tora sedikit menaikan sebelah alisnya, tanpa berkata apa-apa Saga mulai mengupas apel di tangannya sambil menghadap meja di samping tempat tidur. Senyuman tipis terkembang di wajah laki-laki raven itu yang kini hanya melihat apa yang dilakukan adik kelasnya dalam diam. Saga memotong-motong apel yang telah dikupasnya, menaruhnya di dalam piringan kecil yang memang telah tersedia di atas meja lalu menyodorkannya pada sang macan.

“Aku akan lebih senang kalau kau juga menyuapiku.” Tora membiarkan sepiring kecil apel yang telah susah payah(?) Saga kupaskan untuknya terabaikan begitu saja di tangan adik kelasnya.

“Apa?!” Saga sedikit jengkel. Mentang-mentang statusnya sedang sakit, tuan macan itu jadi manja. Tapi salahnya sendiri, Saga yang duluan memanjakannya dengan pake acara ngupasin apelnya segala.

“Aku tidak mau makan kalau tidak kau suapi.” Ucap Tora iseng sambil mengambil sebatang rokok dari packnya yang sudah berhari-hari tergeletak di atas mejanya tanpa tersentuh, berikut zipponya.

“Kau!!”

Seharusnya Saga meletakan piring kecil itu dan mengatakan 'terserah kau mau makan atau tidak! Siapa yang perduli!' dan meninggalkan ruang kamar nan megah itu sambil bersungut-sungut. Tapi untuk saat ini laki-laki berambut hazel itu tidak melakukannya...

Saga merebut sebatang rokok dari tangan Tora yang hendak macan itu nyalakan dan hisap, menaruhnya sembarang di atas meja. Saga sedikit mendengus mengambil sepotong apel dari piringnya dan dengan berat hati membawanya ke mulut Tora, namun laki-laki raven itu terlihat tidak berniat membuka mulutnya. Dan itu membuat Saga mengernyitkan dahinya tak mengerti sekaligus jengkel. Apa yang diinginkan tuan macan itu sebenarnya?

“Memangnya aku bilang dengan tanganmu?”

“Lantas? Kau mau aku menyuapimu dengan kakiku?” Saga menatap kakak kelasnya datar, ia benar-benar jengkel sekarang.

Tora menahan kekehannya sedikit memalingkan wajahnya ke samping. “Nafsu makanku semakin hilang,” ucapnya iseng.

Saga kembali mendengus. Apa perdulinya kalau nafsu makan laki-laki raven itu hilang? Tapi tubuh Saga tidak sinkron dengan pikirannya tampaknya. Karena ia memegang kedua bahu kakak kelasnya sekarang, dengan sepotong apel yang ia apit diantara gigi dan mulutnya.Tora sedikit mengangkat wajahnya saat Saga sedikit membungkukan tubuhnya membuat apel di mulutnya mencapai bibir Tora yang kali ini dengan senang hati macan itu buka untuk menyambut sepotong apel yang disodorkan padanya dengan cara spesial. Saga memang melakukan seperti apa yang ia inginkan tapi tetap saja Tora agak terkejut adik kelasnya itu mau melakukan permintaan isengnya dengan begitu patuh. Kalau dipikir, Saga datang ke rumahnya juga karena ia memintanya di telepon tadi. Jadi ada apakah gerangan dengan uke cantiknya itu? Tora merasa ada yang berubah darinya, tapi sepertinya Tora menyukai perubahan itu.

Saga segera kembali menarik wajahnya saat apel di mulutnya telah berpindah ke mulut laki-laki yang terduduk di hadapannya. Tora menghela nafas sambil mengunyah apel di mulutnya, sedikit kecewa.

“Oh ya—”

“Hn?”

Saga kembali merapatkan mulutnya. Bingung antara mengatakannya atau tidak. Tapi dia butuh itu. “Boleh aku ambil fotomu?”

“Bukankah kau sudah sering melakukannya?”

“Aa—” Mendadak perasaan Saga tak enak. Apa itu artinya Tora juga menyadari apa yang dilakukannya semalam?

“Maksudku, tidak biasanya kau meminta izin?” Tora sedikit terkekeh.

“Karena ini—”

“Apa kau berubah pikiran, berpikir untuk menjual apa-apa tentangku lagi di websitemu itu?”

“Tidak, ini bukan.”

“Lalu?” Tora menaikan satu alisnya namun kemudian seringaian tipis mamahat wajahnya, “Apa untuk kembali memenuhi folder 'My Tiger' mu itu?”

“Apa?!!”

Dengan cepat tangan Tora menarik pinggang ramping laki-laki cantik di hadapannya. Saga sedikit menahan nafasnya terkejut saat tiba-tiba Tora memeluk pinggangnya, meletakan keningnya di dada Saga. Untuk beberapa saat tubuh Saga seperti mendadak kaku. “Aku milikmu, kau bisa melakukan apapun padaku daripada hanya berfantasi melihat fotoku, kan?” Dan Saga melihat tubuh yang terduduk di hadapannya sedikit bergetar karena berusaha menahan tawa.

“Jangan bercanda!!” Saga mendorong bahu orang itu yang terus saja menempelkan kepalanya ke dadanya. Namun Tora memeluk pinggangnya dengan kuat hingga usaha Saga untuk memisahkan tubuh mereka tidak berhasil. “Aku memerlukannya untuk hal lain,” Saga bergumam, menyerah untuk membuat kakak kelasnya melepaskannya.

Tora melonggarkan pelukannya, menatap adik kelas yang berdiri di hadapannya, “apa itu?”

Dan Saga tidak bisa menjawabnya. Lebih tepatnya.... belum bisa menjawabnya. Hingga makhluk berambut hazel itu memutuskan untuk mengabaikan saja pertanyaan kakak kelasnya dengan memalingkan wajahnya. Saga tidak yakin apa yang hendak ia lakukan berbuah seperti yang ia harapkan, tapi dia butuh untuk mencobanya! Dan untuk sekarang, akan lebih baik kalau itu tidak dulu dikatakan, hingga saat nasib tidak berpihak padanya dia tidak perlu merasa malu.

“Seseorang membayarmu untuk fotoku?”

“Kukatakan ini buk—ah........bisa dikatakan begitu... mungkin.” Tidak terlalu salah juga sih. Kalau nasib baik itu berpihak padanya, Saga akan mendapatkan uang dari itu.

“Bayaran untukku?” Tora menyunggingkan senyuman khasnya, “kau akan mendapat keuntungan dari itu kan? keenakan sekali kalau mendapatkannya secara gratis.”

“Aku—” Saga menghentikan kata-katanya. Itu tidak mengejutkan ketua Osis BHS itu memberinya reaksi dan jawaban seperti itu, Saga sudah bisa menduganya. Tapi tetap saja jauuuuh dalam hatinya dia berharap kakak kelasnya itu mau lebih murah hati dan pengertian sedikit sejak mereka adalah sepasang kekasih? sekarang. “Baiklah, akan kubayar,” Saga kembali memalingkan wajahnya.

“Kau paling mengerti aku tidak membutuhkan uang kan?”

Saga sedikit menelan ludahnya paksa. Kembali membawa wajahnya menatap wajah yang sudah tersenyum manis di depannya.

“Katakan saja kau akan melakukan apapun yang kuminta, dan dengan senang hati aku perbolehkan kau menggunakan tubuhku untuk keperluan hobimu itu sesukamu. Adilkan?” Tora tersenyum tipis, “dan sejak ini adalah rumahku... kau masuk ke kandang harimau.”

Saga mendengus.

☆ナチュラルセンス☆  (◕‿◕✿)

Ruki memasukan suap demi suap nasi ke dalam mulutnya. Dia satu-satunya orang yang duduk di meja makan malam ini, dengan Nimo setia berdiri tidak jauh darinya. Ini bukan pertama kalinya Ruki makan seorang diri. Saat Uruha keluyuran sampai larut malam bahkan sampai pagi, Ruki selalu dalam keaadaan seperti sekarang ini. Tapi sekarang Uruha tidak sedang bermain atau melakukan kegiatannya di luar. Hanya saja, di luar hujan dengan sedikit kilatan-kilatan cahaya kadang muncul. Dan sepertinya Ruki mengerti dengan alasan Uruha tak ingin keluar dari kamarnya, begitupun Nimo. Ruki mengucapkan terimakasih atas makan malamnya yang enak sebelum ia berdiri dari kursi makannya.

“Jadi, Nimo-san sudah mengantarkan makan malam untuk Uruha?”

“Dua orang maid sudah mengantarkan makan malam untuk tuan muda Uruha.”

“Oh.” Ruki menganggukan kepalanya. “Kalau begitu aku permisi kembali ke kamar, Nimo-san.” Ruki sedikit membungkukan tubuhnya.

“Silahkan tuan muda.” Ucap Nimo tersenyum, “dan maaf jika saya lancang, tapi tolong berhenti berlaku terlalu sopan pada saya.” Bukan Nimo tidak menyukainya. Ia merasa tuan muda kecilnya itu sangat menggemaskan dengan semua tingkah canggung dan terlalu sopannya, tapi Nimo merasa tidak enak.

“Aa...Maaf.”

“Saya tidak mengatakan anda salah, jangan minta maaf.”

Ruki sedikit menggaruk belakang kepalanya sedikit cengir sebelum akhirnya kembali pamit pada Nimo dan meninggalkan ruang makan menuju kamarnya. Namun di perjalanan panjangnya menuju kamar, Ruki melihat dua orang maid berjalan berlawanan arah dengannya, dengan tray di masing-masing tangan mereka. Dan Ruki menebak, itu kedua maid yang bertugas mengantarkan makan malam untuk Uruha.

“Selamat malam tuan muda Ruki.” Kedua maid itu sedikit membungkukan tubuhnya saat menyadari makhluk minis itu ada di hadapan mereka.

“Aa ya, selamat malam,” Ruki ikut membungkukan tubuhnya. “Ano... itu makan malam untuk Uruha?” Ruki menunjuk tray yang masih dengan hidangan makan malam lengkap di atasnya.

“Benar. Tapi tuan muda Uruha bahkan tidak membuka pintu kamarnya.”

“Dia tidak keluar?”

“Mungkin beliau sedang tidur.”

“Aa Oh.”

“Kami permisi tuan muda.” Kedua maid itu kembali membungkukan tubuhnya.

“Ah! Tunggu!” Ruki menghentikan kedua maid itu yang hendak beranjak meninggalkannya. “Biar aku yang melakukan!”

Kedua maid itu saling berpandangan satu sama lain, “tapi tuan muda Ruki, tuan muda Uruha mungkin sedang tidur jadi biar nanti kami kembali lagi—”

“Tidak, tidak apa. Aku akan membangunkannya.”

“Eh? Tapi itu—”

“Tidak apa-apa, aku memang sengaja ingin membuatnya marah hha...” Ruki mengerti apa yang ditakutkan kedua maid di hadapannya. Ya, Ruki tahu Uruha sedang menikmati waktunya berbuntelkan selimut dan meringkuk seperti bebek yang kedinginan— hah? bebek dia pikir? mungkin seperti anjing atau kucing akan lebih nyambung, karena bebek tidak bisa meringkukan tubuhnya hei! Tapi Ruki entah kenapa kalau itu Uruha, makhluk minis itu merasa bebek adalah hewan yang cocok untuk disamakan dengannya.

Kedua maid itu akhirnya menyerah dan menyerahkan salah satu tray yang mereka bawa untuk dibawa Ruki. Mereka berpamitan dan Ruki mulai berjalan dengan semangat menuju kamar Uruha dengan tray di tangannya.

Tok! Tok! Tok!

Tok! Tok! Tok!

TOK! TOK! TOK!

GDOR! GDOR! GDOR! GDOR!

“WOI !!!”

Ruki tersenyum penuh makna mendengar suara respon Uruha dari dalam sana. Karena itu tandanya ia berhasil dan hanya tinggal menunggu sang pemilik kamar untuk membuka pintu kamarnya. Namun....

5 menit kemudian.

GDOR! GDOR! GDOR! GDOR! GDOR!

“Argh!!!”

Ruki terus menendang-nendang pintu di depannya sampai ia mendengar suara seperti benda yang dibanting ke lantai. Dan tidak lama kemudian pintu di hadapannya terbuka memunculkan wajah demit Uruha.

“KAU!!”

“Aku mengantarkan makan malam tuan muda Uruha.” Ruki tersenyum menyodorkan traynya.

Uruha menggamit kerah t-shirt Ruki jengkel. Karena dia tahu makhluk minis itu hanya ingin mengganggu dan mengoloknya. “Apa maumu?!”

“Aku hanya ingin kau makan malam tepat waktu,” Ruki masih tersenyum lebar namun itu malah membuat Uruha semakin jengkel. “Melewatkan makan malam hanya karena takut petir itu sungguh tidak keren.”

“KAU!!” Uruha semakin kuat menggamit kerah t-shirt Ruki dan itu membuat wajah mereka berjarak cukup dekat. Membuat secara mendadak rasa jengkel Uruha bertransformasi(?) menjadi doki-doki di dadanya.














APA??!!!!

Uruha berteriak dalam hati.

“Sungguh, kalau semua orang tau tentang fobia tidak kerenmu ini—eh? Woi!!” Ruki hendak protes saat tiba-tiba Uruha menarik kerah t-shirt yang digamitnya, membuat tubuh Ruki terbawa masuk ke dalam kamar Uruha.

“Apa yang—”

“Kau mau aku memakan makanan itu?”

Ruki melihat tray di kedua tangannya, “sebenarnya tidak juga, tapi kalau kau lapar apa boleh buat.” Ruki mengangkat kedua bahunya, lalu berjalan ke arah meja di samping tempat tidur Uruha dan meletakkannya di sana. Ruki sedikit menaikan alisnya melihat headphone yang sudah tergeletak tak berdaya di lantai. Sepertinya itu yang Ruki dengar tadi sebagai sesuatu yang dibanting. Tapi bukankah seharusnya itu benda yang berharga untuk Uruha? “Uru, headphonemu rusak?”

“Kenapa? Aku punya banyak,” jawab Uruha ketus sambil mengunci pintu kamarnya lalu memasukan kunci itu ke saku piyama—

Tunggu!

“Apa kau lupa aku masih di dalam?” Ruki cengok menunjuk dirinya sendiri.

Uruha mendelik makhluk minis itu sadis, “justru karena kau di dalam aku menguncinya.”

“Ha?”

Loading~

“Kalau kau punya keberanian untuk mengolokku, apa kau punya saran untuk bagaimana agar aku bisa menghilangkan kelainan ini? ha?”

Ruki pura-pura melihat jam di tangannya, “aa waktunya aku tidur!”

“Apa kau bocah?!”

“Tidur sebelum larut itu bagus untuk kesehatan. Kau tidak tahu?”

“Tentu saja aku tahu hal seperti itu, kau pikir aku bodoh?”

“Ah baguslah, kalau begitu biarkan aku kembali ke kamar. Mana kuncinya?” Ruki menyodorkan tangannya meminta kunci.

“Kunci—” Uruha merogoh sakunya namun tidak lama kemudian......“JANGAN MENGALIHKAN PEMBICARAAN!!”

“Siapa yang mengalihkan pembicaraan?”

“Tentu saja kau!!” Uruha menjitak pelan kepala makhluk minis itu jengkel.

“Tapi memangnya untuk apa kau mengunciku?! Aku belum siap tau!!”

“Memangnya untuk menguncimu aku harus bertanya kau siap atau tidak!!”

“Tentu saja!”

“Apa kau siap?”

“TIDAK!!!!!” Ruki berjinjit dan berteriak sekuat tenaga di telinga Uruha.

“Berengsek,” Uruha mengusap-usap telinganya, “KAU!!!” Makhluk berpaha itu refleks menjewer telinga makhluk minis di hadapannya nepsong. “Bukankah seharusnya kau senang terkunci di sebuah ruangan denganku ha? kau menyukaiku kan?”

“Itu tidak membuat seseorang senang terkunci dengan orang yang dia suka, kalau orang yang disukainya itu sepertimu!” Ucap Ruki sambil berusaha melepaskan tangan Uruha dari telinganya.

“Apa maksudmu seperti—”

Tiba-tiba Ruki merasakan tangan Uruha membebaskan telinganya dan makhluk brunette itu mendadak melesat naik ke atas kasur dan tiarap sambil menutup kedua telinganya. Dan saat itulah Ruki mendengar suara petir di luar sana. Beberapa saat kemudian Uruha melepaskan kedua telapak tangannya dari kedua telinganya, melihat ke luar jendela lalu beralih melihat Ruki yang masih berdiri memperhatikannya.

“KAU PUNYA OLOKAN DI OTAK KECILMU ITU KAN??!?” Uruha menunjuk Ruki mendadak nepsong melihat makhluk minis itu memalingkan wajahnya dan terkikik.

Tidak. Tapi mungkin ya.... kelakuan Uruha sedikit lucu saat ia berurusan dengan petir, tapi Ruki tidak benar-benar ingin tertawa. Ruki hanya menyadari, sepertinya reaksi Uruha yang ketakutan tidak separah saat pertama kali ia melihatnya. Dan entah bagaimana, itu membuatnya sedikit lega. Ia tidak ingin melihat ekspresi Uruha seperti saat itu lagi, “menggelikan, apa kau tidak pernah berusaha menyembuhkannya? Ke psikiater atau apa?”

“Kau pikir aku menikmati ini? Tentu saja aku berusaha menghilangkannya.” Uruha sedikit mendengus, “aku pernah bolak-balik ke psikoterapis, tapi itu tidak membuahkan hasil sama sekali. Untuk apa membuang-buang uang dan waktu mengunjungi tempat tidak berguna seperti itu.”

“Kalau kau benar-benar ingin sembuh, seharusnya kau jangan menyerah!”

“Mudah bagimu mengatakan itu ha?”

Ruki berjalan ke arah tempat tidur Uruha lalu duduk di tepinya dengan satu kaki turun ke lantai. “Memangnya apa yang dilakukan psikoterapis itu untuk fobiamu?”

Uruha sedikit mengernyitkan dahinya lalu berpaling, “sesuatu seperti... aku harus latihan teknik pernafasan dalam dan pengendalian diri dan merilekskan diri saat ada petir. Bukankah itu bodoh?” Uruha mendengus.

“Lalu?”

Uruha mendelik makhluk minis itu yang entah kenapa terlihat serius menanggapinya. Apa boleh buat, Uruha jadi terpaksa harus serius juga melayaninya. “Dia memberitahuku hal seperti... bagaimana proses terjadinya petir dan segala hal tentang dan yang berhubungan petir dan menyuruhku menemukan apa dari semua itu yang memacu ketakutanku. Dia juga menyarankan hal seperti, agar aku tidak boleh seorang diri saat ada petir, setidaknya ada seseorang dan pastikan tempat dimana aku berada aman... maksudnya buat diriku sendiri merasa aman. Dan omong kosong lainnya... ” Uruha kembali mendengus.

“Hanya seperti itu?”

“Aku juga diberi obat penenang, tapi itu bukan sesuatu yang bisa digunakan untuk jangka panjang, pada akhirnya saat itu habis aku masih seperti sebelumnya.”

“Apa dia menanyakan penyebab alasanmu takut dengan petir?” Ini! Ini yang selalu ingin Ruki tanyakan, dan sekarang dia seakan punya modus untuk menanyakannya tanpa harus ia dengan mencurigakan tiba-tiba bertanya.

“Kau bodoh? Tentu saja! Itu hal pertama yang dia tanyakan!”

“Lalu kau menjawab apa?”

“Aku punya trauma.”

“Apa dia tanya trauma apa?”

“Ya…” jawab Uruha malas.

“Lalu kau jawab trauma apa?”
Sabar... Sabar Ruki, jangan buat dirimu kentara sangat penasaran dengan itu. Ruki memantrai dirinya sendiri.

Tapi sepertinya Ruki gagal. Karena sekarang Uruha menatapnya datar penuh curiga melihat kilatan kepenasaranan di mata makhluk minis itu yang begitu nampak jelas tak bisa terbendung. “Aku tidak menjawabnya.”

“Kenapa kau tidak menjawabnya?!” Mendadak Ruki terbawa esmoshi. “Apa kau benar-benar ingin sembuh?! Pantas kau tidak sembuh-sembuh,” Ruki bersungut-sungut dan Uruha hanya menatap makhluk boncel itu datar.

“Sebenarnya dia juga menyarankanku untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan saat ada petir, semacam mengendalikan pikiran tapi itu.... dia pikir semudah itu?  Tidak ada perasaan menyenangkan sama sekali muncul saat aku mendengar suara petir. Aku hanya... aku tidak bisa memunculkannya,” Uruha sedikit menunduk. Ruki melihat tangan makhluk brunette itu meremat sprei di atas ranjangnya. Ruki tahu itu bukan hal yang enak mempunyai fobia seperti itu, Ruki bahkan seperti bisa merasakan ketersiksaan Uruha sejak makhluk minis itu melihat ekspresi Uruha yang begitu ekstrim untuknya. Dan Ruki sangat prihatin. Dia ingin membantu Uruha, keinginan itu sangat kuat tapi bahkan Uruha tidak ingin mengatakan alasan dibalik traumanya. Rasanya seperti keinginannya untuk membantu ditolak mentah-mentah. Tapi itu hanya pikiran Ruki, pada kenyataannya dia tidak bertanya pada Uruha dengan terang.

“Tapi sepertinya akhir-akhir ini aku punya 'hal menyenangkan' itu,” Uruha kembali meremat sprei di bawah tanganya, mengangkat wajahnya hanya untuk menemukan wajah antusias Ruki atas pengakuannya. Ya, akhir-akhir ini entah bagaimana, rasa tegang, khawatir dan ketakutan dan ingatan buruk di kepalanya sedikit berkurang setelah kejadian 'itu'. Saat tubuh kecil itu merangkulnya, dan suara detak jantungnya yang tak bisa Uruha lupakan.

Saat Uruha mendengar suara petir, ada dua ingatan yang bermain di kepalanya. Ingatan buruk itu masih mendominasi tapi satu ingatan lain itu seperti selalu berusaha mengintip dan menunjukan dirinya, berusaha mengalahkan ingatan buruknya.

“Apa itu?” Tanya Ruki penasaran.

Uruha melirik jendela kamarnya, menunggu kilatan itu nampak di luar sana. Dan bukankah Uruha takut dengan itu? Lantas kenapa ia menunggunya sekarang?

Memori buruk itu terjadi saat hari hujan, saat petir saling menggelegar di luar. Hingga fenomena alam itu seakan menjadi semacam pengingat, media dan perekat Uruha dengan kejadian buruk itu. Hingga kapanpun ia mendengar suara petir, jiwa dan pikirannya seakan ditarik ke 'saat itu'. Dan Uruha mengerti sekarang, untuk menyembuhkannya, dia hanya perlu pengganti dari ingatan buruk itu. Dan itu harus hal yang menyenangkan yang berkesan untuk di simpan di memorinya, dan terjadi di saat seperti saat kejadian buruk itu terjadi.

Ruki melebarkan matanya bukan karena kilatan panjang baru saja di luar sana, tapi karena saat dengan tiba-tiba Uruha mendorong tubuhnya jatuh ke atas tempat tidur dan pikiran Ruki mendadak kosong.

“Buatlah dan ciptakan kejadian yang menurutmu menyenangkan atau membuatmu bahagia saat mengingatnya. Sesuatu berkesan yang akan melekat di memorimu. Itu harus terjadi  saat dimana petir bergemuruh dan menngelegar.”

Jika Uruha mengingat-ingat kembali, psikoterapis yang pernah sering ia datangi dulu itu pernah mengatakan hal seperti itu. Tapi Uruha hanya tidak tahu kejadian menyenangkan apa itu yang harus ia ciptakan? Dan dengan apa dan siapa ia harus membuatnya? Mungkin tempat psikoterapi itu tidak sepenuhnya tidak berguna seperti sebagaimana yang selama ini ia pikirkan. Uruha hanya lebih dulu bersugesti demikian dan meyakini bahwa traumanya tak akan bisa disembuhkan.

☆ナチュラルセンス☆  (◕‿◕✿)

Saga sedikit menggigit bibir bawahnya, bukannya ia tidak menyukai ini tapi... SAMPAI KAPAN KAKAK KELASNYA ITU AKAN PUAS MELAKUKANNYA?!

Tora mengangkat wajahnya merasakan kepalanya tiba-tiba dipukul dengan bantal. “Hei~”

“Apa kau ... fetish atau apa?” Saga sedikit mendengus.

“Aku hanya berpikir, mungkin kau punya kesensitifan yang sama denganku?” Tora sedikit terkekeh, tapi sejujurnya tuan macan itu memang suka melakukannya.

“Kau?” Saga mengernyitkan dahinya.

“Hmm... Aku memberimu informasi yang penting,” Tora kembali terkekeh sampai tiba-tiba intercom di samping tempat tidurnya berbunyi.

“Mungkin butlermu ingin kembali menawarkan makan malam?” Saga melirik benda yang terus mengeluarkan bunyi itu. Dengan beralasan tidak bernafsu untuk makan, Tora melewatkan jam makan malamnya beberapa puluh menit lalu saat Toshi menghubunginya lewat intercom dan memberitahukan waktunya makan malam. Mungkin butlernya itu merasa khawatir dan hendak kembali bertanya apa nafsu makan tuan mudanya sudah kembali?

“Biarkan saja...” Ucap Tora acuh hendak kembali mencumbu adik kelas cantiknya.

“Tidak!” Saga menahan dada tuan macan itu, “kau lapar kan?”

“Tidak juga,” Tora menyingkirkan tangan adik kelasnya dari dadanya. “Daripada makanan... aku lebih lapar karena kau.” Bisik ketua Osis BHS itu pelan di telinga adik kelasnya.

“Kau bercanda,” Saga mendengus. “Apa kau benar-benar orang sakit?”

Tora terkekeh di telinga adik kelasnya, “aku tidak bercanda soal aku masih punya energi bukan? Bersyukurlah karena aku berstatus orang sakit saat ini. So that your virginity will still be safe.”

“Syukurlah. Kudoakan kau sakit selamanya.” Saga menggulir bola matanya.

“Haha... Mendoakan yang jelek untuk orang lain tidak akan dikabulkan.” Tora mengecup leher adik kelasnya. Sebenarnya ia ingin membuat banyak tanda di sana tapi Saga memperingatkannya sejak awal, bahwa itu area ter-tidak boleh untuk dicemari. Karena ia akan kesulitan untuk menutupinya dari khalayak, bukan?

Tora menyusupkan kepalanya diantara leher dan bahu Saga, memejamkan matanya untuk sedikit meredam rasa pusing di kepalanya. Tidak main-main, dia memang sedang sakit.

“Apa aku bisa pulang sekarang?”

“Tidak, biarkan seperti ini beberapa saat.” Tora masih memejamkan matanya, dan rasa pusing di kepalanya sedikit lebih terasa ringan.

Saga melirik wajah kakak kelasnya dari ekor matanya. Meski tidak bisa terlihat sepenuhnya tapi Saga bisa melihat kedua matanya menutup. Mungkin dia lelah? Pikir Saga. Perlahan tangannya meraih ujung kepala kakak kelasnya, sedikit menyentuh rambutnya dan Tora tersenyum masih dengan mata tertutupnya.

“Aku tidak tahu berpisah denganmu beberapa hari saja bisa membuatku sangat tersiksa.”

Saga mengernyitkan dahinya tiba-tiba ketua Osis BHS itu bicara seperti itu, dan ia sedikit terkejut juga. “Kau tersiksa?” Saga tertawa canggung, “omong kosong.” Dan Tora tersenyum, “para tante-tantemu itu pasti sudah sering mendengar bualanmu itu.”

“Ya. Aku sering mengatakan itu pada mereka.”

Saga mendengus. Mendadak merasa ingin mendorong laki-laki yang nempel-nempel padanya itu ke dari atas kasur.

“Hanya mengatakannya.”

“Kalau begitu jangan—”

“Aku tidak benar-benar merasakannya.”

“.......”

“Karena itu... ini pertama—,” kedua kalinya.

Saga menaikan sebelah alisnya mendengar tuan macan itu tiba-tiba menghentikan kalimatnya.

“Aku sedikit terkejut.” Tora memeluk tubuh laki-laki berambut hazel itu erat. Ya, dia tidak tahu kalau perasaannya akan sampai sejauh ini pada laki-laki dalam pelukannya. Tora sadar, ia menyukai Saga. Ia ingin selalu melihatnya, bersamanya, memilikinya, mencumbunya, tapi sampai saat itu ia tak pernah sadar ia akan merasakan perasaan takut tanpanya. “Apa kau mengguna-gunaiku?” Tanya Tora iseng sambil mengangkat wajahnya.

“Apa—”

Dan Saga tidak diberi kesempatan untuk protes atas candaan tidak lucu dari orang itu. Tora kembali menguncinya untuk agar protesannya tidak keluar. Saga membuka mulutnya saat —entah yang keberapa kalinya hari ini— lidah kakak kelasnya memaksanya untuk melakukannya demikian. Tangan Tora mengangkat sedikit dagu adik kelasnya, menginvasi lagi mulut laki-laki berambut hazel itu untuk yang kesekian kalinya. Tapi tuan macan itu belum puas, atau mungkin ia tidak akan pernah merasa puas untuk melecehkan bibir mungil adik kelasnya.

Tok! Tok! Tok!

Refleks Saga mendorong laki-laki di atasnya dan membangunkan tubuhnya sambil mengancingkan seragam sekolahnya dengan cepat mendengar ketukan pintu terdengar dari luar. “Mungkin butlermu...”

“Abaikan, dan kembali— ”

“Aku tahu kau belum tidur!”

“.......”

“.......”

“Tora buka pintunya! Atau aku dobrak?”


☆T.B.C☆  (◕‿◕✿)

7 comments:

  1. Siapa yang datang kerumah tora tuh? OAO

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukan saia O.O *plak*
      wkwkk terimakasih sudah mau baca nfufu~ XD

      Delete
  2. Amazing ! Please seri selanjutnyaa~ Rukira-san~~ *heboh

    ReplyDelete
    Replies
    1. ah! ahah terimakasih wkwk XD ternyata masih ada yang mengikuti fic ini *plak* terimakasih lagiii >< saia usahakan ya!!

      Delete
  3. masih di proses ya..
    sangat ditunggu chap slanjutnya..
    hayaku.. u,u *jingkrak2*

    ReplyDelete
  4. Plis lanjut donk say, gantung nih jd penasaran sama endingnya ��

    ReplyDelete