Search + histats

Sunday 27 December 2015

Natural Sense ★33

Author : Rukira Matsunori
Rated : T
Genre : AU/ gajeromance/ BL (MaleXMale)
Fandom(s) : the GazettE, alicenine, A(ACE), ViViD, Versailles, dkk?
Pairing(s) : Uruha x Ruki? Ruki x Uruha?, Tora x Saga.
Chapter(s) : 33
Warning : DRAMA~ LEBE~ XD ! gak!baca!ulang!typos!
Length : 13 Pages ( 4.360 words)
Note : Nyahahahah~ saia diteror Tsu! xD



Chap 33 : ☆~Fall Down~☆



Natural Sense ★~♪
☆ナチュラルセンス☆

Beberapa menit lagi menuju pukul 12 malam. Dan Saga melihat laki-laki yang seperti ditelan bumi baginya beberapa hari ke belakang berdiri di depan pintu apartmentnya. Entah kesal, marah atau bahagia melihat kakak kelasnya itu lagi setelah beberapa hari tanpa kabar darinya. Saga bingung dengan perasaannya sendiri.

“Apa beberapa hari tidak bertemu, membuatmu terpesona lagi saat melihatku?”

Saga mendengus mendengar candaan kakak kelasnya yang tidak lucu sama sekali. “Apa anda tidak tahu tatakrama bertamu ke rumah orang, tuan? Kau pikir jam berapa ini?” Nada Saga sarkastik, seperti biasanya.

“Kupikir aku bukan bertamu ke rumah orang. Aku datang ke rumah kekasihku. Tidak ada tatakrama untuk bertamu ke rumah seorang kekasih. Tidak perduli kapanpun aku ingin bertemu dengannya, aku akan mendatanginya.”

Saga kembali mendengus membuang mukanya namun sebuah tangan segera meraih satu pipinya dan ia dapat merasakan kulit bibir yang dingin menyentuh miliknya. “Aku merindukanmu.”

Saga mendorong dada kakak kelasnya dan beranjak dari hadapan Tora dengan gumaman, “omong kosong” terdengar seperti berbisik dari mulutnya. Namun Tora bisa melihat wajah adik kelasnya itu menunjukan kekesalan yang cukup serius.
Tora beranjak masuk dan menutup pintu apartment adik kelasnya yang baru saja bersikap, jujur saja tidak seperti yang ia harapkan akan menyambutnya. “Apa ada yang salah dengan aku mengatakan—”

“Rindu?” Saga mengeluarkan suara seakan itu adalah lelucon dan ejekan. Laki-laki berambut hazel itu kembali menghadap kakak kelasnya setelah menutup netbooknya di atas meja. “Kita tidak hidup di jaman purba Tuan. Dan aku tidak ingat pernah mendapat pesan meski itu hanya satu kata pun darimu. Apa fungsi benda mahal itu di kantong baju brandedmu?” Saga menaikan satu alisnya, memangku kedua tangannya arogan.

“Kau menunggu kabar?” Dan Saga tidak suka sunggingan bibir tipis di wajah ketua Osis BHS itu. Tidak ada rasa bersalah sama sekali.

“Tidak juga. Aku mengerti apa yang kau lakukan di sana.” Saga membuka mantel yang membalut tubuh kakak kelasnya, melemparkannya ke sofa. “Tapi setidaknya tidak usah mengatakan omong kosong padaku.” Saga beranjak ke dapur dan Tora hanya berdiri memperhatikannya. “Jadi, bagaimana keadaannya sekarang?” Tanya Saga yang tengah menuangkan air panas ke cangkir yang sudah berisi mocca di dalamnya. “aku bertaruh, dadanya pasti lebih besar dari sebelumnya ha.” Tora mendengar suara adik kelasnya dari balik dinding yang memisahkan dua ruangan mereka. Dan bisa ia bayangkan ekspresi wajah jahil laki-laki cantik itu dari suara yang dibuatnya.

“Dan apa maksudmu?” Tanya Tora santai.

“Hmm.. Mungkin kau tidak ingin membicarakannya. Itu seharusnya tidak menjadi urusanku,” Saga beranjak dari tempatnya berdiri sambil membawa cangkir moccanya, keluar dari dapur menghampiri Tora. “Silahkan, Tuan.” Saga menyodorkan secangkir mocca ditangannya pada kakak kelasnya, “udara malam pasti membuatmu kedinginan.” Saga tersenyum namun Tora tak melihat ada ketulusan di wajahnya. Dan Tora mengerti. Apa yang selalu mengganggu dan membuat adik kelasnya itu emosi.

“Kau pikir aku bertemu dengannya?” Tak ada emosi yang nampak pada suara, wajah atau bahkan pada pertanyaan yang diajukan itu sendiri. Tora suka menggoda adik kelasnya, Tora suka melihat adik kelasnya merasa kesal karena wanita itu, tapi tidak untuk sekarang. Ia lelah dengan hari-harinya, ia lelah dengan perjalanan yang ia tempuh hari ini.

“Tidak?” Saga menaikan satu alisnya.

“Tidak.”

“Apa aku harus percaya?”

Saat Tora hanya menatap adik kelasnya, dan saat itulah ponselnya bergetar, membuat sang raven mematahkan kontak matanya dengan Saga. Ia segera merogoh saku celananya dan mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya. “Ya, Toshi-san?”

Saga menggulir bola matanya merasa sedikit terganggu dengan panggilan yang masuk ke ponsel kakak kelasnya itu.

“Ya, aku sudah tiba di Tokyo. Aah tidak, aku bisa pulang sendiri. Katakan padanya aku segera tiba di rumah sebentar lagi.” Tora melirik laki-laki berambut hazel yang berdiri masih dengan secangkir mocca di tangannya. “Aku ada sedikit keperluan.... sedikit.”

Saga mengernyitkan dahinya. Dari pembicaraan yang ia dengar, mungkin itu butler keluarga Amano yang menghubungi kakak kelasnya?

Tora mengakhiri pembicaraannya di telepon dan kembali memasukan ponselnya ke saku celananya. Matanya sedikit berkeliaran ke sembarang arah sampai kembali pada Saga, dan ia mengambil cangkir mocca dari tangan adik kelasnya itu dan sedikit menyeruputnya. “Thanks.” Ucapnya lalu menyimpan cangkir yang masih berisi banyak mocca di dalamnya itu di meja. Ia segera mengambil mantelnya yang tergeletak sembarang di sofa. Saga hanya memperhatikannya dengan diam meski entah kenapa perasaannya tak enak dengan gerakan kakak kelasnya yang sedikit tergesa-gesa. “Aku pulang dan....” Tora menatap adik kelasnya, “maaf sudah mengganggu waktu tidurmu.” Ucapnya sebelum beranjak menuju pintu keluar.

Saga hanya terdiam di tempatnya berdiri mendengar pintu apartmentnya terbuka dan kemudian kembali tertutup, menandakan orang itu sudah keluar dari tempatnya.
Entah bagaimana rasanya kaki Saga dibuat melemah mengingat tatapan kedua mata tajam itu sebelum meninggalkannya tadi. Seakan dia adalah orang paling menyebalkan di kedua mata itu, Saga benar-benar sudah membuatnya kesal. Saga melupakan kakak kelasnya yang mungkin lelah karena perjalanannya dari Osaka, lelah dengan segala aktivitasnya di tempat jauh itu yang Saga tak tahu dan mungkin tak akan Saga mengerti. Ini tengah malam dan mungkin kakak kelasnya itu butuh istirahat dan mengantuk, tapi dia malah datang ke tempat Saga daripada langsung ke rumahnya dan langsung mendapatkan istirahat di tempat tidurnya. Dan Saga malah menyambutnya dengan sesuatu yang pasti tidak menyenangkannya. Saga kesal, ia masih kesal dengan orang itu menghilang tanpa kabar sama sekali untuknya, tapi itu adalah sifat tidak dewasa Saga untuk membuat kekesalannya menjadi penyambut kedatangan orang yang tentu saja ia juga rindukan itu. Kalau saja Saga bisa lebih dewasa dan mengesampingkan dulu apa yang mengganggunya, itu bisa dibahas suatu waktu dalam keadaan yang lebih santai kan? Tidak saat kakak kelasnya baru sampai dan masih dalam keadaan lelahnya. Itu sifat kekanak-kanakan Saga, dan ia sadar ia menyesalinya. Itulah kenapa ia berlari keluar apartmentnya mengejar orang itu.

“Jangan!”

Tora menoleh mendengar seseorang seperti berteriak padanya.

“Jangan pulang.” Ucap Saga dengan suara yang lebih pelan. Dan Saga bersyukur kakak kelasnya membiarkan elevator yang hendak ia masuki tadi kembali menutup dalam keadaan kosong. “Aku belum selesai bicara denganmu. Banyak hal yang mengganggu pikiranku. Aku...” Saga mengepal kedua tangannya kuat, “jangan pulang sebelum kuizinkan!” dan itu keegoisannya yang disambut baik oleh Tora.

Tora berjalan menghampiri adik kelasnya, menarik kepala laki-laki cantiknya itu ke bahunya. Dan Saga bisa menghirup aroma tubuh dan parfum yang ia sukai menyesak ke hidungnya. Tapi kenapa baru ia sadari? “Aku pikir aku hanya ingin melihatmu malam ini. Aku sudah mendapat perintah untuk langsung pulang ke rumah, tapi tetap saja... aku ingin bertemu denganmu lebih dulu... daripada wajah tua ayahku.” Dan Tora merasakan sebuah cubitan kuat di pinggangnya karena kata-katanya, membuatnya sedikit meringis sambil tertawa ringan.

Saga melepaskan diri dari pelukan ketua BHS itu lalu mendorong tubuh yang lebih tinggi darinya itu untuk berjalan kembali ke apartmentnya dan Tora membiarkan itu. Dia hanya mengerti adik kelasnya itu sedang malu-malu. Daripada menarik tangannya, Saga lebih memilih mendorong tubuh kakak kelasnya itu hanya agar orang itu tak melihat ekspresi wajahnya saat ini.

Tora mendudukan dirinya di sofa dan Saga ikut duduk bersila di sampingnya. “Jadi katakan! Kenapa kau tidak memberiku kabar sama sekali?” tanya Saga tanpa menolah pada orang di sampingnya.

“Aku menunggumu melakukannya.”

“Ha?” Dan sekarang Saga baru menolehkan wajahnya.

“Aku tahu sifatmu itu. Dan aku ingin tahu, apa kau akan merindukanku jika aku tiba-tiba menghilang?” Tora memeluk pinggang kekasih di sampingnya, “Aku ingin tahu apa kegengsianmu itu bisa terkalahkan jika kau sangat merindukanku?” Tora meletakan dagunya di pundak adik kelasnya, “tapi ternyata tidak. kegengsianmu itu benar-benar sulit dikalahkan.”

“Konyol.” Sebuah gumaman untuk kenyataan bahwa ternyata mereka berdua saling menunggu kabar.

Tora kembali mengambil cangkir moccanya di atas meja bermaksud untuk kembali menyeruputnya, setidaknya itu lumayan untuk sedikit menghangatkan tubuhnya. Namun Saga segera mengambil cangkir itu dari tangannya membuat sang raven menatap adik kelasnya itu bingung. “Kau benar-benar tidak bertemu dengan wanita itu?”

Tora kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. “Tidak. Dan aku terkejut kau tahu banyak tentangnya.” Tora memangku kedua tangannya di dada, menatap adik kelasnya yang dimana hanya bagian belakang tubuhnya yang ada di pandangan. Selain Saga tahu tempat asal wanita itu, apalagi yang ia tahu? “Aku jadi curiga, jangan-jangan sebenarnya yang kau sukai itu adalah dia?” Nada Tora iseng.

“Heh. Lucu.” Saga mengejek candaan kakak kelasnya. “Tapi tentang wanita itu yang menghubungimu, itu benar-benar terjadi kan?”

Tora ingin bertanya darimana adik kelasnya itu tahu, tapi wajah Saga menunjukan kalau ia hanya butuh jawaban, “ya. Tapi bahkan sampai sekarang aku tak pernah menemuinya dan tidak ada niatan untuk melakukannya.” Dan itu cukup untuk Saga. “Apa ada hal lain lagi yang mengganggu pikiranmu?”

Saga menatap cangkir berisi mocca yang kedua tangannya pegang. “Kau akan menjadi penerus keluargamu kelak. Ya, tentang bisnis dan perusahaan dan saham dan hal-hal yang tidak kumengerti dan aku tidak tertarik untuk mengerti.” Saga sedikit menghela nafasnya pelan, “apa itu keinginanmu?”

“Bukan.”

Saga menoleh pada kakak kelasnya, “kau terpaksa?”

Tora tampak berpikir, “tidak juga.”

Saga mengernyitkan dahinya.

“Sebenarnya aku menyukai basket dan gitar. Dulu kupikir kedua hal itu akan kujadikan tujuanku di masa depan. Tapi saat aku sadar, masa depanku sudah diatur dan ditentukan keluargaku, aku menyerah dengan itu.” Itu sedikit lucu melihat Saga mendengarkannya dengan begitu seksama, mungkin apa yang dikatakannya menarik untuk adik kelasnya itu. Tora sedikit tersenyum. “Aah bukan menyerah, hanya... aku membedakannya antara hobi dan karirku di masa depan. Kakek buyutku sudah berjuang membangun perusahaannya sampai bisa sukses dan berkembang seperti saat ini, hingga aku juga bisa ikut menikmati hasilnya dan itu sudah menjadi kewajibanku untuk melanjutkan usahanya. Dibilang terpaksa... kadang aku jenuh dengan semua pelajaran dan aturan yang harus ku pelajari, apalagi saat yang lain menerima pelajaran sebagaimana anak SD seharusnya dan aku harus mulai belajar perbisnisan. Sementara yang lain punya banyak waktu luang untuk bermain dan aku tidak, dulu kupikir aku cukup tersiksa dan ingin melarikan diri. Tapi itu karena waktu itu aku masih kecil, belum mengerti dan mengenal hidup ini dan bersyukur dengan apa yang kudapatkan. Tapi sekarang...kupikir aku sudah lebih dari siap menerima masa depanku.”

Saga kembali menatap cangkir dikedua tangannya, “cara berpikir yang bijaksana. Tapi aku tak bisa seperti itu.” Saga sedikit menundukan kepalanya dan menghela nafas yang kemudian kembali ia angkat kepalanya dan ia teguk mocca di tangannya.

“Hei, kau menghabiskan moccaku,” Tora sedikit menepuk kepala Saga.

“Akan kuganti,” ucap Saga sedikit mendengus bermaksud beranjak ke dapur, namun Tora segera meraih pinggang ramping kekasihnya dan membawanya kembali duduk di sampingnya.

“Katakan padaku!” Tora menyingkirkan rambut yang menutupi tengkuk adik kelasnya dan mengecup permukaan kulit putih pucat itu, membuat Saga sedikit merinding, “Ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiranmu. Jika kuingat, kau tak pernah sekalipun terbuka tentang masalahmu. Katakan!”

Saga sedikit menggigit bibir bawahnya. Dia tidak pernah menceritakan masalahnya pada siapapun, tidak pernah ada orang yang ia biarkan tahu tentang apa yang selalu membebani pikirannya selama ini. Ia hanya tidak cukup mempercayai orang-orang di sekitarnya, lagipula... Saga pikir mereka tidak akan bisa membantu menyelesaikannya sekalipun ia bercerita. Tapi kali ini... Hanya untuk kali ini saja, Saga ingin membaginya dengan seseorang. “Sejak dulu, aku benci dengan hal-hal seperti darah, luka dan rasa sakit, aku tidak menyukai semua itu. Melihat darah hanya akan membuatku muntah dan melihat orang terluka karena kecelakaan atau semacamnya selalu membuat tubuhku seperti melemah. Aku tahu ini berlebihan dan aku seorang laki-laki...”

“Itu tidak berlebihan jika kau memang mengidap suatu fobia tertentu.” Tora menumpu'kan kedua lengannya di dengkul kakinya menengok wajah adik kelasnya, “dan itu informasi yang menarik tentangmu untukku.” Saga sedikit mendelik laki-laki di sampingnya, membuat Tora sedikit tertawa. “Lalu?” Tora memberi Saga keberanian untuk melanjutkan kalimatnya yang sempat ia potong.

“Orang tuaku ingin aku menjadi seorang dokter,” Saga mendengus.

“Coba kutebak, dan kau lebih ingin menjadi seorang fotografer daripada pekerjaan yang menurutmu menyebalkan seperti itu?” Saga menoleh ke arah kakak kelasnya, “dan jangan tanya darimana aku tahu. Itu jelas adalah hobi kotormu.”

“Hobi kotor?” Suara Saga terdengar jengkel.

“Begini, kasus kita berbeda. Dan untukmu, itu tidak bisa dipaksakan. Apa orang tuamu tahu fobiamu?”

“Mereka hanya menganggap itu cuma alasanku saja.”

“Sebenarnya apa alasan orang tuamu ingin membuatmu menjadi seorang dokter? karena penghasilan seorang dokter besar?”

“Kurasa itu hanya obsesi ayahku. Dia seorang dokter dan ingin aku seperti dirinya?” Saga mengangkat kedua bahunya.

Tora kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, “apa perlu aku bicara padanya?”

Saga menoleh pada kakak kelasnya tersentak dengan apa yang baru saja ia dengar. “kau bercanda?”

“Tidak. Jika kau mengizinkanku bicara padanya bahwa aku akan menjadikanmu istriku(?) hingga dia tidak berhak lagi mengatur hidupmu karena kau adalah tanggung jawabku.”

Saga mendengus memukul dengkul ketua osis BHS di sampingnya. Dia tahu kakak kelasnya itu bercanda, tapi entah kenapa perasaannya terhibur dengan itu.

Tora melingkarkan tangannya di pinggang adik kelasnya dari belakang, mengecup pundak laki-laki cantik itu, “jika memang kau ingin menjadi seorang fotografer, fokuslah dengan itu. Jangan biarkan apapun dan siapapun menggoyahkan tekadmu.” Saga kembali menolehkan wajahnya menatap kedua mata tajam itu di sampingnya, “masalah orang tuamu bisa diselesaikan suatu saat nanti, percaya saja pada dirimu sendiri bahwa kau terlahir dengan bakat itu bukan tanpa alasan. Percayalah bahwa kau memang ditakdirkan untuk menjadi seseorang yang kau percaya dan inginkan. Dan segala hambatan apapun akan terselesaikan jika takdir sudah memutuskan demikian.”

“Kau pikir aku punya bakat?”

“Tanyakan itu pada dirimu sendiri.”

Saga tidak menemukan candaan di kedua mata macannya itu atas setiap kata-katanya. Dan Saga tidak pernah tahu bahwa dengan menceritakan masalahnya pada seseorang, meski itu tidak membuat masalahnya selesai, setidaknya membuat perasaannya begini lega. Dan ia tidak menyesali seorang Tora itu yang ia percayai untuk mendengarkan keluh kesahnya.

“Kau mengantuk?” Tanya Saga melihat ketua Osis BHS itu tiba-tiba menguap. Tapi itu hal yang wajar mengingat ini jamnya untuk orang tertidur lelap.

“Sepertinya aku butuh tidur sejenak sebelum aku pulang.”

Pulang? entah kenapa Saga tak suka mendengar kata itu sekarang.

“Kau bisa tidur di tempat tidurku kalau kau mau,” Saga sedikit berat mengatakannya karena itu ia tak berani menunjukan wajahnya pada Tora saat mengatakannya. Itu hanya.... bukan Saga sekali. Tapi ia harus belajar untuk jujur sedikit demi sedikit bahwa dia perduli.

“Apa itu undangan untuk mengambil keperjakaanmu?”

Dan sebuah bantal sofa melayang ke wajah tampan tuan macan itu tanpa ia mendapatkan jawaban. Dan Saga menyesal telah berusaha menunjukan sedikit perhatiannya pada orang itu.

“Oke tidak perlu. Aku hanya butuh sejenak untuk memejamkan mataku di sini.”

“Lalukan sesukamu!” Ujar Saga ketus. Dan ia kembali membuka netbooknya untuk mencari kesibukan sampai tidak berapa lama kemudian ia kembali menengok macannya yang terlihat sudah ditarik ke alam bawah sadarnya hanya dalam beberapa saat. Ia tertidur dengan bersandar ke sandaran sofa dengan bertumpang kaki dan tangan yang menyilang di dadanya. Wajahnya sedikit menyamping dan agak tertunduk. Sepertinya ketua osis BHS itu sangat kelelahan dan tanpa sadar Saga hanya memperhatikannya dalam diam. Saga tidak bisa memungkiri, ini adalah pertama kalinya dia melihat wajah tidur macannya itu dan daripada disebut macan, ketua osis BHS itu lebih terlihat seperti kucing yang lucu saat ia tertidur dan Saga menyukai pemandangan yang dilihat matanya.

Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya dan Saga segera beranjak ke kamarnya untuk mengambil sesuatu. Saga kembali keluar dari kamar dengan kamera di tangannya. Ia bergerak perlahan untuk agar supaya tidak membangunkan macannya yang tengah tertidur, mengambil posisi, dan dengan beberapa kali jepretan Saga selesai mencuri wajah tidur ketua osis BHS itu. Saga tahu itu akan menjadi uang jika ia menyebarkan di websitenya, tapi tidak. Itu hanya miliknya. Dan Saga tidak akan membaginya dengan para fangirls gila itu.

Saga kembali menyimpan kameranya ke tempat semula, untuk menghilangkan bukti bahwa benda itu pernah dipakai hari ini. Dan laki-laki berambut hazel itu kembali ke ruangan dimana kakak kelasnya tertidur. Mengambil mantel yang tergeletak di lengan sofa di samping kakak kelasnya, dan menutupi tubuh yang mungkin kedinginan itu dengan mantelnya. Sesaat Saga seakan tak bisa melepaskan pandangannya dari wajah tidur menggemaskan itu dan seperti ada dorongan kuat untuk mencium bibir tipis itu. Tapi Saga menahannya. Ia tidak ingin membuat macannya terbangun terlebih gara-gara tindakan gegabahnya.

Saga kembali bersila di sofa di samping Tora yang tertidur. Ia kembali menutup netbooknya dan menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Melirik sekali lagi wajah tidur di sampingnya yang terlihat damai. Sedikit Saga menggeser posisi duduknya lebih mendekati kakak kelasnya namun saat bahunya sedikit menyentuh lengan ketua Osis BHS itu, tiba-tiba kepala Tora bergerak dan itu membuat Saga jantungan karena sepertinya kelakuannya membuat Tora bangun hingga makhluk berambut hazel itu buru-buru merangkak menjauh. Namun saat Saga kembali melihatnya, macan itu masih merapatkan kedua matanya dan lelap-lelap saja, membuat Saga mendengus.

Dan entah kapan Saga mulai mengantuk dan tak sadarkan diri tapi saat ia sadar pagi itu, ia menemukan Tora sudah lenyap dari sofanya dengan mantel yang macan itu tinggalkan menutupi tubuhnya. Saga menyingkirkan mantel itu dari tubuhnya, dan sepertinya itu bukan hanya mimpinya. Bahwa Saga merasakan kecupan lembut di keningnya beberapa jam yang lalu, hanya ia terlalu ngantuk untuk membuka matanya dan seakan merasakan itu antara mimpi dan nyata, tapi itu masih terasa membekas sampai sekarang. Dan entah bagaimana Saga merasakan perasaan sepi menemukan sofa di sampingnya kosong saat ia membuka mata.

☆ナチュラルセンス☆  (◕‿◕✿)

Ruki keluar dari mobil Uruha dengan perasaan yang tak nyaman seperti biasanya. Karena siswa-siswi BHS akan menatapnya dengan tatapan penuh makna dan banyak maksud. Tapi Ruki tak punya pilihan lain karena makhluk brunette itu terus mengatakan itu demi menghemat bensin dan tenaga supir dan embel-embel bahwa Kamijo yang menyuruhnya.

Ruki menghela nafas berat sampai tiba-tiba punggungnya di tepuk dengan kuat. “Semangat oi !!” Ucap tuan paha tanpa mengerti suasana. Ruki yang terkaget refleks mendorong lengan makhluk jangkung itu. “Woi, kau berani mendorongku?!”

“Kau sendiri mendorongku!”

“Aku boleh mendorongmu, aku boleh melakukan apapun padamu, tapi itu tidak berlaku untukmu!”

“Ha? Sejak kapan ada peraturan aneh macam itu?” Ruki menggulir bola matanya, ngeloyor meninggalkan Uruha.

“Sejak aku adalah Yuuji Kouyou! Woi!! Berani kau meninggalkanku saat aku sedang bicara!”

Ruki mengabaikan bacotan Uruha. Sungguh sesuatu yang aneh dia bisa menyukai makhluk brunette arogan dan banyak bacot itu. Kalau saja dia bisa memilih, Ruki pikir Reita lebih baik dari Uruha dalam banyak hal. Kecuali hidungnya mungkin.

Bruk.

“Aa...sumima—” belum sempat Ruki menyelesaikan kata-katanya dan melihat siapa orang yang ia tabrak baru saja, lengannya tiba-tiba ditarik seseorang membuat tubuhnya menjauh dari orang yang baru saja ia tak sengaja tabrak.

“Daijoubu.” Ucap orang itu tersenyum yang kemudian meninggalkan Ruki dan wajah setan Uruha.

“Apa yang kau lakukan?” Protes Ruki tak suka dengan sikap tak sopan Uruha.

“Jangan dekat-dekat dengannya!”

“Siapa yang dekat-dekat dengannya! Aku hanya tak sengaja menabraknya dan untunglah Shiroyama memaafkanku—”

“Aku bilang jangan dekat-dekat dengannya ya jangan dekat-dekat dengannya!”

“Kau—”

“Ohayou Uruha-sama! Ruki-sama!” Sapa Ko-ki dan Iv , kedua pengikut Uruha.

Ruki menahan kekesalannya pada Uruha, dan Uruha harus berterima kasih pada kedua pengikutnya atas itu. “Ohayou, aku permisi.” Ruki segera beranjak meninggalkan Uruha dan kedua pengikutnya menuju kelas.

“Kalian bertengkar?” Tanya Ko-ki bingung.

“Apa? Memangnya aku dan anak itu pernah akur?”

Ko-ki dan Iv saling berpandangan satu sama lain dan menggeleng kepala mereka bersamaan.

“APA?!” Uruha membentak membuat kedua pengikutnya jantungan. Dan mereka sadar sepertinya mereka memberikan jawaban yang salah, tapi setahu mereka kedua makhluk itu memang tidak pernah akur. “Lalu....Lalu bagaimana untuk bisa akur dengannya?” Uruha sedikit menggaruk tengkuknya. Dan entah Ko-ki dan Iv salah dengar, atau Uruha hanya bicara pada dirinya sendiri? Kedua pengikut Uruha itu bingung harus menjawabnya atau tidak. Takutnya mereka salah lagi.

Sementara sang bibir gurame melebar saat makhluk mungil yang sempat tak sengaja menabraknya tadi berjalan cepat melewatinya yang asik dikerumuni para fangirlsnya di koridor.

☆ナチュラルセンス☆  (◕‿◕✿)

“Kalau begitu aku duluan.”

Saga mengacungkan jempolnya dan Ruki segera beranjak dari kelasnya meninggalkan temannya itu tinggal seorang diri di dalam kelas. Saga masih punya urusan karena itu ia tidak ingin dulu pulang dari sekolah sebelum urusannya selesai. Dia belum melihat ketua Osis BHS nya hari ini, dan Saga butuh melihatnya. Lagipula Saga perlu mengembalikan mantel kakak kelasnya itu yang ditinggalkan dengan sengaja di apartmentnya.

Saga berdiri dari bangkunya, menggantungkan tas gendong di sebelah bahunya dan beranjak dari kelas. Ia menilik jam tangan di pergelangan tangannya, berjalan melewati koridor menuju ke arah dimana ruang Osis berada. Jika Saga sedang beruntung, para Osis itu sedang melakukan rapat sekarang dan sepertinya ia memang sedang beruntung, tapi sepertinya rapat mereka belum dimulai. Saga berdiri sambil bersandar di depan ruangan organisasi itu meski tak bisa melihat langsung ke dalam tapi setidaknya dia masih bisa mendengar suara orang itu.

“Ck!”

Dan Saga hampir dibuat jantungan tak menyadari seseorang tiba-tiba sudah berdiri beberapa langkah dari posisinya, menatapnya sinis. Saga hanya mendelik orang bernama Shou itu dan wakil ketua osis BHS itu masuk ke dalam ruang organisasinya setelah balas mendelik dingin adik kelas yang juga ia tahu kekasih sahabatnya itu.

“ Maaf, Tora sudah pulang dari Osaka tapi ia sedang dalam keadaan tak sehat hari ini, jadi hari ini pun aku yang akan memimpin rapat.”

Dan mendengar itu Saga menegakan tubuhnya. Tora tidak ada di ruangan rapat itu? Lantas untuk apa ia berdiri di sana?

☆ナチュラルセンス☆  (◕‿◕✿)

“Selamat beristirahat dan semoga lekas sembuh tuan muda.”

“Terimakasih.” Tora tersenyum pada maidnya yang baru saja mengantarkan obat dan membantunya meminumnya.

“Kami permisi.” Butler keluarga Amano dan maidnya sedikit membungkukan tubuhnya berpamitan sebelum keluar dari kamar tuan muda mereka.

Tora kembali merebahkan tubuhnya. Hanya sedikit masuk angin dan flu biasa, tapi ia memang butuh istirahat lebih banyak sepulangnya ia dari Osaka. Tora mencoba memejamkan kedua matanya sampai tiba-tiba ponsel di meja samping tempat tidurnya bergetar. Ia meraih ponselnya tanpa membangunkan tubuhnya, melihat siapa orang yang memanggilnya.

Sakamoto.

Bibir tipis ketua Osis BHS itu perlahan melebar sambil ia mengangkat panggilan dari adik kelasnya. Ini pertama kalinya, dan ini hal langka. “......”

“......”

“......”

“.......”

“Ada orang di sana?” Tora mengernyitkan dahinya.

“Y—yo!”

“.......”

“Aku hanya— ah. Kau baik-baik saja?”

Dan Tora senang akhirnya adik kelasnya itu mulai sedikit meruntuhkan ego dan kegengsiannya yang menggunung.

“Kau mengkhawatirkanku?”

“Tidak juga.”

“Terimakasih.”

“.......”

“Hanya merasa sedikit tidak fit, tapi aku akan senang kalau kau mau menjenguku ke sini dan merawatku.” Ucap Tora iseng. Ia tahu tidak mungkin adik kelas arogannya itu mau melakukan itu tapi Tora hanya ingin sedikit menggodanya.

“Aku tutup teleponnya.”

“Hei—”

Dan Saga benar-benar menutup sambungan teleponnya. Tora sedikit mendengus, singkat sekali adik kelasnya itu menghubunginya. Tapi tidak apa, dengan adik kelasnya itu berani menghubunginya dan menanyakan keadaannya itu merupakan suatu kemajuan. Tora kembali meletakan ponselnya di atas meja dan kembali memejamkan matanya. Namun sunggingan di sudut bibir tipisnya sulit untuk hilang.

☆ナチュラルセンス☆  (◕‿◕✿)

Ruki melemparkan tasnya sembarang ke atas ranjang. Uruha benar-benar sableng menjalankan mobilnya dan mereka hampir menabrak nenek-nenek yang menyebrang tadi, membuat Ruki misuh-misuh di sepanjang jalan. Ruki heran bagaimana orang sableng di jalanan seperti Uruha bisa lemas saat naik rollercoaster. Ruki menghela nafasnya berat dan melihat ke luar jendela kamarnya yang memang semenjak tadi telah mendung. Dan Ruki mengerti alasan Uruha kebut-kebutan seperti itu karena ia ingin sampai di rumah sebelum hujan turun. Tapi kalau harus selalu mempertaruhkan hidup  dan melibatkan hidupnya setiap langit mendung, Ruki tidak mau! Ketakutan Uruha itu benar-benar harus sembuh. Lagipula jika Ruki ingat bagaimana ekspresi Uruha setiap harus berhadapan dengan petir, itu membuat makhluk minis itu sedikit.... sedih. Ruki tidak suka melihat Uruha seperti itu. Apa sebenarnya yang membuat Uruha memiliki ketakutan itu? Dan jika saja ada yang bisa ia lakukan untuk membantu menyembuhkannya...

☆ナチュラルセンス☆  (◕‿◕✿)

Tora perlahan membuka matanya menyadari interkom di samping tempat tidurnya berbunyi. Dan ia melihat jam di dinding, masih terlalu dini untuk jam makan malam. Dengan malas ia meraih benda yang terus saja berbunyi itu dan mengangkatnya. “Ya?”

“Maaf atas kelancangan saya mengganggu istirahat anda Tuan muda.”

“Ya, tidak apa. Ada apa Toshi-san?” tanya Tora masih sedikit malas dan ia membalik posisi tubuhnya yang terlentang jadi menyamping.

“Teman anda berkunjung—”

“Oh. Suruh saja dia langsung ke kamarku!” Ucap Tora sambil mengucek satu matanya. Tidak ada temannya selain Shou yang berani keluar masuk rumahnya karena itu Toshi tak perlu mengatakan siapa teman yang mengunjunginya sampai Tora sadari...

“.......”

“Tuan muda?”

“Ah. Ya. Terimakasih Toshi-san, kau bisa kembali sekarang.”

“Kalau begitu saya permisi.”Pamit butler keluarga Amano itu meninggalkan tuan mudanya yang masih terlihat cukup terkejut dengan siapa orang yang baru saja ia bawa.

Jika itu Shou, Toshi akan mengatakan "Tuan muda Kohara". Dan Tora terlambat menyadarinya.

☆T.B.C☆  (◕‿◕✿)

No comments:

Post a Comment