Search + histats

Sunday, 27 December 2015

Closed Memories.01

Author : RuKira Matsunori
Chapter : 01/?
Pairing : ?
Genre : ?
Rating : R (untuk sebuah alasan xD)
Fandom : the GazettE, Alicenine, Dir En Grey, ViViD
Summary : Akira berhasil selamat dari kecelakaan yang menimpanya. Tapi kesempatan keduanya untuk hidup di dunia ini tidaklah tanpa bayaran. Akira punya tugas untuk kembali mengumpulkan kepingan-kepingan yang terpecah dan hilang untuk menemukan apa yang dunia berusaha sembunyikan darinya?
Length : 11 pages (3.454 words)
Note : Nyahah saia memakai realname ya di fic ini. Dan ini eksperimen saia di genre ini(?)  semoga berhasil saia selesaikan!(´ヮ`) dan jangan liat Plain Title-nya....itu saia dapatkan pas mau publish pisan(?) karena saia bingung mau ngasih judul apa lol





*****

Tidur membuat pikiran manusia kosong. Tidur adalah cara manusia mengistirahatkan fisik dan mentalnya. Cara manusia menghindar sejenak dari rasa sakit dan semua masalah yang membebani di siang hari. Mereka tidur, mengosongkan pikirannya meski pada akhirnya semua memori, masalah, kekhawatiran, ketakutan, kepedihan itu kembali saat kedua mata mereka kembali terbuka ketika pagi menjemput.
Tapi tidak dengan Akira.

Saat kedua matanya terbuka pagi itu... tak ada rasa senang, sedih, takut, atau apapun. Tak ada kekhawatiran akan PR nya yang mungkin belum ia kerjakan, tak ada ketakutan akan sebatang rokok yang mungkin akan ayahnya temukan di kantong seragamnya, tak ada rasa semangat untuk hari ini yang mungkin ia akan bertemu dengan perempuan teman sekelasnya yang sejak lama diam-diam ia sukai. Tak ada satupun memori hari-hari sebelum ia tertidur yang kembali ke otaknya saat ia terbangun pagi itu.

“Akira! Oh Tuhan, syukurlah.”

Bahkan wajah perempuan tua dengan air mata yang memeluknya saat ini tak mendapat tempat di memorinya.

*****

“Taka?”

Akira melihat anak yang berdiri di luar pintu rumahnya itu sedikit kaget mendengar namanya tiba-tiba dipanggil dan ia segera berpamitan pada nenek Akira dengan sedikit tergesa-gesa. Padahal Akira pikir dia tengah mengobrol dengan neneknya di pintu tadi.
Dan tatapan kedua mata itu... tak bisa Akira lupakan.

“Nenek terkejut kau langsung mengingat Takanori?”
Dan mungkin itu juga yang dirasakan orang bernama Takanori itu. Dia pasti tahu Akira hilang ingatan.

“Tidak. Tiba-tiba saja nama itu seperti muncul di kepalaku saat melihatnya.” Dan itu nyata.

Nenek Akira tersenyum dengan wajah rentanya, “dia tinggal di samping rumahmu. Kalian adalah teman baik sejak kecil, bahkan kalian sudah seperti adik dan kakak,” Nenek Akira seperti menjawab pertanyaan yang menggantung di dalam kepala cucu satu-satunya itu sambil mengiris bawang untuk ia tambahkan ke masakannya pagi itu. “Takanori selalu mengkhawatirkanmu, dia sering sekali menanyakan keadaanmu saat kau masih dalam keadaan tak sadarkan diri.”

“Lalu kenapa dia tidak menemuiku langsung tadi?” Mengingat anak bernama Takanori itu malah langsung berpamitan saat melihatnya keluar kamar.

“Mungkin dia terburu-buru harus berangkat sekolah?”

Akira mengangguk-anggukan kepalanya, menghentikan keinginan mulutnya untuk terus berargumen. Tidak ingin bertanya apa arti dari tatapan anak itu saat pertama kali bertatap muka dengannya tadi. Saat pertama kali melihat Takanori, selintas ada perasaan familiar, bahkan seperti ada bayangan kilat yang menyambar kepalanya yang menciptakan perasaan bercampur aduk. Tentu saja kan? Nenek Akira bilang mereka sudah seperti kakak beradik, itu artinya mereka sebegitu dekatnya. Tapi tetap saja, tatapan yang Akira lihat itu bukan tatapan yang seharusnya anak itu tunjukan padanya jika Takanori benar menganggapnya seperti saudara.

“Tiga hari lagi kau akan mulai kembali masuk sekolah Akira, dan bertemu kembali dengan teman-temanmu. Apa kau bersemangat?”

“Aku bahkan tidak ingat mereka.”

Wanita paruh baya itu tersenyum pada Akira dengan senyuman yang Akira yakini adalah senyuman mengasihani nasib cucu satu-satunya itu. “Anggaplah kau baru pindah ke sekolah baru, dan mungkin saja kau akan mengingat mereka setelah bertemu nanti? Itu akan sangat membantu ingatanmu untuk sembuh, dengan bertemu orang-orang yang kau kenal dan membawa kembali sedikit demi sedikit memori bersama mereka yang pernah kau simpan. Dan jangan khawatir, Takanori akan membantumu jika ada hal yang perlu kau ketahui. Kalian satu kelas.”

Akira kembali menganggukan kepalanya dan kembali ke kamarnya dengan sedikit terpincang setelah berpamit pada neneknya di dapur. Ia masih sedikit kesusahan untuk berjalan tanpa tongkat tapi setelah keluar dari rumah sakit, Akira tidak ingin terus bergantung pada benda itu.
Sepuluh hari sejak Akira terbangun dari ketidaksadarannya. Kadang saat malam ia tertidur, beberapa wajah muncul dalam mimpinya, dan ia merasa sangat mengenal wajah-wajah itu, tapi kemudian saat terbangun ia kembali tak ingat seperti apa itu wajah yang muncul dalam mimpinya. Tapi yang Akira pelajari dari 10 hari hidup baru nya ini, neneknya mengatakan bahwa ibunya sudah meninggal dan alasan Akira tinggal bersamanya karena Ayah Akira terlalu sibuk bekerja hingga harus menitipkannya. Akira pernah bertemu sekali waktu dengan ayahnya saat laki-laki itu menjenguknya di rumah sakit, tapi seperti yang nenek Akira katakan, mungkin dia sibuk dengan pekerjaan hingga tak lagi sempat menengoknya. Dan harus Akira akui, perasaan yang muncul saat ia melihat laki-laki itu, sedikit tidak menyenangkan, bahkan bayangan-bayangan yang muncul di kepala Akira tentang laki-laki itu sedikit kabur seakan berusaha otaknya tolak untuk agar memori tentang orang itu tidak kembali ke tempatnya.

Dokter mengatakan ingatannya akan kembali pulih dalam beberapa waktu, hanya perlu waktu. Dan entah berapa lama yang waktu butuhkan untuk mengembalikan semua kepingan-kepingan ingatannya untuk kembali utuh seperti saat sebelum kecelakaan itu terjadi.

“Yo! Reita.” Seorang laki-laki yang Akira sadari bertubuh lebih tinggi darinya tiba-tiba merangkulnya dari belakang. Reita... Takanori bilang teman-temannya di sekolah memanggilnya dengan sebutan itu. Itu juga nama panggilan yang Akira sukai yang dia dapatkan dari kesukaannya pada Tanaka Reina, artis perempuan idolanya. Takanori juga mengatakan selain dirinya, Akira punya teman yang cukup dekat daripada teman-teman sekelasnya yang lain, dia adalah Kouyou. Dari ciri-ciri yang Takanori deskripsikan tentang orang bernama Kouyou itu, Akira yakin orang itu adalah yang merangkulnya saat ini? “Hei! kain aneh apa itu di hidungmu?”

Oke. Itu salah satu alasan semua orang yang berpapasan dengan Akira menatapnya lebih lama, selain cara jalannya yang sedikit terpincang, tapi kakinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, hanya perlu beberapa hari untuk bisa kembali berjalan dengan normal.... mungkin. “Tulang hidungku patah.”

“Ups! Tapi senang melihatmu kembali ke sekolah dengan lengkap kawan! Kupikir kau akan kehilangan salah satu anggota tubuhmu karena kecelakaan tragis itu. Iw! Bagaimana rasanya itu di hantam kendaraan dan terpental beberapa meter?”

“En...tahlah?” Akira mengernyitkan dahinya. Ia memang tidak tahu rasanya, ia tidak ingat. Tapi tidak semua orang tahu kalau ia kehilangan ingatannya, belum. Tapi Takanori menyarankan agar membuat itu sebagai rahasia, dan mengatakan akan membantunya jika ada hal yang tidak dia ingat. Tapi Akira merasa itu tidak masuk akal untuk menyembunyikan apa yang dideritanya saat ini. Tidak ada ruginya semua orang tahu tentang keadaannya saat ini kan? itu akan lebih mudah daripada harus berpura-pura mengingat semuanya. Tapi tentu saja... Akira tak akan dengan sengaja membuat pengumuman untuk semua orang bahwa dirinya amnesia saat ini, itu bodoh. Tapi setidaknya, jika Kouyou teman dekatnya, dia perlu tahu.

“Hilang ing—”
Takanori segera membekap mulut Kouyou sebelum membuat perhatian anak-anak di kelas 2-3 itu kembali pada Akira karena suara Kouyou. Akira sudah cukup kenyang jadi pusat perhatian siswa-siswi di sekolahnya sejak ia memasuki gerbang sekolah bersama Takanori tadi pagi. Ditambah teman-teman sekelasnya yang seperti menelanjanginya dengan tatapan seakan baru melihat mayat yang kembali bangkit dan masuk ke kelas mereka. Beberapa dari mereka menyambut kedatangan Akira dan menanyakan keadaannya, hanya beberapa, tak semua.

“Wow! Berarti kau tak mengingatku? dan kejadian-kejadian menyenangkan yang pernah kita alami?”

Kouyou. Sejak pertama melihatnya pagi ini, Akira pikir salah satu teman dekatnya itu satu dari orang-orang yang mengedepankan fashion dan tahu bagaimana berpenampilan. Dari gaya rambut dan aksesoris yang terlihat mahal di pergelangan tangan dan lehernya, membuat Akira berkesimpulan. Dan Kouyou cocok dengan semua yang ada pada dirinya. Dia juga punya wajah yang tidak bisa diremehkan. Mungkin itu bisa dimanfaatkan untuk menjadi seorang playboy tapi Akira tidak akan dulu memberi penilaian. Hanya karena Kouyou bertampang cocok-untuk-jadi-seorang-playboy belum tentu sang brunette itu punya pribadi demikian. Dan satu yang Takanori lupakan memberitahu Akira. Keblong-an mulut Kouyou.

“Tidak. Tapi saat melihatmu aku merasa tak asing.”

“Hmm...” Kouyou terlihat mengangguk-anggukan kepalanya masih sedikit tak percaya. “Dan Takanori?” laki-laki brunette itu menunjuk anak laki-laki paling kecil diantara mereka yang duduk di samping Akira.

“Tentu saja Reita juga tak mengingatku!” jawab laki-laki mungil itu cepat. Akira sedikit meliriknya.

Takanori. Dengan wajah yang bulat dan kulit yang putih pucat. Tubuhnya lebih pendek dari Akira apalagi Kouyou. Itu memberikan kesan imut melekat padanya. Dan jika nenek Akira mengatakan Akira dan Takanori sudah seperti adik dan kakak, Takanori adalah figur seorang adik di sini. Saat pertama kali melihatnya pagi itu, Akira bahkan berpikir dia lebih muda darinya. Berbeda dengan Kouyou, Takanori tidak banyak bicara, kecuali saat jawabannya dibutuhkan dan ada sesuatu penting yang harus ia sampaikan. Seperti pagi ini mereka berangkat bersama menuju sekolah, dan Takanori memberi Akira informasi tentang sekolahnya ini secukupnya, setelah itu Takanori tak mengajak Akira ngobrol apapun.

“Sou ka? Itu menyakitkan, he? Taka!” Kouyou menaikan sebelah alisnya bertanya pada Takanori.

“He?” Takanori sedikit tidak nyaman dengan pertanyaan Kouyou yang ia tunjukan padanya, yang Takanori yakini Kouyou hanya ingin sekedar menggodanya. Melihat Akira kini menoleh padanya membuat Takanori sedikit salah tingkah, “ti—tidak! aku bersy—maksudku... dia menyebalkan dulu! Lebih baik seperti ini...” Takanori menghindari tatapan heran Akira padanya.

“Haha... benar juga,” Kouyou tertawa menepuk-nepuk meja.

Dan itu bukan hal menyenangkan dan lucu menjadi orang yang kehilangan semua memori tentang dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Lantas bagaimana Kouyou bisa tertawa seenteng itu mensyukuri hilangnya ingatan teman baiknya sendiri? Hanya karena dulu Akira orang yang menyebalkan? Oh, Akira tahu mereka hanya bercanda. Tapi itu tetap menyisakan rasa penasaran, orang seperti apakah dirinya sebelum nasib buruk itu menimpanya?

“Kau mengingatku Akira?”

Dan semua mata di kelas itu kini sukses kembali mengarah pada Akira karena pertanyaan absurd wali kelas mereka.

“Sakamoto-sensei?” Jika Akira tak salah orang.

“Takanori memberitahumu?”

Akira melirik Takanori di sampingnya yang juga meliriknya.

“Apa maksudnya sensei?”
Sakai yang merupakan ketua murid di kelas itu angkat bertanya.

“Kecelakaan itu membuat Akira kehilangan ingatannya,” dan itu seperti sebuah pengumuman resmi yang diumumkan Sakamoto selaku wali kelas itu pada anak-anak didiknya. Dan itu semakin tidak mungkin untuk Akira menuruti apa yang disarankan Takanori. Mungkin Takanori lupa bahwa pihak sekolah pasti mengetahui apa yang dialami Akira mengingat orang tua murid dan pihak sekolah terutamanya wali kelas harus menjaga komunikasi mereka demi terjalinnya hubungan baik diantara keduanya demi kelancaran proses belajar siswa-siswi juga, dan Takanori mungkin lupa Sakamoto adalah wali kelas tersuka ikut campur soal masalah murid-muridnya.

Dan untuk kedua kalinya Akira merasa harus menahan diri untuk tidak kabur menghindari tatapan-tatapan dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-teman sekelasnya. Benar-benar hari yang melelahkan untuk hari pertama Akira kembali memulai aktivitasnya di sekolah. Tapi bukan hal yang mengejutkan, setidaknya jauh-jauh hari Akira sudah menduga akan bagaimana hari pertamanya di sekolah.

“Taka,” Akira memanggil teman kecilnya yang tengah meneguk cola-nya, dengan matanya tak lepas dari sosok yang ia yakini seperti memberinya tatapan yang aneh semenjak mereka tiba di cafetaria, bahkan mungkin saat ia pertama memasuki kelas. Tapi kemudian anak itu segera menarik tatapan matanya dan mengarahkannya ke arah lain sebelum akhirnya kembali pada buku di tangannya saat Akira menyadarinya.

“Hm?” Takanori merespon.

“Anak itu... teman sekelas kita kan?”

Takanori mengikuti arah mata Akira dan menemukan siapa orang Akira maksud. “Kohara?” Takanori bertanya pada Akira untuk memastikan apa orang yang Akira maksud adalah siapa yang ia pikirkan.

“Anak yang duduk sendirian dengan kaca mata tebal dan kawat gigi, juga buku di tangannya. Jika itu yang kau maksud Kohara, ya! itu.”

“Kohara Kazamasa, ya dia teman sekelas kita. Kenapa?” Tanya Takanori sedikit penasaran.

“Hm. Tidak. Mungkin hanya perasaanku.” Akira mengambil minuman kalengnya dan meneguknya.

“Hanya perasaanmu, kalau dia aneh?” Kouyou termasuk salah satu orang yang tak bisa menjaga mulutnya. Sebenarnya tak perlu pengumuman dari Sakamoto-sensei, dengan Kouyou tahu saja itu sudah termasuk mengumumkan ke seluruh sekolah tentang apa yang diderita Akira saat ini. “Kau tidak salah, dia memang makhluk teraneh. Tak salah jadi target bullying di sekolah ini.”

“Bullying?” memori Akira sedikit kesusahan mencerna satu kata yang terasa baru di telinganya. Mungkin itu bukan kata baru untuk Akira hanya memorinya yang lupa mengoleksinya kembali.

“Ya, dulu geng Niimura paling suka membulinya. Entah berapa kaca mata miliknya yang sudah Niimura dan kawan-kawannya pecahkan, bahkan yang aku dengar dia juga target permanen pemerasan Niimura. Karena itulah dia pasti orang yang paling senang atas kematian Niimura dan kawan-kawannya.”

Akira sedikit tersentak dengan kata-kata yang keluar dari mulut Kouyou. “Mati?”

“Itu kejadian lama Rei—”

“Lama? Ha. Hanya beberapa bulan berlalu Taka. Dan lagi orang itu masih berkeliaran bebas di sekolah ini.”

“Tapi Reita tidak perlu tahu hal seperti itu sekarang.”

“Lambat laun Reita pasti tahu.”

Akira sedikit menaikan alisnya tak mengerti dengan apa yang kedua temannya diskusikan, “hal apa?” akhirnya Akira angkat bertanya dan mengabaikan Takanori yang seakan berusaha mencegahnya untuk mengetahui informasi yang Akira rasa sedikit membuatnya penasaran.

“Bahwa di sekolah ini ada seorang pembunuh.”

Dan Akira seperti membatu. Pembunuh? Di sekolahnya yang terasa damai dan hidup ini pernah terjadi pembunuhan?
Sementara Takanori hanya mendengus menggulir bola matanya, tak suka dengan apa yang ia dengar.

“Hei Taka, it's okay man haha... aku hanya ingin sahabat kita tahu terror di sekolah ini agar dia lebih berhati-hati. Ayolah, informasi seperti ini bukan hal kotor untuk diketahui. Kecuali aku memberinya majalah-majalah dan CD-CD koleksiku, oh hei! Bagaimana kalau sepulang sekolah mampir ke rumahku Rei? Aku yakin kau perlu bernostalgia dengan koleksi-koleksi berharga kita.”

“Oi!”

“Lalu siapa pembunuh itu? Apa sudah tertangkap?” Dengan mengabaikan bacotan Kouyou yang sama sekali tak masuk ke otaknya, Akira mengeluarkan rasa penasarannya.

Kouyou tersenyum tipis, memberi perhatiannya penuh pada sahabatnya yang terlihat sangat tanpa petunjuk sama sekali mengenai kejadian di sekolah ini. “Karena itulah kita di sini Rei.” Dan Akira sama sekali tak mengerti dengan sepatah kata yang keluar dari mulut laki-laki brunette di hadapannya itu. Itu tidak menjawab pertanyaannya.

“Omong kosong, jangan dengarkan dia Reita! ” Takanori menyarankan, terlihat sedikit kesal dengan Kouyou.

“Kita adalah trio pecinta misteri, ditakdirkan bersekolah di sini untuk memecahkan misteri ini,” terang Kouyou terlihat percaya diri sementara Takanori mendengus mendengarnya.

“Maksudmu? Melibatkan diri dengan pembunuhan?” Dan Akira berharap jawabannya adalah tidak.

“Yep!” Kouyou menganggukan kepalanya kuat.

“Bukankah itu berbahaya?” Akira mengernyitkan dahinya.

“Hei, kau yang sebelumnya tak akan mengatakan itu! Aku kecewa padamu.” Kouyou sedikit memanyunkan bibirnya. Dan Akira berpikir, sebenarnya seperti apa dirinya dan teman-temannya ini sebelumnya? ia semakin ingin tahu. “Tidakkah kau berpikir... hal yang kau alami mungkin bukanlah kecelakaan Rei, tapi seseorang sengaja ingin membunuhmu namun berakhir tidak seperti yang dia harapkan. Kau masih bertahan hidup tapi keuntungan untuknya karena ternyata kau kehilangan ingatan.”

“Omong kosong, Kouyou!”

Tak mendengarkan ucapan Takanori, Kouyou sedikit memajukan wajahnya mendekati Akira, “dan kenapa dia ingin membunuhmu? karena mungkin kau tahu siapa si pembunuh itu.” Kouyou sedikit berbisik mengatakannya dan itu sukses membuat Akira kembali membatu. Seperti ada aliran listrik yang menjalari tulang belakangnya, kata-kata Kouyou entah bagaimana terasa masuk akal untuk Akira.

“Bhahahahah... lihat wajahmu! Hahahah mengerikan hahah...”

“Itu tidak lucu!” Takanori menggulir bola matanya jengkel. Sementara Akira baru sadar, dengan Kouyou tertawa sekuat itu, artinya makhluk brunette itu sukses membodohinya.

“Hahah jangan terlalu serius kawan!” Kouyou menepuk-nepuk bahu Akira dan ia mendapatkan tangkisan dari sahabatnya atas perlakuannya itu. Tapi Akira sedikit merasa lega, semua itu hanya candaan. “Tapi serius, aku suka misteri, dan kejadian di sekolah ini menarik rasa penasaranku.”

“Tapi kau tidak akan seberani itu melibatkan diri langsung dengan kasus kan? Tuan-sok-detektif!”

“Taka, kau merobek kebanggaan diri-ku!” Kouyou mengerucut-rucutkan bibirnya yang baru Akira sadari, sahabatnya itu punya bibir yang cukup unik. “Dan... oh ya, bahkan si pembunuh itu juga punya sebuah blog, dimana semua postingannya berisi kesan dan pengalamannya membunuh.”

“Aku rasa sudah cukup Kouyou.”

“Nama blognya 'I am A killer'. Blog itu cukup ramai jadi pembicaraan, awalnya hanya dianggap blog orang iseng yang kurang kerjaan dan ingin mendapat visitor banyak dengan cara instan, sampai apa yang dia tulis di blognya benar-benar menjadi kenyataan. Dan yang menarik, dia mengakui dirinya sebagai siswa di sekolah ini.”

“Tak ada artinya menceritakan semua itu pada Reita.”

“Kau hanya penakut Taka. Setiap kita membicarakan kasus di sekolah ini, kau selalu seperti akan menangis dan berlari bersembunyi dibalik selimutmu haha...”

“Aku hanya merasa itu bukan urusan kita.” Takanori menyilangkan kedua tangannya di dada.

“Bukan urusan kita? sementara si pembunuh itu berkeliaran di seko—”

“Reita?” Takanori melihat Akira tiba-tiba memegangi kepalanyanya. “Hei, kau baik-baik saja?” Tanya Takanori mulai khawatir melihat sahabatnya semakin menunduk dan mulai meringis seperti kesakitan dengan kedua tangan memegangi kepalanya kuat.
Akira merasakan denyutan itu semakin kuat di kepalanya. Hantaman batu besar tak kasat mata yang membuatnya meringis dan dengungan di kedua telinganya yang membuat Akira seakan ditarik paksa ke alam lain.

“Hei, ada apa dengannya?” Kouyou sedikit mengernyitkan dahi. Dan bukan mendapatkan jawaban, Takanori hanya memberinya tatapan tajam seakan menyalahkannya atas apa yang dialami Akira saat ini.

Tapi itu tidak sepenuhnya salah. Kouyou menceritakan hal yang bagi Akira bukanlah hal asing yang ia dengar. Selintas seperti ada bayangan-bayangan familiar yang melesat di kepalanya, dan ketakutan menjalari tubuh Akira. Tubuh dan otaknya seakan menolak bayangan itu memperjelas dirinya. Dan saat semua penyiksaan itu berakhir, Akira menemukan dirinya terbaring di atas ranjang di ruangan yang serba putih, seperti saat pertama kali ia membuka matanya dari tidur panjangnya, tapi itu bukanlah tempat yang sama.

“Kau sudah sadar?” Seorang laki-laki dengan jas putih yang terduduk di kursi tidak jauh di sampingnya bertanya, ia terlihat mengabaikan pekerjaan di atas mejanya sejenak menyadari Akira tersadar. “Bagaimana perasaanmu? Apa ada yang sakit?”

Hidung, kaki dan beberapa bagian tubuh Akira masih terasa sakit tapi mungkin bukan itu yang ditanyakan laki-laki itu. Alasan Akira terbaring di tempat itu karena sakit di kepalanya dan itu sudah tidak terasa sekarang. “Baik. Aku tidak apa-apa.”

Laki-laki itu mengangguk lemah, “Syukurlah. Sudah waktunya pulang, temanmu akan segera menjemputmu sebentar lagi.” Ucapnya lalu kembali memutar kursi dan tubuhnya menghadap meja dan pekerjaannya yang sempat ia abaikan. Dan benar, beberapa saat kemudian pintu ruangan itu terbuka dengan memunculkan sosok Takanori di pandangan Akira.

“Kau sudah sadar?” Tanya laki-laki mungil itu sambil menghampiri Akira, “Oh, maaf... Terachi sensei...” Takanori hampir mengabaikan makhluk selain Akira di ruangan itu.

“Dia tidak apa-apa, kau bisa membawanya pulang.”

“A-Arigatou...” Takanori sedikit membungkukan tubuhnya lalu membantu Akira turun dari atas ranjang yang kemudian mereka berpamitan pulang pada sensei penghuni UKS itu.

“Kau kenapa? Semua baik-baik saja?”
Akira bisa melihat kekhawatiran tersirat jelas di wajah teman kecilnya itu. Kecemasan, ketakutan, Akira seperti bisa merasakan perasaan laki-laki yang berjalan di sampingnya itu dengan perasaannya. Dan itu sedikit aneh, mereka anak kembar atau apa? Sampai rasanya Akira merasa seakan tahu segalanya tentang Takanori.

“Aku baik-baik saja.”

“Apa kau mengingat sesuatu?”

Akira sedikit mengusap tengkuknya, “aku tidak tahu, semuanya hanya bayangan samar.”

Dan Akira mendengar helaan nafas di sampingnya, “jangan terlalu terburu-buru Reita.”

“Bukan aku yang mengendalikannya.”

Takanori tersenyum. Tapi lagi-lagi Akira merasakan kepahitan di sana. “Maaf, aku tidak mengingatmu.” Kata-kata itu seperti meluncur begitu saja dari mulutnya. Dan Takanori sedikit melebarkan matanya mendengar kata-kata Akira, tapi kemudian wajahnya melembut dan ia menggelengkan kepalanya.

“Sebagai seorang teman, melihat temannya dapat berjalan di sampingnya seperti ini setelah kecelakaan fatal menimpanya, itu sudah sebuah keajaiban.” Takanori menepuk-nepuk pundak laki-laki yang lebih tinggi itu di sampingnya, namun ada sedikit kecanggungan di sana, “kau tidak tahu betapa senangnya aku mendengar kau sadarkan diri setelah beberapa hari terbaring? Ingatanmu tidaklah penting bagiku, yang penting kau berdiri di sini sekarang! Dan kita bisa kembali menciptakan kenangan baru untuk memenuhi kepala kosongmu itu haha..” Takanori melepaskan tangannya dari pundak Akira dan kedua tangannya beralih memegangi kedua tali bahu tas gendongnya sedikit menunduk dengan tawa yang terlihat dipaksakan masih bersisa di wajahnya.

Sejenak Akira merasakan otot-otot tangannya seperti memerintahkannya untuk meraih tubuh kecil di sampingnya, namun otak Akira tak menginginkan itu, pikirannya menolak untuk melakukan itu. Karena entah bagaimana, itu terasa salah.

*****

“Hilang ingatan...ch!” Sosok itu menggenggam balpoin di tangannya dengan geram dan kemudian tubuh itu sedikit bergetar karena tawa yang berusaha ditahannya. Tawa dan tangis yang berusaha ditahannya. “Kau menghindar.... Akira!”


***TBC***

No comments:

Post a Comment