Search + histats

Sunday, 28 September 2014

Tiger Eyes ※6A

Author: RuKira Matsunori
Chapter: 6A/6
Genre: AU // Romance // Drama
Rating: R 
Fandom: Alicenine
Pairing: Tora / Saga.
Warning: Male x Male!
A/N: Maaf untuk ke-telat-annya xD minggu kemarin ada sedikit 'masalah' yang bikin saia gak mood ngetik. Oh ya part B-nya nanti malam ya xD *plakk*






×÷~虎の瞳~÷×

Aku menyantap sarapanku dengan malas. Padahal Naomi-san memasaknya khusus untukku, padahal aku selalu menyukai masakannya, padahal seharusnya sarapan pagiku ini sangat menggiurkan untuk ku santap tapi aku tak berselera. Aku masih ngantuk. Aku tak bisa tidur semalaman. Dan ketika akhirnya aku merasakan kesadaranku mulai hilang, itu tidak bertahan lama karena suara cempreng Yuki kembali mengembalikan kesadaranku. Mengguncang-guncang tubuhku, menyingkap selimutku, menarik tanganku untuk meninggalkan tempat tidur dan meski aku mengabaikannya tak mau beranjak, dia terus melakukan itu sampai akhirnya aku menyerah. Intinya aku kekurangan tidur! 

“Takashi-niichan tidak biasanya malas makan,” komentar Yuki sambil melihat piring makanku. 
“Kau baik-baik saja Takashi?” Tanya Naomi-san terlihat khawatir.
“Aku baik-baik saja,” jawabku berusaha tersenyum.
“Apa karena Shinji-niichan sudah pulang, Takashi-niichan jadi tidak bersemangat?” Nagisa tertawa kecil.
“Eeh! Benarkah?” Yuki mengernyitkan dahinya menatapku.

Oh ya, dia sudah pulang. Karena itulah aku bisa sedikit terlelap tadi pagi. 
Meski sebentar!

“Aku hanya kurang tidur.” Jawabku malas.
“Tadi Shinji mengambil kereta pagi-pagi sekali. Itu mendadak. Aku pikir kalian akan pulang barengan dari sini. Aku bahkan tidak sempat menyiapkan oleh-oleh untuknya.” Naomi-san terlihat sedikit kecewa.

Kupikir tidak mendadak. Aku melihatnya membereskan barang bawaannya semalam. Tapi pukul 5 pagi? Kupikir tidak akan sepagi itu dia pulang. Mungkin ibunya menyuruhnya agar pulang lebih awal? Mungkin dia tidak ingin bolos kuliah?

“Jadi milikku!” 

Aku sedikit memejamkan mata. Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Kata-kata itu yang membuatku tak bisa tidur semalaman. Aku masih tak mengerti, apa itu sebuah pilihan untukku? Apa maksud dari milik yang dia katakan itu semacam... kekasih? Tapi kenapa dia memintaku? tidak, tidak! Yang kutahu dia membenciku! Mungkin maksudnya adalah menjadi budaknya?

Oh, ayolah Saga, Kau tidak sebodoh itu!!
Shinji menciumku!! Apa itu perlakuan yang akan ia lakukan untuk calon budaknya? Tapi dia membenciku! dia bukan gay! dia— 
tidak mungkin menyukaiku kan? Apa yang membuatnya suka pada orang yang selalu mengejek dan menjailinya ketika kecil? Kenapa dia menyukaiku? Sejak kapan dia menyukaiku?
Dia seakan suka melakukan hal-hal yang mengejutkanku. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada di kepalanya!

Aku mengelus pelan lengan atas kananku. Dia mungkin tak sadar bahwa aku terjaga saat itu. Aku sama sekali tak bisa tidur, bahkan aku tahu saat dia terbangun dan bersiap-siap untuk pulang. Dan tindakannya mengecup lengan atasku saat aku tidur membelakanginya sebelum dia pulang adalah tindakan mengejutkan lain darinya. Tapi aku tidak berani bertanya untuk apa dia melakukan itu, aku tetap pura-pura tertidur bahkan sampai dia pergi.

Aku masih belum berani menghadapinya. Aku hanya terdiam seperti orang bodoh saat Shinji mengatakan kata-kata itu tadi malam, sementara mungkin dia menunggu jawaban dariku? Setelah beberapa lama aku terbengong akhirnya dia meninggalkanku dengan kata 'aku mengerti' keluar dari mulutnya. Dia tidur mendahuluiku sementara aku tak bisa tidur sama sekali setelah apa yang dia lakukan. 

Apa yang dia mengerti? Saat itu bahkan aku tak mengerti dalam keadaan apa aku berada. Dia bilang jadi miliknya? Atau pergi jauh dari kehidupannya? Maksudnya, jadi kekasihnya atau jadi orang asing untuknya?

Jadi orang asing?
Setelah hal-hal mengejutkan yang dia lakukan untukku? Setelah hal-hal jelek yang kulakukan dulu padanya? Setelah aku tak bisa berhenti memikirnya? Setelah detak jantungku seakan selalu mendadak rusuh hanya karenanya?
Aku tidak yakin, aku dan dia bisa menjadi sepasang... kekasih? Aku hanya... itu seperti diluar batas imajinasiku. Aku tidak pernah terpikir hal itu sebelumnya. Tapi menjadi orang asing baginya... aku juga tidak mau. 

“Gochisousama deshita!” Ucap anak-anak serempak. Menyadarkanku dari pikiran-pikiran pelikku.
“Gochisousama deshita,” Naomi-san tersenyum terlihat bangga dengan anak-anaknya.
“Gochisousama deshita,” ucapku pelan sambil sedikit menekuk leherku, meletakkan sumpit makanku di samping mangkuk yang masih tersisa banyak nasinya.

“Takashi-niichan jangan pulang sebelum aku pulang sekolah ya!” 
Aku tersenyum menganggukan kepalaku atas perkataan Yuki. Gadis kecilku itu seperti terdiam memperhatikanku dan mendadak dia tertawa kecil sambil menutup mulut kecilnya, membuatku mengernyitkan dahi.

“Ada sesuatu di wajahku?” 
Yuki menggelengkan kepalanya, “hanya tiba-tiba teringat perkataan Takashi-niichan.” 
“Dia mengatakan sesuatu tentangku?” aku lihat Yuki menganggukan kepalanya, “pada semua anak-anak?”
Yuki kembali menggelengkan kepalanya, “dia hanya berbisik padaku.” 

Oh ya, aku jadi teringat dia membisikan sesuatu pada Yuki kemarin lusa. Dan aku sudah menduga itu pasti tentang aku! “Memang apa yang dia katakan?” tanyaku sedikit penasaran.
Yuki menggelengkan kepalanya, “Takashi-niichan bilang itu rahasiaku dan dia. Tidak boleh bilang padamu!” 
Apa-apaan itu?, “dia menjelek-jelekanku?” 
Yuki memegang dagunya tampak berpikir, “aku tidak tahu itu maksudnya mengejek atau memuji ya?” 
“Hah? Apa yang dia katakan, Yuki?” 
“Sudah kubilang itu rahasia!” Yuki menjulurkan lidahnya sambil turun dari kursi makan dan membawa mangkuk bekas makannya untuk ia cuci sendiri. Aku lihat teman-temannya pun melakukan hal yang sama. Akupun dibiasakan seperti itu waktu tinggal di sini dahulu. 

“Naomi-san, ittekimasu!” 
“Ittekimasuuuu!!” Pamit anak-anak serempak sambil membawa tas sekolah mereka masing-masing setelah mereka selesai mencuci bekas makannya.
“Itterassai~” balas Naomi-san sambil merapikan nasi dan piring-piring lauk-lauk pauk di atas meja lalu dia menoleh ke arahku dengan wajah khawatir, “kau yakin tidak apa-apa? Tidak biasanya kau menyisakan nasi di mangkuk makanmu?” 
“Tidak, aku tidak apa-apa. Hanya... ada sedikit hal yang kupikirkan.” 
“Apa itu? Katakan Takashi!” 

Tidak.
Tidak mungkin aku mengatakan Shinji memintaku untuk jadi miliknya pada Naomi-san, kan? Aku bukan gadis remaja yang baru ditembak pertama kali dan akan meminta pendapat tentang jawaban apa yang harus kuberikan, kan? 
Masalahnya aku laki-laki, Shinji laki-laki, Naomi-san tahu masa kecil kami dan itu akan sangat terasa aneh baginya jika kuceritakan. Bahkan aku berpikir begini pun sudah aneh.

“Takashi,” Naomi-san menyadarkanku dari pikiran-pikiran tak bergunaku.
“Ya?” 
“Aku sedikit kepikiran. Apa kau memperhatikan raut wajah Shinji ketika aku bertanya tentang keluarganya?” tanya Naomi-san dengan raut muka khawatir.
“Kenapa?” Aku sedikit mengernyitkan dahi.

Entahlah. Aku terlalu sibuk dengan pikiran-pikiranku, aku terlalu sibuk dengan kecanggunganku. Apa aku melewatkan sesuatu darinya?

Naomi-san menggelengkan kepalanya pelan, “mungkin hanya perasaanku saja.” Dia tersenyum kecil namun aku bisa melihat masih ada kekhawatiran di wajah rentanya.
“Apa kau berpikir mungkin dia tidak bahagia bersama keluarganya?” 
“Aku hanya melihat ada sesuatu yang—” 
“Kau hanya terlalu khawatir Naomi-san. Aku pernah bertemu dengan ibu angkatnya dan dia terlihat memanjakan Shinji. Dan dia punya segalanya, apa yang akan membuatnya tidak bahagia?” 
“Kau benar, mungkin aku hanya terlalu mengkhawatirkannya.” Naomi-san kembali tersenyum kecil dan beranjak ke dapur.

Apa kata-kataku keterlaluan? Tapi serius! Naomi-san selalu berlebihan jika itu tentang Shinji-nya. 

Aku menghabiskan waktu pagiku di Sumire dengan bermalas-malasan. Aku mencoba untuk tidur mengganti waktu tidurku semalam yang kulewatkan, tapi aku tidak bisa. Aku seperti gelisah tak jelas. Aku gelisah untuk sesuatu yang bahkan tak ku tahu apa. Tapi setiap mengingat Shinji, perasaanku kacau. Aku seperti ingin dan tidak ingin bertemu dengannya. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang ingin kulakukan. 

Aku mengambil jadwal kereta sore untuk pulang. Seperti biasa anak-anak Sumire semua berkumpul untuk berpamitan denganku sebelum aku pulang. Naomi-san membekaliku oleh-oleh, bahkan dia bilang titip juga untuk Shinji.

Di perjalanan pulang dalam kereta, aku tak bisa berhenti memikirkannya. Aku belum tahu harus memilih apa dari pilihan yang dia buat untukku. Aku mungkin memang menyukai Shinji, aku tertarik dengannya. Tapi bahkan aku masih perlu waktu untuk menerima diriku sendiri. Selama ini aku hanya selalu melihat perempuan dan perempuan, semua orang yang kenal denganku mengenalku sebagai playboy, bukan hal yang mudah menerima ternyata aku tertarik dengan laki-laki. Aku masih butuh waktu untuk membiasakan diri dengan keadaanku sekarang dan menjalin hubungan dengan Shinji? Tidakkah itu terlalu cepat untukku yang bahkan masih seorang gay newbie ? Aku hanya tidak terpikirkan sampai menjalin hubungan dengannya! Bukannya aku tidak mau, tapi banyak hal juga yang harus kupertimbangkan. Seperti... pandangan orang? Dan apa dia sungguh menyukaiku? Tapi aku juga tidak ingin jika harus menjadi orang asing untuknya. 

Aku sampai di apartmentku hampir tengah malam, dan sampai pagi menjelangpun aku tak kunjung bisa tertidur. Lagi-lagi gelisah untuk hal tak jelas. Parah! Dia benar-benar banyak menyita pikiranku.

“Aku minta maaf. Kita tidak punya urusan lagi, ok?” 

Aku hanya menaikan satu alisku bingung sekaligus terkejut mendapati laki-laki yang kutahu bernama Yoshi itu tiba-tiba muncul di hadapanku dan menjabat tanganku meminta maaf. Bukan pertama kalinya aku dipukul tiba-tiba oleh seseorang yang setelahnya baru kutahu ternyata dia pacar si A atau orang yang suka pada si B dan sebagainya. Tapi tak pernah sebelumnya ada dari orang-orang itu yang meminta maaf padaku lagipula aku juga tak pernah mengharapkannya.

“Jadi kau sudah mendapatkan Hana, heh?” tanyaku sinis.
“Tidak, tidak! Aku bahkan tak mengenalnya.” 
Apa?
“Lalu—” 
“Seseorang menyuruhku. Dia memberikan imbalan yang tak bisa kutolak, ok? Kuharap kau mengerti itu.” 
“Hah?” Aku mengernyitkan dahi, “seseorang?” 
“Ya, seseorang. Aku sudah minta maaf padamu kan? Ingat, aku sudah minta maaf! Jadi, urusan kita selesai di sini. Ok, aku pergi sekarang.” 

Aku hanya terbengong melihat orang bernama Yoshi itu meninggalkanku dengan langkah terburu-buru. Dia memang bilang maaf, tapi aku tak melihat ada kesungguhan di raut wajah dan caranya meminta maaf. Seperti terpaksa, seakan -akan ada sesuatu yang membuatnya terpaksa harus melakukan itu. 

Tapi bukan itu yang kuperdulikan. Yang membuatku penasaran, siapa seseorang yang menyuruhnya? Dan jika si Yoshi itu bahkan tak mengenal Hana, berarti aku harus minta maaf atas apa yang telah kulakukan pada gadis itu. Seseorang sengaja ingin membuatku meninggalkan Hana....

Tunggu! 
Apa mungkin?

“Aku tahu. Banyak perempuan yang mengejarmu, mereka pasti iri karena aku bisa bersamamu.” 
“Aku benar-benar minta maaf.” 
Hana sedikit menghela nafas, “kau meminta maaf tapi itu bukan berarti kau meminta agar hubungan kita kembali seperti semula kan?” 
Aku sedikit menunduk. Aku merasa sangat bersalah padanya, tapi aku memang tidak berniat untuk kembali berhubungan dengannya. Dia tahu aku tak bisa menyukainya, aku tak pernah menyukainya. Aku sudah mengecewakannya dan aku pengecut. Lancang sekali jika aku memintanya untuk kembali padaku. “Aku juga minta maaf untuk itu.” 

Hana tersenyum menggelengkan kepalanya, “Saga, perasaanku padamu tidak seringan itu.” 
Aku tahu. Atau mungkin aku tidak tahu? Yang aku tahu, aku memang sering memergokinya mencuri pandang ke arahku di kelas atau dimanapun. Tanpa memikirkan bagaimana perasaannya saat melakukan itu. Aku hanya berpikir mungkin dia tertarik padaku.
“Mungkin kau pikir dengan bisa berhubungan denganmu saja aku harus bersyukur. Mungkin kau pikir aku hanya ingin memilikimu, bermesraan denganmu. Tapi asal kau tahu, aku bukan perempuan seperti itu. Aku tidak ingin memaksamu untuk menyukaiku. Aku tahu menyukai seseorang tidak bisa dipaksakan. Tapi yang membuatku kecewa kenapa kau tidak mengatakannya sejak awal? Kenapa kau berbohong? Aku lebih suka kau menolakku sejak awal daripada membuatku merasa dicintai untuk sesaat yang ternyata itu semua hanya kesemuan semata.” 
“Aku pikir kau tahu orang seperti apa aku—” 
“Aku tahu. Dan kupikir kau tahu perempuan seperti apa aku. ” 

Oh. Aku melakukan kesalahan besar.

“Kuharap kau bisa merasakan bagaimana rasanya dikecewakan oleh orang yang sangat kau cintai. Karena itu aku tidak bisa memaafkanmu sampai saat itu.” 

Aku tak mengucapkan apapun saat Hana pergi meninggalkanku. Aku tak ingin mengatakan apapun.
Apa dia berdoa karma untukku? 
Dia sangat terluka ya?
Tapi aku cukup tahu diri. Tak perlu diingatkan, aku tahu karma itu akan datang padaku. Sejak aku berani bermain-main dengan hati perempuan yang rapuh dan peka. Aku hanya  masih menunggu karma itu datang padaku.

×÷~虎の瞳~÷×

2 hari sejak aku pulang dari Koriyama. Aku belum pernah bertemu dengan Shinji sekalipun di kampus. Aku tidak pernah mencoba untuk menemuinya dan begitupun ia. Oh ayolah, aku masih perlu waktu, aku masih bimbang dengan jawaban atas pilihan sulit yang dia buat untukku. Aku menyukainya, aku ingin bersamanya tapi tidak bisakah kami seperti dulu lagi? Tanpa ada kata 'milik' . Sejak dulu aku tidak suka ada kata ikatan yang mengesankan seakan-akan aku dikuasai oleh seseorang seperti itu. Aku tidak suka saat seorang perempuan mengatakan aku miliknya. Aku milik diriku sendiri !!!

Jika dia menyukaiku, kenapa dia ingin aku pergi jauh dari kehidupannya? Jika itu aku, mungkin aku akan senang jika orang yang kusayang tetap berada di dekatku meski aku tak bisa memilikinya? Setidaknya aku bisa melihatnya dalam kehidupanku. Dan jika dia membenciku, kenapa dia ingin aku jadi miliknya? Atau dia hanya orang yang egois?

Aku meneguk minuman kalengku lalu kembali meletakannya di atas meja. Meski sedikit, sebenarnya aku ingin melihatnya. Aku masih tak tahu apa maksud dengan 'aku mengerti' yang dia katakan sebelum dia meninggalkanku malam itu. Aku bahkan tak mengatakan apapun. Jika maksudnya dia mengerti dengan jawabanku, bahkan sampai sekarang aku sendiri masih tak mengerti dengan keinginanku. Aku masih bingung mau menjawab apa. Bagaimana bisa dia mengerti lebih dulu daripada aku?

Hiroto menatapku yang tiba-tiba sudah berdiri di samping meja cafetaria tempat makannya dengan bingung. “Boleh aku duduk di sini?” tanyaku menunjuk kursi kosong di hadapannya.
“Tidak boleh.” 
“Thanks,” ucapku tak tahu malu sambil mendudukan diriku di kursi di hadapannya. Hiroto hanya mendengus sambil menyeruput jusnya.
“Dimana tuan populer? Biasanya dimana ada kau di situ dia berada dan begitupun sebaliknya,” aku meneguk minuman kaleng yang kubawa.
“Gak begitu juga, kami tidak selalu bersama kemanapun. Tapi 2 hari ini dia memang tidak masuk.” 
Eh? “Kenapa?” 
“Entah, aku sudah mencoba menghubunginya tapi tak bisa. Aku mengirimnya pesan tapi tak ada balasan.” 
Kenapa tiba-tiba aku jadi khawatir? Dia tidak mungkin bunuh diri hanya karena aku tidak kunjung memberinya jawaban kan? haha... lucu.

“Ada apa kau menanyakan Tora?” 
“Aku hanya ingin menanyakannya saja,” jawabku santai.
“Kau terobsesi dengannya atau apa? Kau pernah bertanya padaku apa dia gay? Sebenarnya apa maksudmu bertanya begitu?” Hiroto mengernyitkan dahinya.
“Apa iya aku pernah bertanya begitu? haha...” aku tertawa enteng lalu kembali memasang tampang wajah malas. “Kau sendiri, apa maksudmu bertanya begitu tentang Shou?” 
“Ok. Kuanggap itu sebagai jawaban. Jadi kau itu bi?” Hiroto terlihat sedikit canggung, “sepertiku?” 
“Kau bi?” Aku mengernyitkan dahi, “Hooo~ ternyata kau kiri-kanan oke?”  aku menahan tawa, mengejek.
“Apa? Bukannya kau juga begitu!!” Hiroto menunjukku, terlihat sedikit emosi.
“Siapa bilang? Aku ini straight sejati!” 
Ya, sebelum bertemu kembali dengan Shinji.

“Lalu apa maksudmu bertanya begitu tentang Tora?” 
“Aku hanya ingin bertanya saja. Karena dia memang terlihat... gay,” aku menggulir bola mataku ke samping.
“Apa iya?” Hiroto mendadak terlihat antusias. Anak yang terlalu polossss!!!
“Kau kan teman dekatnya, masa kau tak sadar, ” sebenarnya apa yang kubicarakan? Dan kenapa dia termakan saja omong kosongku? 
“Tora tidak pernah mengatakannya secara langsung dan aku juga tidak pernah mendengar dan melihat dia berhubungan dengan seorang laki-laki. Tapi aku juga tidak pernah mendengarnya mengencani perempuan.” 
“Benarkan?” 
eh, benarkah??!

“Waktu di SMP dulu, dia juga populer seperti sekarang. Tapi tidak ada satupun perempuan yang mengejar-ngejarnya ia kencani. Dia tidak brengsek sepertimu.” Hiroto mendengus.
Benarkah? BENARKAH?! “Tapi bukankah itu justru aneh,” aku berpura-pura tetap santai.
“Aku tidak tahu bagaimana dia ketika SMA dan kehidupannya di Inggris, tapi bahkan sampai saat ini aku tidak pernah mendengar dia bercerita tentang perempuan atau mendengar dia sedang menjalin hubungan.” 

Jadi apa yang dia katakan pada anak-anak waktu itu bukan bohong? Dia tidak punya pacar sama sekali? Tapi sebelumnya aku pernah melihatnya masuk ke love hotel? Lalu seseorang yang dia bilang ia sukai tapi menolaknya... apa itu juga bukan bohong? 
Kenapa otakku tiba-tiba menyimpulkan kalau yang ia maksud itu mungkin adalah aku? AKU? tapi waktu itu dia juga tidak bilang kalau orang yang ia sukai itu perempuan kan? Jika yang ia maksud benar aku, dia pikir aku menolaknya? 

“Waktu SMP dulu memang pernah ada gosip miring seperti itu tentangnya, tapi kupikir itu hanya gosip yang disebarkan orang yang iri dengannya agar cewek-cewek berhenti mengejar-ngejarnya.” Hiroto jeda sesaat sementara aku penasaran dengan apa yang akan ia katakan selanjutnya, “dulu aku selalu mengagumi sosoknya. Makanya aku senang saat tahu kelas 3 ternyata aku satu kelas dengannya. Aku selalu mencoba untuk menjadi teman dekatnya dan aku bersyukur dia orang yang tidak pilih-pilih teman. Dulu aku punya tubuh yang kecil,” 
“Dulu? Bukannya sekarang juga masih?” 
“Aku sudah lebih tinggi sekarang!!” Hiroto mendesis, “yang lain sering mengataiku anak TK tapi Tora tidak begitu. Meski aku kecil dan tidak keren sepertinya dia tidak minder berteman denganku.” 
Masuk akal. Itu seperti Shinji kecil yang kukenal dulu.

“Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian waktu itu, tentang Tora anak angkat orang tuanya?” 
Oh ya, makhluk kecil ini ada waktu itu.
“Ya.” 
“Jadi dulu kau satu panti asuhan dengannya?”
“Ya.” 
“Dan yang kulihat hubungan kalian tidak baik. Dia terlihat sangat membencimu.” 
Aku juga berpikir begitu! Dia bilang tidak ingin mengenalku lagi tapi kemudian dia bilang 'jadi milikku!' membuatku bingung.
“Sepertinya sejak kecil kau memang sudah menyebalkan.” 
“Aku hanya anak yang aktif.” Atau hyperaktif? 
“Apa dia punya teman baik di panti asuhan? atau teman yang selalu bersamanya?” 
Aku menaikan satu alisku, “entahlah. Kupikir semua anak-anak antara dekat dan tidak dekat dengannya. Kenapa?” 
Hiroto terlihat mengangguk kecil, “berarti bukan temannya di panti asuhan.” 
“Ha? Apanya?” 

Hiroto menatapku tajam, “kau tidak bermaksud menyebarkan gosip kalau Tora gay kan? Aku tahu sekarang dia lebih populer darimu di universitas ini. Bisa saja kau tidak terima itu dan ingin menjatuhkan kepopulerannya.” 
Aku menatap makhluk itu datar. “Aku bukan orang selicik itu,” Kalau saja orang yang menggeser posisiku bukan Shinji, sebenarnya aku bisa saja melakukan itu. 
“Asal kau tahu saja, sebenarnya aku tidak suka orang sok kecakepan sepertimu.” 
“Kau pikir aku suka orang yang suka pamer sepertimu?” 

Hiroto mendengus, “dulu Tora pernah bercerita tentang teman masa kecilnya, dan yang aku lihat bagaimana dia menceritakan temannya itu seperti dia seakan-seakan bercerita tentang cewek yang disukainya.” 
He?
“Dulu aku belum mengerti, tapi aku bisa tahu hanya dari bagaimana Tora mengatakan dia ingin bertemu dengan temannya lagi. Dia terlihat sangat merindukannya. Aku bisa melihat bagaimana wajahnya begitu sedih setiap dia bercerita tentang teman masa kecilnya itu. Aku bisa langsung menyimpulkan mungkin Tora punya perasaan pada anak itu lebih dalam dari perasaan sayang untuk sekedar teman. Maksudku, aku juga punya teman masa kecil ...” 
“Siapa nama temannya?” tanyaku penasaran. Mungkin dia punya teman baik setelah keluar dari panti asuhan? he? 
“Dia tidak bilang. Tapi seingatku Tora bilang kalau teman baiknya itu punya bibir kecil seperti perempuan dan dia suka itu.” 

“Takashi, kau punya bibir yang kecil seperti perempuan.” 

Aku membatu.

Dia merindukanku? Dia ingin bertemu denganku? Sementara mungkin saat itu bahkan aku tak mengingatnya. Lalu kenapa dia tidak pernah memberiku dan Naomi-san kabar? Jika dia memang ingin bertemu denganku dia bisa datang ke Sumire kan? Baiklah, dia tidak tahu tak ada keluarga yang tak mengadopsiku tapi jika memang dia sangat ingin bertemu denganku dia seharusnya melakukan sesuatu.
Jika dia merindukanku selama ini kenapa dia bilang tidak ingin mengenalku lagi waktu itu? Jika dia selalu ingin bertemu denganku kenapa dia mengatakan tidak pernah berharap aku muncul lagi dalam kehidupannya?
Sebenarnya ada apa dengannya?

“Aku tidak tahu apa Tora sudah pernah bertemu dengan teman masa kecilnya itu lagi,” Hiroto memainkan sedotan di gelas jusnya , “mungkin Tora memang gay, tapi mungkin sampai sekarang dia masih punya perasaan pada teman masa kecilnya itu. Dan alasan kenapa dia tidak pernah menjalin hubungan dengan seseorang, mungkin karena Tora hanya menyukai temannya itu. Itu bisa saja kan? Dia gay hanya untuk temannya itu.” Aku lihat Hiroto kembali menyeruput jusnya.

Terimakasih Ogata Hiroto-san. Kau membuatku benar-benar ingin bertemu dengannya sekarang!

“Kau satu panti asuhan dengan Tora, berarti kau tahu waktu kecil dia seperti apa?” Aku melihat kedua mata makhluk kecil pirang itu berbinar-binar. Kenapa dia selalu tampak antusias membahas Shinji?
“Tentu,” aku memangku kedua tanganku di dada dan sedikit mengangkat daguku.
“Dia pasti anak yang keren sejak kecil ya?” 
Aku menggulir bola mataku. Makhkuk kecil pirang ini mengagumi Shinji kan? Kalau aku ceritakan bagaimana Shinji waktu kecil, mungkin dia akan berpikir dua kali untuk mengaguminya lagi. “Biasa saja.” 
“Hubunganmu dan Tora tidak baik kan, tentu kau akan menjelek-jelekannya,” Hiroto mendengus.
Apa? Aku sudah berusaha menutupi hal memalukan tentang orang yang ia kagumi dan dia masih mengatakan aku menjelek-jelekannya?

“Ok, terserah,” aku kembali meneguk minuman kalengku. “Oh ya, apa dia pernah mengatakan kalau teman masa kecilnya itu nakal dan suka menjailinya?” 
Entah kenapa aku masih tak percaya kalau itu aku! Aku tak percaya dia menyukaiku sejak dulu!

Hiroto menaikan satu alisnya, “tidak.” 
Apa mungkin memang bukan aku? Haha...
“Kenapa? Apa kau tahu siapa orang itu? Mungkin memang temannya ketika di panti asuhan?” Lagi-lagi si kecil terlihat antusias.
Aku sedikit tersenyum hambar, “bagaimana kalau aku bilang itu adalah aku?” 
“Haha, benarkah?” Aku melihat wajah Hiroto sontak berubah datar, “apa kau bodoh? sudah jelas dia membencimu.” 
Aku sedikit menghela nafas. Suatu hal yang bagus juga dia tidak menyadarinya. 
Aku melihat Hiroto mengeluarkan ponselnya dan membaca pesan masuk, “eeeh, Tora mengajakku keluar malam ini?!” 

Apa-apaan dia? Seperti perempuan yang baru diajak kencan gebetannya saja.

“Girang sekali kau?” aku sedikit menaikan alisku. 
Ada yang aneh. Apa aku merasa cemburu?
“Tentu saja. Selama ini selalu aku yang mengajaknya keluar.” 
“Baiklah, thanks sudah mengizinkanku duduk satu meja denganmu.” Aku berdiri dari kursiku. Tidak ingin mengganggu kebahagiaan si kecil itu.
“Aku tidak mengizinkanmu.” 
“Oh ya, aku hanya mengenal Shou di sini dan kami bukan teman baik, kami hanya kebetulan satu jurusan jadi aku tidak terlalu tahu banyak tentangnya,” aku melirik Hiroto yang terlihat fokus mendengarkanku, “tapi aku akan coba bertanya langsung padanya,” aku sedikit tersenyum dan wajah si pirang kecil itu langsung berubah cerah, “sekaligus... apakah dia tertarik denganmu?” tambahku sambil melengos.
“KAU TIDAK PERLU MELAKUKAN ITU!!” 

Dan aku mengabaikannya.

Aku masih tak tahu dengan jawaban apa yang akan kuberikan padanya. Tapi saat ini.... Aku ingin bertemu dengannya. Aku sangat ingin bertemu dengannya!!


×÷~To.Be.Continued~÷×

No comments:

Post a Comment