Search + histats

Sunday 14 September 2014

Tiger Eyes ※5A

Author: RuKira Matsunori
Chapter: 5A/6
Genre: AU // Romance // Drama
Rating: R 
Fandom: Alicenine
Pairing: Tora / Saga.
Warning: Male x Male! 
A/N: -




×÷~虎の瞳~÷×

Aku berhasil mencapai Koriyama dengan selamat. Aku bersyukur dengan itu, tapi jujur saja aku tidak mensyukuri apa yang kulihat di depan mataku sekarang. Aku berusaha menghindarinya selama ini, menjauhi tempat-tempat yang kemungkinan akan di kunjunginya hanya agar aku tidak bertatap muka dengannya. Dan saat kupikir aku akan bebas di sini, di tempat kelahiranku, tanpa perlu was-was akan dengan tidak sengaja bertemu dengannya di suatu tempat. Kenapa dia malah ada di sini?!! 

“Kau bilang Shinji berubah dan sombong? Aku tidak melihat dia seperti itu sama sekali. Apa kau berbohong padaku?” Naomi-san sedikit berbisik padaku sementara aku masih tak percaya melihatnya dikerumuni anak-anak. Terdengar suara permainan dari ponsel yang sedang dimainkannya dan anak-anak terlihat khusyuk menonton dia memainkan ponselnya. Ah~ iya, aku jadi teringat ingin membelikan mereka Play Station.

Aku lihat sesekali bibir Shinji melebar tersenyum saat anak-anak bersorak karena mungkin dia berhasil melakukan sesuatu dalam permainannya. Sesuatu yang sangat jarang terjadi, bahkan aku hampir tidak pernah melihatnya melakukan itu sejak bertemu lagi dengannya. Dan harus kuakui... senyumnya cukup manis. Mungkin karena aku tidak pernah melihatnya tersenyum, menjadikan itu terasa seperti sesuatu yang spesial. “Tapi ya, Shinji memang berubah jadi lebih tinggi, dan tampan. Bahkan anak-anak bilang ada selebritis nyasar kemari ketika dia datang tadi,” Naomi-san tertawa kecil sambil melihat Shinjinya itu terlihat bangga.

Selebritis hah?

“Aku tidak bohong! Dia bilang kalau—” tidak, tidak! Jangan katakan sesuatu yang bisa mengacaukan suasana. Naomi-san terlihat senang dan aku tidak mau menghancurkan moodnya.

Aku memang memintanya untuk menemui Naomi-san tapi aku tidak berpikir dia akan benar-benar melakukan itu dan sampai jauh-jauh datang kemari setelah dia mengatakan dia sudah melupakan dan membenci masa lalunya. Dan yang lebih lucu, diantara banyaknya hari kenapa dia harus datang kesini bersamaan dengan waktu kedatanganku!?

“Kenapa dia bisa datang kemari?” tanyaku pada Naomi-san.
“Beberapa hari yang lalu Shinji menghubungiku. Dia bilang, dia dapat nomor ponselku darimu?” 
Oh, jadi dia menghubungi Naomi-san. Kupikir bahkan dia tidak akan melakukan itu.
“Karena kau bilang dia berubah, aku ingin tahu bagaimana reaksinya kalau aku bilang aku sakit dan dia langsung mengatakan akan mengunjungiku.” 

Dia punya rasa khawatir juga? 

“Aku bilang kau akan datang kemari hari ini, aku memintanya untuk datang bersamamu saja, tapi ternyata dia malah mendahuluimu.” Naomi-san melirikku, “bukankah dia sangat manis? Dia masih tetap seperti Shinji yang dulu.” 

Aku menggelengkan kepalaku, “Tidak! Dia tidak begini sebelumnya. Dan meski begitu tetap saja itu tidak mengubah kenyataan bahwa dia tidak memberi kita kabar sama sekali selama 14 tahun ini kan? Dia sudah melupakanmu, Sumire, dan kita!” Aku tidak ingin Naomi-san berpikir aku menjelek-jelekan Shinjinya, dia tahu aku selalu iri pada Shinji tapi hei! aku bukan orang selicik itu. 

“Aku tahu. Aku yakin dia punya alasannya sendiri tapi bukan berarti dia benar-benar melupakan kita. Kau lihat? Dia di sini sekarang, karena dia perduli dan tidak melupakan tempat ini.” 
“Ok, lalu apa alasannya? Aku ingin tahu itu,” aku sedikit menggulir bola mataku sinis.
“Dia belum mengatakannya untuk sekarang dan aku tidak akan memaksanya jika memang dia tidak mau. Tapi suatu saat nanti mungkin...” 

Aku sedikit mendengus. Dia tidak mau mengatakannya karena aku sudah menyuruhnya agar tidak mengatakan hal yang bisa menyakiti Naomi-san. Alasannya yang memang dia melupakan tempat ini, dia melupakan masa lalunya yang menyedihkan, sangat berbeda jauh dari kehidupannya sekarang.

“Takashi-niichan! Kenapa kau hanya duduk di situ? Ayo bergabung di sini !” Yuki menepuk-nepuk lantai di sampingnya. 
“Ah~ aku di sini saja,” aku membuang muka, menyadari Shinji melirikku saat Yuki menyuruhku untuk bergabung bersila di lantai bersama mereka. Aku belum siap! Aku masih belum punya muka.

Huh? Ketika aku tiba di sini tadi, anak-anak tidak segirang biasanya menyambutku. Mereka bahkan tidak menagih oleh-oleh dariku seperti biasa mereka melakukannya saat aku datang. Hanya terus mengerumuni kakak ganteng dan keren itu, kupikir bahkan mereka melupakan keberadaanku di sini sekarang. Tapi syukurlah Yuki masih mengingatku. Aku merasa sedikit kesepian. Sialan kau Shinji ! Dulu kau merebut perhatian Naomi-san dan sekarang kau merebut perhatian anak-anak dariku. Apalagi yang sudah dan akan kau rebut dari— ugh! hentikan! aku tidak ingin mengingat itu lagi.

“Ayo ke sana Takashi! Anak-anak ingin kau bergabung juga.” Naomi-san menyikut lenganku.
“Aku di sini saja,” responku malas.

“Huh! Takashi-niichan jelek!” Yuki cemberut.
Aku tidak kesal karena tentu saja aku tahu dia bohong.
“Kau membuat Yuki-chan marah,” Naomi-san tertawa kecil.

Aku mengernyitkan dahiku saat melihat dari ekor mataku, Shinji menggerakan tangannya mengisyaratkan Yuki untuk sedikit mendekat padanya dan dia terlihat mendekatkan wajahnya ke telinga gadis kecilku itu, berbisik?
Dan mata Yuki seperti refleks bergulir ke arahku dan kemudian dia tertawa kecil sambil menutup mulutnya setelah Shinji membisikan sesuatu padanya.
Apa? Apa yang dia bisikan? Melihat bagaimana Yuki melirik ke arahku saat dia berbisik, itu pasti tentang aku kan? Apa dia menjelek-jelekanku? Menjadikanku bahan lelucon? Dia marah padaku kan? Dia masih marah heh?
Baiklah, terserah! Aku tidak perduli.

“Oh ya, aku sudah menyiapkan kamar untuk kalian,” ucap Naomi-san tiba-tiba.
“Kalian?” Jangan katakan!
“Ya. Yuki dan Nagisa tidak keberatan meminjamkan kamar mereka selama kalian di sini.” 

Nasib~…
Kenapa kau senang sekali mempermainkanku?

“Iya! Aku dan Nagichan tidak apa-apa tidur berempat di kamar Michan dan Aichan.” Yuki mengangkat tangannya, “iya kan Nagichan?” tanyanya pada anak perempuan yang terlihat lebih kecil darinya di sampingnya. Dan anak itu mengangguk sambil tersenyum ke arah Shinji. Kenapa padaku tidak?

“Tidak, tidak! Aku di sofa saja, biasanya juga aku di sofa.” 
“Biar aku yang di sofa.” Ucap Amano tiba-tiba.
“Ok, jadi kalian berdua tidur di sofa?” Naomi-san mengernyitkan dahinya.
“Hah?!” 

Naomi-san sedikit tertawa kecil, “Ayolah... tidak apa-apa kan tidur dalam satu kamar? Toh kalian tidak tidur satu ranjang. Lagipula itu juga kamar bekas kalian dulu, jadi sekalian bernostalgia masa kecil kan? ” 

Tidak seenteng itu Naomi-san. Aku datang ke sini untuk mengunjungimu dan anak-anak juga sekalian untuk refreshing. Dimana sebagian besar masalah di otakku adalah karena orang yang kau jadikan teman sekamarku itu. Bagaimana bisa otakku mendapatkan penyegaran kalau sumber masalahnya bahkan tidur satu kamar denganku. Lagipula aku sudah susah payah menghindar agar tidak bertemu dengannya sejak malam itu. Apa artinya melakukan itu kalau pada akhirnya aku harus tidur satu kamar dengannya?! 

“Takashi-niichan suka ngorok ya? makanya malu satu kamar dengan orang lain?” Yuki, anak itu kecil-kecil sudah berani menggoda orang.
“Atau suka ngiler?” 
“Atau ngigau sambil tidur?” 

Ok, cukup!
Mereka tidak akan mengerti posisiku sama sekali. Dan tidak akan ada yang akan mengerti karena aku juga tidak berniat mengatakan alasanku. Lebih baik mereka tidak mengerti dan itu artinya aku harus terpaksa mengikuti saja alur nasibku?

Aku tidak ingin percaya ini. Tapi aku sedang membereskan kasur yang akan menjadi tempat tidurku dua malam ke depan. Dimana beberapa langkah di sampingnya ada ranjang yang akan menjadi tempat tidur Shinji. Ah! Rasanya mendadak aku ingin pulang saja.

Aku lihat tas Shinji sudah ada di atas tempat tidurnya. Apa dia juga merasa risih harus tidur satu kamar denganku? Tentu saja kan?! 
Maksudku... setelah apa yang dia lakukan— setelah apa yang kulakukan— setelah kejadian malam itu. Apa yang dia pikirkan? Menyesal? Jijik? Biasa saja? Aku ingin tahu, tapi aku tidak ingin tahu!

Aku mendudukan diriku di tepi ranjang, sedikit menghela nafas berat. Melihat seisi ruang kamar. Ini memang kamarku dan Shinji dulu, tapi ranjang, kasur dan semua benda di sini bukan yang kami gunakan dulu. Ketika aku keluar dari sini untuk hidup mandiri, Naomi-san mengganti semuanya. 

Dulu aku terbiasa tidur satu kamar dengannya. Dia itu penakut dan cengeng. Aku sering dibuat kesal karena dia tiba-tiba menangis di tengah malam hanya karena mimpi buruk. Dia juga sering membangunkanku kalau dia ingin buang air kecil ketika malam hari. Dulu tidak ada kamar mandi di setiap kamar seperti sekarang. Suatu waktu aku pernah tidak menghiraukannya meski dia membangunkanku dan dia ngompol. Sejak saat itu, meski aku tidak ikhlas aku selalu mengantarnya ke toilet karena aku tidak mau dia ngompol lagi di kamar. Dia benar-benar parah! Karena itu aku tidak percaya kalau itu dia, saat pertama kali melihat Shinji versi dewasa. Luar biasa sulit kupercaya.

14 tahun terpisah, dia jadi benar-benar berubah. Aku menghabiskan masa kecilku di sini, sementara dia bersama kedua orang tua angkatnya. Ah ya~ aku jadi penasaran seperti apa masa kecilnya. Kedua orang tua angkatnya adalah orang kaya, dari yang kulihat beberapa waktu lalu saat bertemu ibunya, sepertinya orang tua angkatnya sangat menyayanginya. Dia mungkin tinggal di rumah yang besar, semua yang dia inginkan dikabulkan kedua orang tuanya. Pasti masa kecilnya sangat menyenangkan hingga dia melupakan tempat ini. Dia pasti sangat bahagia, dia punya segalanya.

Kret.

Aku segera meraih tasku dan berpura-pura mengeluarkan baju-bajuku saat melihat Shinji masuk. Aku tahu saat seperti ini akan datang, dan aku belum membuat rencana harus bagaimana aku menghadapinya ketika dia berada satu ruangan denganku di sini. Aku tidak bisa bersikap seperti biasanya. 

Aku lihat dia mengambil tasnya di atas tempat tidur dan mengeluarkan sebuah T-shirt berwarna hitam. Entah kenapa tiba-tiba saja aku malu sendiri saat melihatnya membuka kemeja yang dipakainya dan menggantinya dengan t-shirt. Dia membelakangiku dan itu membuatku hanya bisa melihat punggungnya, tapi itu sudah cukup membuatku malu. Kenapa aku harus malu?! Aku laki-laki !! Dia laki-laki !!

Aku mengeluarkan semua barang-barangku dari dalam tas yang nantinya akan kumasuk-masukan lagi. Aku hanya menciptakan kesibukan, daripada hanya duduk diam melihatnya ganti baju. Tiba-tiba saja aku teringat.... Malam itu dia melihatku telanjang. Meski sekarang aku berpakaian lengkap, aku merasa telanjang di hadapannya! Dia sudah tahu seluruh tubuhku! Hentikan-hentikan! Itu membuatku semakin canggung untuk berinteraksi dengannya!

“Aku sudah menerima uangmu.” 
Aku menoleh ke arahnya yang masih membelakangiku. Terlihat sibuk dengan isi tasnya.
Ok, dia sudah menerima uangku lalu apa? Aku harus mengatakan apa?

“Oh,” kata yang keluar dari mulutku. Tidak, tidak! Jangan mengesankan kalau aku canggung. Aku harus memperlihatkan sikap yang biasa. Kalau dia bisa bersikap biasa, kenapa aku tidak? Mungkin baginya malam itu bukan apa-apa. Ya, dia hanya ingin membantuku kan? Akulah yang terlalu berlebihan. Tapi untuk sesuatu seperti itu, aku tidak bisa menganggapnya hal biasa. Mungkin dia sudah terpengaruh budaya luar, sejak dia pernah tinggal di luar negeri. Mungkin membantu dalam hal seperti itu bukan hal aneh di sana. Entahlah!!

“Aku berjanji untuk membayarnya jadi aku membayarnya.” 
“Aku tahu. Aku juga tidak bilang agar kau tidak perlu membayarnya.” 

Ugh! Makjleb sekali kata-katanya itu. Ternyata dia memang seperti biasanya.

“Aku juga tidak berharap begitu.” 

“Takashi-niichan, Shinji-niichan! Naomi-san bilang makan malam sudah siap!” Tiba-tiba aku mendengar Yuki berseru dari luar pintu kamar.
“Oh iya, aku segera ke sana!” Seruku.
“Shinji-niichan juga!” 
“Iya-iya, Kami !” seruku lagi. Dan aku mendengar Yuki berlari menjauh dari pintu kamar setelah menyerukan 'cepat!'.

Aku sedikit menghela nafas dan berdiri dari dudukku di tepi ranjang untuk beranjak menuju ruang makan. 

“Jangan takut. Aku tidak akan pernah melakukannya lagi. Jadi bersikaplah seperti biasa.” 
Aku menghentikan langkahku tepat saat mencapai ambang pintu dan menoleh ke arahnya sedikit terkejut. Dia menyadari kecanggunganku. Tentu dia menyadarinya! “Apa maksudmu? Aku ... aku tidak takut—” 

“Lupakan!” 
He?
“Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa.” 

Apa itu artinya dia menyesal telah melakukan itu padaku?
Dia bilang lupakan? Mungkin suatu hari aku bisa bersikap seperti biasa lagi tapi bukan berarti aku bisa melupakannya kan?

“Aku hanya sedikit mabuk saat itu.” 

Oh, masuk akal. 
Tapi kenapa hal itu tidak terpikirkan olehku sebelumnya? Bahwa mungkin dia sedang mabuk?

“Tentu.” 

Karena aku tidak mencium bau minuman yang sangat menyengat dari tubuhnya. Aku lihat dia hanya menyeruput sedikit birnya dan Karena dia terlihat seperti orang dalam kesadaran penuhnya. Mungkin hanya perasaanku saja.
Dia mabuk! Ya, dia mabuk.


×÷~虎の瞳~÷×

“Bukankah dulu Takashi-niichan dan Shinji-niichan teman baik? Kenapa kalian bahkan tidak terlihat akrab sama sekali sekarang?” Yuki melihatku dan Shinji di sampingnya.
“Siapa yang bilang aku dan dia teman baik?” Aku mengernyitkan dahi.
“Naomi-san yang bilang,” jawab Yuki polos sambil memasukan sesuap nasi ke mulut kecilnya. Kami sedang menikmati makan malam kami di meja makan. Tidak semua anak ikut makan bersama kami di meja makan karena terbatasnya jumlah kursi. Sebagian ada yang menyantap makan malamnya di ruang televisi. Ada juga yang sudah tertidur di kamarnya. Selain Naomi-san, ada dua orang wanita dewasa lagi di tempat ini. Megumi-san dan Ayane-san, mereka bertugas bersih-bersih dan memasak, tapi aku tidak terlalu akrab dengan mereka. Bisa dikatakan mereka orang baru di Sumire. Karena rumah mereka juga di sekitar sini jadi setelah tugas mereka selesai mereka biasanya pulang. Jadi anak-anakpun kurang akrab dengan mereka.

“Kalian memang teman baik kan?” Naomi-san tersenyum kecil, “meski kau suka membuat Shinji menangis dan menjailinya, tapi Shinji tak pernah ingin jauh darimu.” 
Aku sedikit melirik laki-laki yang duduk di samping Yuki yang terlihat asik-asik saja menyantap makan malamnya. Dulu dia memang seperti itu. Tapi apa dia ingat dirinya pernah seperti itu dulu?
“Dan ketika Shinji dibawa orang tua angkatnya, kau jadi sedikit murung kan? Padahal sebelumnya kau sangat jail dan tidak bisa diam, tapi sejak Shinji pergi kau jadi sedikit pendiam dan jarang menjaili teman-temanmu.” 

Apa? Memang iya aku begitu? Aku tidak ingat aku pernah begitu.

“Aku tidak ingat,” responku acuh tak acuh sambil kembali menyantap makananku.
“Mungkin Takashi-niichan sedih Shinji-niichan pergi.” Nagisa berkomentar.
“Benar!” 
“Pasti begitu.” 
Yuki dan anak-anak yang lain ikut berkomentar. Meski selintas, mataku menangkap Shinji melirikku. Entah cuma perasaanku saja, tapi mata tajamnya itu terlihat melembut walau sekilas.
“Aku biasa saja.” Dan aku tidak bohong. Aku tidak ingat merasa sedih karena Shinji pergi. Aku hanya berpikir kalau anak yang kujaili jadi berkurang. Aku suka menjailinya dan setelah dia pergi aku jadi tidak bisa melakukannya lagi. Hanya itu.

“Oh ya Shinji, bagaimana kabar orang tuamu? Mereka baik-baik saja?” Tanya Naomi-san.
“Ya.” 
“Kau bahagia?” 
Aku lihat dia sedikit menunduk, “ya.” 
“Itu yang ingin kudengar selama ini.” Naomi-san tersenyum.

Tentu saja dia bahagia. Dia punya segalanya, siapa yang tidak akan bahagia menjadi seorang anak konglomerat?

“Benarkah? Orang tua Shinji-niichan baik?” Yuki memiringkan kepalanya bertanya pada Shinji.
“Ya.” 
“Uhm... kalau aku, aku takut orang tua angkatku nanti jahat dan tidak sayang padaku. Makanya aku tidak mau diadopsi. Aku ingin bersama Naomi-san saja selamanya.” 
“Yuki, tidak boleh begitu!” Naomi-san memperingatkan.
“Tapi, ugh!” Yuki cemberut.

Aku sedikit menggulir bola mataku sambil memasukan sesendok nasi ke dalam mulutku saat melihat Shinji tersenyum sambil mengusap kepala Yuki. Entah kenapa aku tidak bisa melihatnya berlama-lama dengan wajah tersenyum lembut begitu. Aku tahu Shinji kecil dulu suka sekali tersenyum, tapi itu beda keadaannya dengan sekarang.

“Percayalah, Yuki pasti akan mendapatkan kedua orang tua yang menyayangimu,” ucap Shinji dan Yuki hanya mengangguk sambil cemberut.

Aku mengerti ketakutan Yuki. Dulu juga aku sering merasa takut seperti itu. Jadi kupikir ada untungnya juga tidak ada yang mengadopsiku jadi aku bisa terus bersama Naomi-san yang sudah jelas kurasakan kasih sayangnya.

“Apa Shinji-niichan punya pacar?” Tanya Ai tiba-tiba. Anak itu baru berumur 7 tahun, sudah tahu pacar.
“Kenapa? Mau jadi pacarku?” Tanyanya iseng. Ternyata dia bisa bercanda juga.
“Mauuuuu!!!” hampir semua anak perempuan menjawab serempak.
Anak-anak sekarang... tahu saja yang bening-bening. 
Kenapa aku merasa jadi seperti tante-tante begini?

“Baiklah. Kebetulan aku tidak punya pacar.” 
“Eeeeehh??!!!” 
“Sungguh??!!” 

Tentu saja tidak. Mustahil laki-laki seperti dirinya tidak punya pacar. Beberapa waktu lalu saja aku melihatnya masuk ke love hotel.

“Beda dengan Takashi-niichan ya? Dia pacarnya banyak!” 
“Iya banyak.” 
“Kalau sudah besar nanti, aku tidak mau punya pacar seperti Takashi-niichan.” 
“Aku juga!” 
“Lebih baik seperti Shinji-niichan!” 
“Iya.” 

Kenapa bawa-bawa aku? Hih! Aku yakin dia juga punya banyak pacar. Bahkan mungkin lebih banyak dariku! Setidaknya aku masih perjaka. Sedangkan dia? Aku yakin tidak. Dia terlihat mahir memperlakukan pasangannya di tempat tidur. Ingat saja waktu dia memperlakukanku— ok, hentikan! Aku tidak mau mengingatnya lagi.

“Lalu, ada orang yang Shinji-niichan suka?” Tanya Yuki.
Shinji terlihat membisu untuk beberapa saat, “ya.”
“Whooaa... siapa itu?” 
“Beruntungnya~~ orang itu.” 

Ya~~ beruntung. Huh?

“Siapa dia Shinji-niichan?” Yuki merengek.
“Itu rahasia,” Shinji melirikku.
Eh, kenapa dia melirikku? Seakan-akan dia mengatakan 'rahasia' itu padaku. Seakan-akan aku penasaran dengan orang yang dia sukai.  Tidak, tidak!

“Lagipula dia tidak menyukaiku.” 
“Eeh! Shinji-niichan ditolak?” 
“Yap.” 
“Whuaa bodoh sekali orang yang menolak Shinji-niichan!!” 
Lagi-lagi aku melihat wajahnya mengembangkan senyum, “tidak, dia tidak bodoh. Akulah yang bodoh karena menyukainya.” 
“Tidak benar! Dia yang bodoh!” 
“Sudah-sudah anak-anak, cepat habiskan makanan kalian!” Suruh Naomi-san.

Apa yang dia katakan pada anak kecil? Mana mereka mengerti yang seperti itu?
Lagipula, aku tidak yakin dia serius. Mana ada cewek bodoh yang menolak orang sepertinya. Itu pasti hanya kebohongan yang dia buat untuk anak-anak. Dan aku sedikit termakan kebohongannya. Jika memang benar dia menyukai seorang perempuan dan perempuan itu menolaknya, berarti perempuan itu sangat bodoh! 



×÷~To.Be.Continued~÷×

4 comments:

  1. Uhyeahhhh!!!
    “tidak, dia tidak bodoh. Akulah yang bodoh karena menyukainya.”
    Saya benarbenar menikmati ini ~
    youre awesome kira chyann ♥

    ReplyDelete
  2. Nyaaahahah shangkhyuww wkwk xD
    syukur lah syukur laaaah ><

    ReplyDelete
  3. Eluuuu yang bodoh Gaaaaaa....
    Nolak orang sebaik dan setampan Shinji.
    Ahhh....

    Tapi aku mengerti perasaanmu neng...kau juga takut ditolak yak.
    Haaah~
    Kalian suka banget nyimpul2in sendiri perasaan kalian yak.
    Nyimpen sendiri.
    Jadinya begini...

    ReplyDelete
  4. Chapter 4 ga di post ya?

    ReplyDelete