Search + histats

Saturday, 6 September 2014

Tiger Eyes ※3

Author: RuKira Matsunori
Chapter: 3/?
Genre: AU // Romance // Drama
Rating: R 
Fandom: Alicenine
Pairing: Tora / Saga.
Warning: Bahasa! Male x Male
A/N: err~ walau masalah kerjaan numpuk tapi! ternyata saia berhasil menyelesaikan ini sesuai deadline wkwkwk 



×÷~虎の瞳~÷×

“Aku tidak mau ikut dengan paman dan bibi cantik itu! Takashi?” Shinji kecil mengguncang-guncang tubuhku.

Eh, apa?
Ini... adalah sehari sebelum kedua suami istri itu membawa Shinji dari panti asuhan. Aku masih ingat bagaimana dia menangis sambil mengguncang tubuhku, tapi aku malah mendorong tubuhnya saat itu dan mengatakan kalau dia cengeng dan manja. Shinji mengatakan dia akan ikut hanya jika aku juga mau ikut bersamanya.

Waktu itu aku benar-benar kesal. Kenapa dia begitu bodoh tidak ingin diadopsi suami istri kaya raya itu, padahal aku iri dengan keberuntungannya. Dan jika memang suami istri itu ingin aku ikut dengan mereka aku tidak akan menolaknya tapi mereka hanya meminta Shinji dan anak itu tidak bisa seenaknya mengatakan agar aku ikut juga. Aku tidak mengerti kenapa dia ingin aku ikut, padahal selama dia di panti asuhan aku hanya selalu mengejek dan membuatnya menangis. 

Kenapa aku baru teringat itu sekarang?

“Takashi !” Aku merasakan tubuhku masih diguncang-guncangnya. Shinji kecil menatapku dengan penuh harap, dengan kedua matanya itu dia seakan memohon aku mengatakan sesuatu.

Apa ini? 
Mimpi?

Jika dulu aku mendorong tubuhnya dan mengatainya cengeng dan manja, tapi karena ini adalah mimpi .... Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kukatakan? Apa yang sebenarnya kuinginkan?

“Kalau begitu, ya jangan pergi!” 

Eh, aku mengatakan itu?

“Apa Takashi ingin aku tetap tinggal di sini?” tanyanya terlihat begitu senang.
“Ya, tetaplah di sini. Dengan begitu aku bisa mengejekmu sepuasku.” 

Oh, itu kata-kata yang terdengar masuk akal untuk keluar dari mulutku ketika kecil dulu. Aku cukup ceplas-ceplos dan terkesan tidak berpikir dulu sebelum bicara.

“Aku tidak keberatan selama itu artinya aku masih bisa bersama Takashi,” Shinji tersenyum dan aku lihat dia berjinjit dan mengecup keningku, pipiku, hidungku...

Tunggu!
Shinji tidak mungkin berani melakukan hal seperti itu padaku!
Mimpi macam apa ini?!

“Shinji! Apa yang kau lakukan?” Aku mendorong wajahnya dan saat berhasil, aku sedikit terkejut karena Shinji di hadapanku sekarang telah berubah menjadi Shinji dewasa.

“Bangun.” Adalah kata yang keluar dari mulutnya.

He?

“BANGUN!!!” 

Aku membuka mataku dengan sedikit dengungan di telinga dan melihat Shinji dewasa sudah berdiri di samping tempat tidur. Oh ya, aku bermalam di apartmentnya semalam.
Aku mendudukan diriku dengan sedikit susah payah karena perutku masih terasa sakit begitupun seluruh wajahku.

Aku melirik Shinji yang masih berdiri di samping tempat tidur dengan ponsel di satu tangannya dan dengan wajah yang tidak cerah sama sekali, dia terlihat jengkel. Sepertinya aku sulit untuk dibangunkan dan dia kesal dengan itu. 

“Cepat bereskan dirimu dan pergi dari sini!” 

Hah?
Apa dia baru saja mengusirku?

“Hei, Shinji—” 
“Jangan panggil aku Shinji! Aku sudah membuang nama itu sejak lama,” ucapnya dingin.
“Apa? Tapi—” 
“CEPATLAH!” 

Aku memegangi perutku yang mendadak terasa begitu sakit. “Aku benar-benar tidak mengerti kau!” Aku mendelik ke arah laki-laki raven itu sambil menyingkap selimut yang menutupi sebagian tubuhku dan turun dari atas tempat tidur.

Semalam dia minta maaf padaku dan bersikap begitu lembut, dia bahkan merawat lukaku. Kupikir dia akan bersikap seperti itu untuk seterusnya, tapi seakan-akan dia berjalan saat tidur dan saat ia bangun sifatnya kembali berubah. Atau dia sedang mabuk atau apa? Dia yang memaksaku ikut ke tempatnya dan sekarang dia mengusirku. Serius! Aku tidak mengerti orang satu ini sama sekali!

Meski sedikit risih tapi aku meminta izin untuk ke kamar mandi terlebih dahulu sebelum pulang. Amano mengizinkanku namun wajahnya terlihat tidak nyaman seakan dia ingin aku cepat pergi dari tempatnya. Aku buang air kecil, membasuh muka dan menggosok gigi dengan cepat, tidak perduli dia mengizinkanku atau tidak untuk meminjam sikat giginya, aku tidak minta izin untuk itu.

“Aku tidak tahu apa yang ada di kepalamu itu. Tapi terimakasih sudah mengizinkanku tidur di kasur empukmu.” Aku meraih tasku.
“Tidak masalah,” jawabnya dingin, “Ada sedikit roti untuk sarapan di atas meja makan, dan kalau kau sudah selesai, cepat pergi!” 
“Tidak perlu, kau ingin aku cepat pergi kan?” 
“—Ya.” 
“Aku pergi sekarang.” 

Aku mengepal satu tanganku berjalan ke arah pintu.
Bodoh sekali aku sempat berpikir Shinji yang dulu telah kembali. Mungkin memang sudah tidak mungkin. Benar apa katanya, aku juga hidup di saat ini dan tidak seharusnya aku terus berharap pada masa lalu. Shinji kecil dulu adalah masa lalu, dan aku harus bisa membiasakan diri dengan perubahannya saat ini.

Aku membuka pintu apartmentnya untuk keluar namun aku melihat seorang wanita di luar sana yang juga terlihat bermaksud untuk membuka pintu namun sepertinya aku lebih dulu melakukannya.

“Eh?” 

Wanita itu menatapku, terlihat sedikit terkejut aku keluar dari apartment Sh— Amano! Namun kemudian ia tersenyum dengan anggun meski terkesan tegas.

Bisa kukatakan waktu muda dulu wanita di hadapanku ini pasti sangat cantik. Karena saat ini pun dia masih terlihat cantik. Dan sepertinya aku pernah melihatnya di suatu tempat. 

Tunggu!

“Selamat pagi,” sapanya.
“Eh, oh. Selamat pagi.” 
“Kaasan!” Aku mendengar Amano di belakangku.

Oh. Aku ingat sekarang. Aku melihatnya ketika menjemput Shinji di panti asuhan dulu untuk ikut bersamanya. Ya, dia ibu angkat Shinji. 
Dan yang mengejutkan, wajahnya sama sekali tidak berubah sejak 14tahun yang lalu. Dia masih terlihat sama, memangnya berapa usianya sekarang? Shinji yang dia angkat ketika berusia 6 tahun saja sekarang sudah 20 tahun. Tentu dia sudah lebih dari kepala 3 atau bahkan mungkin kepala 4 atau jangan-jangan 5? Tapi jika seseorang mengatakan dia berusia 30 atau bahkan 27 tahunpun aku percaya.

“Tora tidak biasanya membawa seorang teman ke tempatnya. Kau pastilah teman baiknya?” 
“Oh, aku—” 
“Siapa namamu anak muda?” tanyanya ramah.
“Aku, namaku Sakamoto Ta—” 
“Saga!” 

Aku menoleh pada Amano yang sudah berdiri di sampingku. “Namanya Sakamoto Saga!” 

Apa-apan dia? 
Aku memang suka orang memanggilku Saga, tapi nama di ijazah dan KTP ku tetap Takashi.

“Sakamoto... Saga?” Wanita itu semakin melebarkan senyumnya, “senang bertemu denganmu Sakamoto-kun. Terimakasih sudah menjadi teman baik Tora.” Ucapnya.
“Tidak, aku—” 
“Baru satu bulan di sini, kau sudah mendapatkan teman dekat. Apa sebentar lagi kau juga akan mengenalkan seorang perempuan pada ibu, Tora?” Wanita itu sedikit tertawa kecil. Dia sedang bercanda dengan anaknya. “Kau baik-baik saja Sakamoto-kun? Sepertinya wajahmu memar-memar?” tanyanya.

“Aku baik-baik saja haha...” aku sedikit mengusap tengkukku.
“Jangan terlalu lama mengajaknya ngobrol. Dia harus segera pulang Kaasan.” 

Aku menggulir bola mataku malas. Dia benar-benar bosan melihatku di tempatnya tampaknya. “Kalau begitu saya permisi,” aku sedikit menundukan kepalaku berpamitan dan segera beranjak dari sana setelah mendengar balasan 'silahkan' dan 'hati-hati di perjalanan pulang' dari nyonya Amano itu.

Apa Amano mengusirku karena ibunya akan datang? Mungkin aku memang akan menjadi pengganggu waktu berkunjung ibunya jika tetap berada di sana tapi tetap saja aku tidak suka caranya membuatku pergi dari rumahnya. Padahal dia bisa menyuruhku pulang dengan lebih sopan, toh aku tidak akan memaksa untuk tetap tinggal meski dia memintaku pulang dengan cara baik-baik.


×÷~虎の瞳~÷×

“Saga? Apa yang terjadi denganmu?” Tanya Hana terlihat begitu khawatir saat melihatku memasuki kelas.
“Aku tidak apa-apa,” aku menyingkirkan tangannya yang menyentuh pipiku.
“Saga?” Hana terlihat sedikit kecewa dengan bahasa tubuhku. 

Dia sama sekali tidak tahu kalau semua ini karena dia, kan? 
Aku tidak marah apalagi dendam hanya karena aku mendapatkan memar-memar ini karenanya, tapi ... kupikir untuk apa melanjutkan hubunganku dengannya? 

“Kita putus,” ucapku sambil beranjak meninggalkannya menuju bangkuku. 
“Apa? Tunggu! Saga, kau bercanda kan?” tanyanya dengan suara sedikit bergetar. Dia masih berdiri di tempat tadi dia menghampiriku, melihat ke arahku.
“Aku serius.” 
“Tapi kenapa tiba-tiba? Apa salahku Saga?” 
Aku sedikit menghela nafas, “aku tidak ingin berhubungan dengan cewek pacar orang bermasalah. Itu merepotkan.” 
“Aku tidak mengerti. Apa maksudmu?” Aku melihat sudut-sudut matanya berair. Tidak bagus! Seperti dugaanku, Hana cewek yang sangat rapuh dan dia paling lugu diantara cewek-cewek yang pernah kukencani selama ini. Tolong jangan menangis! Argh! Aku paling tak tahan melihat cewek menangis.

Aku berdiri dari bangkuku dan menghampirinya, menarik tubuhnya untuk ikut bersamaku mencari tempat yang lebih enak untuk tempat pembicaraan laki-laki dan perempuan yang ingin mengakhiri hubungannya. Aku tidak ingin anak-anak di kelas melihatnya menangis.

“Yoshi, itu nama pacarmu?” Aku bertanya setelah yakin tempat yang ku datangi benar-benar nyaman untuk pembicaraan kami. Aku membawa Hana ke atap gedung universitas dimana jarang orang berkunjung ke tempat satu itu.

“Apa yang kau bicarakan? Pacarku itu kau, Saga!” 
“Lalu siapa itu Yoshi?” Aku menaikan satu alisku.
“Aku tidak tahu. Aku bahkan tidak mengenal orang dengan nama itu. Memangnya ada apa Saga?” Wajahnya benar-benar terlihat tidak aman.
“Hm..,” aku sedikit menganggukan kepalaku, “Berarti dia pengagum rahasiamu?” 
“Aku tidak tahu dan aku tidak perduli !” Sepertinya dia masih berharap aku mengubah keputusanku dengan mengatakan itu.

“Tapi aku perduli. Aku tidak mau berhubungan dengan cewek yang jadi incaran orang bermasalah.” 
“Apa?” 
“Kau lihat ini?” Aku menunjuk wajahku. “Dia ingin aku untuk tidak mendekatimu, dan itu yang akan kulakukan.” 
“Apa? Saga? Kau tidak bisa begitu. Itu tidak adil ! Aku bahkan tidak mengenal siapa orang yang kau maksud!” 
Dan adilkah jika aku harus mengorbankan diriku untuk orang yang tidak benar-benar kucintai? “Aku ingin hidup tenang.”

Hana seperti tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ya, aku baru saja mengakui bahwa aku adalah seorang pengecut.“Kau tidak benar-benar mencintaiku kan?” Aku melihat air di sudut matanya mulai menetes. “Atau kau memang tidak pernah mencintaiku sama sekali?” 
Aku paling tidak tahan melihat perempuan menangis tapi kenapa aku selalu membuat mereka melakukannya.

“Ya.” 

PLAK!!

Tamparan pertama untuk bulan ini.
Wajahku masih penuh memar dan dengan satu tamparan lembut ini, aku merasakan pipiku seakan mengembung sebesar-besarnya. 
Sial, sakit sekali !

“Kau brengsek!” 

Aku tahu.

Aku membiarkan Hana pergi tanpa mengatakan apapun. Aku sedikit heran, kupikir dia sudah tahu orang seperti apa aku ini sebelum dia memintaku untuk mengencaninya.
Aku orang brengsek, ya. Aku penjahat bagi perempuan, ya!
Dan aku tahu karma itu ada. Aku tahu suatu saat aku akan mendapatkannya.


×÷~虎の瞳~÷×

“Jadi dia benar-benar Shinji?” 
“Ya,” aku sedikit menghela nafas.
“Lalu bagaimana? Seperti apa Shinji tumbuh? Apa dia mengatakannya kenapa dia tidak memberi kabar sama sekali?” 

Aku mendengus. Sepertinya aku masih merasa iri dengan perhatian Naomi-san yang kadang berlebihan kalau itu untuk Shinji. Dengar bagaimana suaranya begitu bersemangat setelah tahu Shinjinya sekarang kembali. “Aku sudah mengatakannya Naomi-san! Dia sangat berubah, dan aku yakin kau akan kecewa jika bertemu langsung dengannya.” 

“Kenapa? Apa Shinji jelek?” 
“Bukan itu maksudku!” 

Tidak, tidak! Aku kesal, karena dia tampan oh Naomi-san dia sangat tampan tapi aku tidak akan mengatakannya padamu. Kau pasti akan lebih bangga padanya jika kukatakan itu. Tapi tidak, aku tidak sedang bicara tentang bagaimana pertumbuhan fisiknya.

“Sebaiknya tidak usah kukatakan. Kau pasti sedih jika tahu apa yang dia katakan tentangmu.” Benar, lebih baik tak kukatakan. Cukup aku yang mendengar kata-kata yang keluar dari mulut pedasnya itu.
“Shinji mengatakan apa Takashi?” 
“Lupakan!” 
“Takashi? ohok!” 
“Dia sudah berubah Naomi-san, kau hanya perlu tahu itu.” 

Entah bagaimana aku masih bisa mendengar saat ia membisikan 'maaf' malam itu dan aku berharap dia mengatakan itu dengan sadar.

“Ohok! Ohok!” 
“Kau baik-baik saja Naomi-san?” 
“Ya, aku tidak apa-apa. Kapan kau berkunjung lagi kemari Takashi? Anak-anak sering sekali menanyakanmu.” 
“Oh, ahah... ok, aku akan mencari waktu. Aku juga merindukan mereka, sampaikan salamku untuk mereka.” 
“Tentu.” 

Aku tahu malam itu dia tidak mabuk, tapi bagaimana sikapnya berubah ketika pagi aku membuka mata, 360° berubah. Hampir dua minggu sejak malam itu dan pernah sekali waktu tanpa sengaja aku berpapasan dengannya di cafetaria, jangankan menyapa, melirikku pun tidak. Dan itu membuat semua sikap lembutnya terasa seperti mimpi bagiku.
Aku benar-benar tidak mengerti ada apa dengannya!!!
Tapi aku tidak perduli. Aku mencoba untuk tidak perduli. 

Jika dia memang tidak ingin mengenalku lagi, maka aku akan melakukan hal yang sama. Aku hanya akan mengikuti. Kuharap dia konsisten dengan keputusannya karena aku tidak ingin lagi dibuat bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba saja berubah drastis seperti malam itu. 
Aku hanya... tidak boleh termakan kepribadian gandanya, aku tidak akan terkecoh lagi.

“Aku mohon!!” 

Aku melirik Shou yang seperti biasa hanya bisa mengangkat kedua bahunya. Bisakah dia menolongku sekali saja?

“Aku harus kerja.” 
“Kumohon Saga! Sekali ini saja! Aku tahu mungkin kau masih marah padaku tapi aku minta maaf! Aku ingin kau datang, kau akan menjadi tamu spesialku, kumohon!” Risa memejamkan matanya sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan wajahnya, memohon.

Aku sedikit menghela nafas berat. Sudah kuduga dia masih mengharapkanku. Lagipula berita hubunganku yang sudah berakhir dengan Hana sepertinya juga telah sampai ke telinganya.

“Dengar Risa, aku—” Aku menggantung kalimat yang hendak kuucapkan karena Risa tanpa aba-aba mengecup bibirku. Oi !
“Aku tunggu! Kau akan datang, aku yakin kau akan datang! Aku tidak akan memulai acaraku sebelum kau datang. Kau tidak ingin menghancurkan ulang tahunku kan?” 
“......” 

Ok, aku menyerah dengan perempuan ini.
Dia selalu tahu bagaimana membuatku tidak punya pilihan. Aku mungkin brengsek, tapi dia tahu aku ini sebenarnya merahasiakan kebaikan hatiku jauh di dasar lubuk hatiku yang paaaaaaling dalam sampai aku sendiri tak bisa menemukannya. 

Tidak! Meski aku tidak berniat mengulang hubunganku dengannya, tapi aku sedikit tertarik dengan tawarannya. Dia bilang aku akan jadi tamu spesialnya? Aku sedikit tersanjung dengan itu aha... Nao mungkin tidak akan keberatan, tapi sepertinya aku harus mendengar ocehan atasanku demi malam minggu ini.

“Ulang tahun mantan?” 
Aku mengangguk sambil meresletingkan jaketku, “Aku ingin kau mengatakannya pada Kai-san!” 
“Kenapa tidak kau katakan saja sendiri, tadi dia kemari kan?” 
“Dia pasti tidak akan mengizinkanku!” 
“Kalau begitu berarti kau tetap akan mendapatkan omelannya malam saat kau masuk lagi kan?” 
“Aku tahu,” aku menghela nafas.
Nao menepuk pundakku lalu memakai helmnya, “akan kucoba bicara dengannya.” Nao tampak sedikit berpikir, “dengan sedikit rayuan,” tambahnya terdengar tak rela. Aku sedikit tertawa kecil sementara Nao memakai helmnya dan mulai menyalakan mesin motor antiknya itu atau... boleh kusebut skuter? Aku ingin punya motor tapi tidak seperti miliknya itu. Aku ingin motor yang lebih keren, seperti...

Tunggu!

Aku sedikit menaikan alisku melihat sesuatu di seberang jalan sana.

“Kalau begitu sampai jumpa malam lusa, Takashi.” 
“Oh, Ok! Thanks kawan!” Aku meninju pelan lengan seniorku itu dan Nao menganggukan kepalanya sebelum akhirnya pergi dengan skuter kesayangannya.

Aku kembali melihat ke arah sesuatu yang terasa sedikit ganjil yang baru saja ditemukan kedua mataku. Aku melihat sebuah motor keren yang beberapa malam sebelumnya pernah kutumpangi di seberang jalan sana. Ya, bagaimana aku bisa lupa telah menaiki motor yang seakan selalu menjadi mimpi bagiku untuk memilikinya. Dan laki-laki dibalik helm yang mengendarainya itu...

Aku lihat dia masuk ke tempat parkir sebuah ... Love Hotel.

Ah~ mungkin dia janjian dengan seorang perempuan di sana? Dia laki-laki dewasa, itu wajar. Memangnya aku? Sudah diusia ini belum pernah mengunjungi yang namanya love hotel. Tapi entah kenapa aku bangga saja dengan itu, karena aku masih perjaka bukan karena aku tidak laku atau tidak ada perempuan yang ingin melakukannya denganku. Aku punya pandanganku sendiri tentang itu.


×÷~虎の瞳~÷×

“KAMPAIII!!” 

Ada sekitar 10 orang yang duduk memutari satu meja dengan botol-botol bir di atasnya, saling bersorak membenturkan gelas berisi minuman beralkohol itu satu sama lain. Aku adalah orang terakhir yang datang ke tempat yang penuh kebisingan ini, Risa merayakan acara ulang tahunnya di sebuah Club yang memang cukup sering ia kunjungi, aku juga pernah beberapa kali mengunjunginya, bisa dikatakan ini bukan tempat yang asing. Dan seperti yang Risa bilang, dia tidak akan memulai acaranya tanpa aku. 

“Minum!” Risa menyikut perutku sementara yang lainnya terlihat meneguk bir mereka. Aku hanya mengangguk, tersenyum padanya. Kemudian meminum bir dalam gelas di tanganku yang memang sudah disiapkan untukku bahkan sebelum aku datang, tampaknya.

Aku melihat ada 4 perempuan selain Risa, dan 4 laki-laki selain aku. Mereka terlihat saling berpasangan dan tahukah apa yang membuatku terkejut saat pertama kali datang? Aku melihat Shinji duduk di antara mereka. Duduk di sebelahnya adalah teman Risa, Ayumi. Yang terlihat seperti logam tertarik magnet, dan sang magnetpun terlihat asik-asik saja dengan itu. Aku hampir lupa kalau Risa dan Shinji satu jurusan, dan jika kupikir meskipun mereka tidak, bukankah Risa selalu terlihat bersamanya sejak dia putus denganku, jadi seharusnya bukan hal yang mengejutkan melihatnya di sini. Risa pasti mengundangnya. Dan aku tidak nyaman!

“Selamat Ulang Tahun Risa!” 
“Selamat Ulang Tahun Watanabe!” 
“Selamat Ulang Tahun!” 
“Thanks guys!” 

Aku hanya melihat teman-teman Risa mengucapkan selamat padanya bahkan teman-teman perempuannya ada yang memberikan hadiah berupa kado kecil yang tentu saja tidak kutahu apa, sampai perempuan yang duduk di sampingku melirikku dan mengembungkan kedua pipinya.

“Kau tidak ingin mengucapkan selamat padaku?” Tanyanya dengan nada manja.
“Selamat Ulang Tahun. ” Ucapku tersenyum.
“Hadiahnya mana hadiaaah?!” seru teman-temannya berisik.
“Ah, itu—” Ok, aku tidak membawanya. Dan aku tidak menyesal.
“Tidak apa-apa, kedatanganmu saja sudah menjadi hadiah spesial untukku.” Risa menarik kerah kemeja yang kupakai. 

Aku tahu itu, karena itu aku tidak perlu membawa hadiah.

“Sebagai hadiahku, bersediakah kau habiskan ini untukku?” Risa mengambil gelas bir yang belum kuhabiskan dan menyodorkannya padaku. Aku mendengar tertawaan kecil dari teman-temannya.
“Tentu.” 

Risa tersenyum lebar saat aku mulai meneguk minuman beralkohol dengan kadar rendah itu. Dan entah bagaimana mataku bisa menangkap tatapan kedua mata tajam itu mengarah padaku saat aku meneguk habis bir di tanganku.

“Ok, cukup!” Risa merebut gelas ditanganku dan menyimpannya di atas meja. Dan aku hampir tidak sadar saat perempuan itu melingkarkan kedua tangannya dan mencium bibirku. Aku sedikit terkejut tapi aku tidak ingin menyakitinya dengan melepaskan ciumannya dengan paksa. Ini hari ulang tahunnya, dan kupikir biarkan dia melakukan apa yang disenanginya. Ya, anggap saja ini hadiah dariku.

“Gyaaa!!!” 

Aku melirik Ayumi yang tiba-tiba berteriak dengan satu tangannya meremat lengan kemeja laki-laki di sampingnya. Apa dia juga berniat melakukannya pada Shinji?
Sementara kudengar yang lainnya hanya tertawa dan bersorak seakan menyemangati Risa.

Aku menutup satu mataku saat Risa mulai liar memainkan lidahnya di dalam mulutku. 
Tapi tunggu! 
Sepertinya ada yang aneh dengan tubuhku.

“Oi, oi cari kamar sana!” 
“Haha....” 

Aku melepaskan ciumanku dengan Risa setelah beberapa lama membiarkan perempuan itu memperkosa mulutku.

“Kalian sudah balikan lagi ya?” 

Tidak.

“Kupikir memang kalian pasangan yang serasi. Aku menyayangkan saat mendengar kalian putus.” 
“Benar, kalian seperti pangeran dan putri di universitas kita.” 
“Thanks, aku ingin kami kembali tapi aku menunggu bagaimana jawaban pangeranku?” Risa menoleh ke arahku tersenyum, menyangga dagunya dengan telapak tangan di atas meja.

Tidak, tidak! aku tidak berniat melakukannya.
Tapi tentu saja, aku masih punya hati untuk tidak mengatakan itu di depan teman-temannya. 
Dan... Bukan hal baru melihat Risa berpakaian ketat hingga memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya dan rok mini yang memperlihatkan paha putih— TUNGGU! 
Apa yang kupikirkan??!

“Eeh! Jadi kalian belum balikan?” 
“Haha... Lalu apa-apaan ciuman panas tadi?” 
“Haha...” 

Aku tidak tahu. 
Yang kutahu, aku punya pertahanan diri yang bagus dan tubuhku tidak akan mudah bereaksi hanya karena sebuah ciuman. Tapi... Ada apa dengan tubuhku?!

“Guys! Bersenang-senanglah sepuas kalian malam ini, pesan apapun yang kalian mau! Kita have fun sampai pagi!!” Risa terlihat bersemangat.
“Tentu! Haha...” 

Aku lihat satu pasangan meninggalkan kursinya dengan si perempuan menarik pasangannya untuk menggerakkan tubuh mereka menikmati musik yang disajikan sang DJ dan diikuti satu pasangan lainnya meninggalkan meja. Aku dengar Ayumi juga merayu Shinji untuk ikut bersama yang lainnya. 
Ya, aku mendengarnya, aku tidak melihatnya! 
Aku tidak perduli dengan keadaan sekitarku, aku tidak perduli dengan apa yang dilakukan orang-orang di sekelilingku, aku tidak perduli dengan alunan musik yang keras, aku tidak perduli. 

“Kau ikut Saga?” Risa menarik lengan kemejaku, “Kau baik-baik saja?” tanyanya sedikit mengernyitkan dahi, “wajahmu berkeringat.” 

Aku tahu. Tapi aku tidak tahu ada apa dengan tubuhku!

“Aku ke toilet sebentar,” aku cepat-cepat berdiri dari kursiku dan beranjak dari sana dengan mengabaikan panggilan-panggilan Risa.

Aku terbiasa dengan musik yang bising tapi saat ini itu membuatku merasa lebih buruk. Aku sedikit menyeka keringat di keningku dengan punggung tangan. Tubuhku seperti terbakar, rasanya menceburkan diri ke kolam tidak akan cukup. 
Aku cepat-cepat membasuh wajahku dengan air di wastafel, melihat pantulan diriku di cermin besar di hadapanku. Wajahku... merah.

Aku kembali membasuh wajahku lagi dan lagi. Bayangan yang melintas di kepalaku adalah ... tubuh? bagaimana baju tipis ketat Risa membalut tubuhnya, dan ...tunggu! Tidak-tidak! Hentikan! Apa-apaan ini?!

Aku sedang menepuk-nepuk pipiku saat tiba-tiba aku melihat dari cermin, seseorang masuk dan berdiri di sampingku untuk membasuh kedua tangannya di wastafel. 
Oh... Kenapa harus dia?!!
Ok, Abaikan! Abaikan!

Aku kembali membasuh wajahku dan melihatnya di cermin. Tanpa sengaja aku melirik pantulannya di cermin di hadapanku. Dan yang aku lihat adalah... Tubuhnya?
Tidak, tunggu! Tubuhku...
Ini buruk, aku harus melakukan sesuatu.

“Wajahmu...” Shinji menatapku di cermin, “kau baik-baik saja?” tanyanya dengan kedua mata menatap tajam seakan ia mencari jawaban sendiri atas pertanyaannya dengan melihat ke dalamku. 

Dan kenapa dia perduli?
Jangan bilang dia kembali dengan kepribadian gandanya yang membingungkanku itu. 

“Aku ... Aku baik-baik saja, aku hanya perlu... ah, toilet.” Aku sedikit tertawa hambar dan bermaksud beranjak dari sana untuk menyelesaikan ke-error-an dalam tubuhku namun tangan yang menarik lenganku sampai tubuhku membentur tubuhnya membuat niatku hanya menjadi tinggal niat semata.

Aku seperti merasakan aliran listrik menjalari seluruh tubuhku saat aroma tubuhnya terhirup dan seakan menyesak ke otakku. Aku seakan dibuat mabuk dan tak sadar dengan apa yang kulakukan.

“Takashi?” 

“Ma—Maaf!” Aku segera menjauhkan diriku dari tubuhnya.

Buruk! Apa-apaan itu? Aku baru saja menggerayangi dadanya dan ... tidak, tidak!!

“Ada yang aneh dengan tubuhku,” aku menumpu'kan kedua tanganku di atas wastafel sedikit menunduk, mengatur nafasku yang mulai terasa berat. Memalukan sekali, apa yang akan dia pikirkan dengan apa yang baru saja kulakukan padanya? Lagipula... memang benar, saat ini yang ada di kepalaku hanya ... untuk memuaskan diriku, tapi kenapa Shinji bisa membuatku melakukan itu? Maksudku... seharusnya tubuhku hanya bereaksi pada perempuan!!

“Aku tahu.” 
“He?!” 

Aku menoleh ke arahnya sedikit tidak percaya. Dia tahu keadaan tubuhku?!

“Aku melihat perempuan itu memasukan sesuatu ke dalam minumanmu.” 
“Apa?” 

Tunggu! Jangan bilang, Risa...

“Mungkin, Obat perangsang?” Shinji menaikan satu alisnya.

Oh Tidak.

×÷~To.Be.Continued~÷×

No comments:

Post a Comment