Search + histats

Sunday 14 September 2014

Tiger Eyes ※5B

Author: RuKira Matsunori
Chapter: 5B/6
Genre: AU // Romance // Drama
Rating: R
Fandom: Alicenine
Pairing: Tora / Saga.
Warning: Male x Male! 
A/N: -







×÷~虎の瞳~÷×

“Keluar?”
“Ya, Tadi pagi Shinji mengajaknya dan Nagisa untuk mengantarnya berkeliling. Sudah 14 tahun Shinji meninggalkan tempat ini, mungkin dia ingin melihat perubahan tempat ini selama dia tidak di sini?” Naomi-san tertawa kecil sambil meletakan semangkuk sayur di atas meja makan.
“Oh.” Responku malas sambil menguap. Aku masih ngantuk.
Aku sedikit heran, biasanya Yuki selalu berisik membangunkanku kalau aku di sini tapi pagi ini aku tak mendengar suara cemprengnya. Ternyata lagi-lagi Shinji...

Diluar dugaan, aku bisa tidur dengan cukup nyenyak semalam, bahkan bangun lebih siang daripada yang lainnya. Meski dugaanku benar soal atmosfer kecanggungan yang pasti akan ada diantara kami. Aku berusaha untuk bersikap biasa seperti apa yang dia minta, tapi itu sulit. Dan akhirnya kami sama sekali tidak saling bicara di dalam kamar semalam.

Aku menyantap sarapan pagiku dengan lahap. Aku selalu dan selalu menjadi penggemar masakan Naomi-san sejak kecil. Pagi ini Naomi-san memasak sendiri tampaknya, aku memang selalu memintanya melakukan itu tiap kali aku berkunjung dan kali ini dia mengerti tanpa harus kupinta. Salah satu hal yang kurindukan darinya ketika jauh adalah masakannya. Tidak ada yang bisa menyaingi enaknya masakan Naomi-san di hatiku. Tidak ada dan tidak akan pernah ada.

“Tadaimaaaaa!!!”

Aku mendengar suara seruan Yuki setelah sebelumnya kudengar suara pintu terbuka. Yuki dan Nagisa masuk ke ruang televisi dimana aku dan anak-anak yang lain asik menonton siaran ulang pertandingan bola team favoritku. Oh, sebenarnya hanya aku yang paling menikmatinya. Mereka hanya ikut-ikutan saja.

Yuki dan Nagisa masuk dengan masing-masing sekantung besar makanan di tangan mereka yang langsung diburu anak-anak yang lain ketika mereka melihatnya. Aku lihat Shinji muncul di belakang Yuki dan Nagisa yang tengah dikerumuni anak-anak. Dia tersenyum melihat wajah girang anak-anak ketika Yuki dan Nagisa membagikan segala jenis makanan ringan dari kantung-kantung besar itu.

Lagi-lagi dia tersenyum...

“Naomi-saaan!! Aku punya banyak makanan!” Seru Yuki girang ketika Naomi-san muncul di ruangan karena mendengar suara berisik anak-anak berebut makanan.
“Dari mana itu Yuki?” Tanya Naomi-san.
“Shinji-niichan yang belikan!”

Oh...

Aku lihat Naomi-san melirik Shinji dan menggelengkan kepalanya,“ kau tidak perlu melakukan ini Shinji.”
“Tidak, aku hanya kebetulan lewat mini market dan Yuki bilang dia ingin membeli es krim, jadi kami mampir.”
“Dan Shinji-niichan bilang aku boleh mengambil apapun yang aku mau!” sela Yuki masih dengan wajah riangnya.
“Sekarang ucapkan terimakasih pada Shinji-niichan!” suruh Naomi-san.
“Terimakasih!!!” Ucap anak-anak serempak dan dia hanya tersenyum kecil sambil menganggukan kepalanya.

Aku segera mengalihkan tatapanku kembali ke layar televisi saat dia menyadari aku sedari tadi memperhatikannya. Dia paling hanya ingin pamer kalau dia punya banyak uang? Huh? Kenapa aku selalu sinis padanya?

“Aku tidak dibagi?” Aku pura-pura merengut menyodorkan telapak tangam pada Yuki.
“Takashi-niichan tidak dapat bagian!”
“Kenapa?”
“Kau kan sudah besar.”
“Iya, Takashi-niichan jangan dibagi!”
“Jangan! Jangan!” Seru anak-anak sambil tertawa-tawa. Aku sedikit jengkel juga sebenarnya.
“Oke, tidak akan kubawakan oleh-oleh lagi kalau aku kemari lagi nanti!” ancamku iseng.
“Biarin! Kami punya Shinji-niichan yang keren, weeeekk!”

Oke, aku benar-benar jengkel sekarang. Dia sudah benar-benar mengambil hati anak-anak.

“Kalian pasti tidak tahu kan kakak kalian yang keren itu dulu suka ngompol,” aku menggulir bola mataku malas saat menyadari objek yang kupermalukan terlihat cukup terkejut dengan apa yang tiba-tiba kubicarakan.

“Eeh! Shinji niichan suka ngompol?” Tanya Nagisa tak percaya.
“Bahkan dia selalu minta kuantar tiap ingin buang air kecil malam hari. Dia juga sering nangis hanya karena kuberi kecoak. Keren ya?” Sindirku tersenyum sambil mendeliknya.

Entah apa yang kulakukan? Tapi melihat wajah menahan malunya itu membuatku senang. Aku tahu, bahkan aku belum bisa bersikap seperti biasa ketika harus berhadapan hanya berdua dengannya, tapi kali ini banyak anak-anak di sini dan ada Naomi-san juga. Lagipula aku jengkel mengetahui dia sudah berhasil merebut hati anak-anak dariku.

“Takashi niichan bohong ah.”
“Dia cengeng dan penakut. Tanya Naomi-san!”
“Benarkah itu Naomi-san?”

Naomi-san tersenyum sambil menganggukan kepalanya sedikit tidak rela.

“Eeeehh?!” Semua anak-anak menoleh pada Shinji dengan tatapan tidak percaya. Syukurin! Haha...aku tahu masa kecil memalukanmu tuan sok arogan. Kalau saja semua anak universitas juga tahu hal ini... aku penasaran bagaimana reaksi mereka.

“Namanya juga waktu kecil, anak-anak! Yang penting sekarang, lihatlah bagaimana dia tumbuh!” Naomi-san berusaha membela Shinji-nya.
“Tapi aku masih tak percaya Shinji-niichan...”

Aku menyunggingkan senyum menyebalkan ke arahnya yang terlihat risih dengan pembicaraan yang tiba-tiba kubawa. Aku tidak mengerti tapi sepertinya sifat isengku masih mendarah daging dan sejak dulu aku memang paling suka menjailinya. Aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk melakukan itu, mengingat keadaanku dan dirinya sekarang.

Aku sedikit terkejut saat melihatnya menghampiriku dan duduk bersila di lantai di sampingku. Dia melirikku dengan ekor matanya.

“Kau senang?”

Kupikir... Oh, dia marah aku membahas masa kecilnya yang memalukan?

“Tidak ada hal yang lebih menyenangkan dari mempermalukan orang yang sok.” Ucapku berusaha seacuh mungkin. Meski aku tak bisa mengacuhkan kedua matanya yang terus melihatku dari ekor matanya. Aku berusaha kembali fokus melihat televisi dan kembali mengisengi anak-anak, berusaha mengabaikan keberadaannya di sampingku tapi aku tidak bisa. Aku bisa merasakan kedua mata itu terus menatap setiap gerak dan tingkahku, membuatku tak bebas. Dia benar-benat marah tampaknya. Aku merasa seperti ditelanjangi di tatap dengan cara seperti itu. Apa yang kupikirkan? Tolong jangan buat aku mengingat kata 'telanjang' lagi!
Aku tidak akan pernah bisa kembali bersikap biasa jika mengingat kembali hal itu.


×÷~虎の瞳~÷×

“Aku tahu. Aku akan segera pulang.”

Itu adalah kalimat terakhir yang kudengar saat aku keluar dari kamar mandi sebelum akhirnya dia mengakhiri panggilannya.
Aku melap-lap rambut basahku yang baru kukeramasi sambil berjalan ke arah tempat tidur lalu duduk di tepinya, sama dengan apa yang dilakukan Shinji. Kami berhadapan dengan jarak beberapa langkah, tapi dia terlihat sibuk dengan tasnya, memberes-bereskan sesuatu.

“Orang tuamu?” Tanyaku berusaha untuk bersikap sealami mungkin. Aku tidak mau terus saling diam dengannya. Dia bilang 'lupakan!' berarti lupakan! Kalau dia menganggap itu bukan apa-apa, kenapa aku harus galau sendiri? canggung sendiri? Tidak, itu tidak bagus.

“Ibuku,” jawabnya masih sibuk dengan tasnya.
“Ibumu... Aku sedikit terkejut melihatnya masih sama seperti 14 tahun lalu. Memangnya berapa usianya sekarang?” Ah, syukurlah aku bisa bicara dengannya secara normal.

Shinji melirikku sekilas, “44. Dia banyak melakukan operasi.”
“Ha?” Apa? Operasi pelastik maksudnya?, “Oh, sedikit mengecewakan. Kecantikannya tidak benar-benar alami ternyata.” Aku tersenyum hambar.
“Waktu muda dulu dia memang cantik. Aku pernah melihat foto-foto jaman-jaman sekolahnya.”
“Hm,” aku mengangguk, “Dia mengkhawatirkanmu? Ah tentu, sepertinya kau sangat disayang kedua orang tuamu,” gumamku pelan sambil kembali melap rambut basahku dengan handuk sambil menunduk. “Saat tahu kau diadopsi kedua orang tua angkatmu, jujur saja aku iri. Kau selalu lebih beruntung dariku.” Ucapku pelan. Aah!! Apa yang kukatakan?!
Aku kembali melap rambutku merasakan tatapan kedua mata itu terus mengarah padaku dengan intens selama beberapa lama.

“Orang tua angkatmu?” Akhirnya dia bertanya, sambil menaikan satu alisnya.
Oh, dia tidak tahu aku tidak punya orang tua angkat.
Aku menggelengkan kepalaku, “Tidak ada, aah~ itu karena aku bandel sih. Jadi tidak ada yang mau mengadopsiku hehe...” aku sedikit cengir, menggigit bawah bibirku pelan. “Kadang aku berpikir dunia ini kejam padaku. Kehidupan ini membenciku. Tapi ternyata tidak seburuk itu. Aku tidak semalang itu. Aku keren dan tinggal bersama Naomi-san sampai usia 15 bukan hal yang buruk.” Aku meletakan handuk bekas rambutku di tepi tempat tidur dan sedikit mengacak-acak rambut basahku dengan kedua tangan, agar lebih cepat kering dan saat aku kembali mengangkat wajahku, aku menemukan kedua matanya menatapku seakan begitu dalam. Aku hampir tak bisa lagi berkata-kata saat melihat ke kedua matanya.

“Kau bilang kau akan mengirimiku surat? Cis! Pembohong,” aku menggulir bola mataku, mematahkan kontak dengan miliknya. Aku hampir tak bisa berkata-kata lagi dan itulah kata-kata yang tiba-tiba muncul di kepalaku.

“Saat aku mulai bisa menulis dan membaca, aku melakukannya.”
“He?” aku menaikan satu alisku, “aku tidak menerimanya.”
“Mungkin tersangkut di saku pak pos.”

Apa dia sedang mencoba untuk bercanda? Kalau iya, itu sangat tidak lucu!

“Simpel. Kau hanya kacang yang lupa kulitnya.” Aku menunjuknya dan dia mendengus. Kami berada dalam keadaan hening beberapa saat sampai aku menghela nafas, “Kau ingat, waktu kau menangis karena mimpi buruk. Aku melemparimu dengan bantal dan karena tangisanmu malah membesar aku membekap mulutmu karena kau benar-benar berisik,” aku tersenyum hambar mengingat banyak kenanganku dan dia di kamar ini, “dulu aku selalu mengejek dan menjailimu. Aku anak yang nakal. Mungkin hukuman atas itu juga lah, hingga sampai akhirpun tidak ada yang mau mengadopsiku. Kupikir wajar jika kau membenciku karena kelakuanku dahulu.” Aku kembali mempertemukan kedua mataku dengan miliknya. Siap dengan akibat dari apa yang kulakukan itu. “Aku minta maaf.”

Akhirnya aku mengatakan 3 kata itu. Kata-kata yang selalu kupikir akan menjadi kalimat pertama yang akan kuucapkan jika bisa kembali bertemu dengannya.

“Maafkan aku.”

Grek.

Aku melihatnya berdiri dari duduknya di atas tepi tempat tidur dan beranjak keluar kamar tanpa mengatakan apapun. Mau kemana dia?
Apa itu artinya dia tidak menerima permintaan maafku?
Oh, oke. Terserah. Yang penting aku sudah mengatakannya, walau agak berat karena dia yang sekarang seakan bukan orang yang pantas kumintai maaf tapi aku tetap melakukannya.

Aku sedikit mendengus.
Sebenarnya sedikit kecewa.
Kupikir dia sedang baik sekarang.

Aku melemparkan handukku ke wardrobe dan membaringkan tubuhku di atas tempat tidur berharap segera terlelap dan tak menyadari kedatangannya kembali ke dalam kamar. Tapi aku berguling-guling di atas kasur dan kedua mataku tidak juga terpejam. Aku melihat tempat tidurnya yang masih kosong. Dia belum juga kembali setelah hampir satu jam aku memaksakan diri untuk tertidur.
Aku kembali berguling membelakangi tempat tidurnya dan memejamkan mata. Dan hampir dua jam aku tidak bisa juga tertidur dan dia masih belum juga kembali.
Sebenarnya apa yang dia lakukan?

Pukul 10 malam.

Mendadak aku merasa haus dan segera membangunkan tubuhku, beranjak dari atas tempat tidur. Saat aku hendak membuka pintu kamar, tiba-tiba benda itu terbuka sendiri dan aku melihat siapa pelakunya di luar sana.

“Oh,” suara itu refleks keluar dari mulutku. Dia menatapku.
“Kau belum tidur?”
“Aku merasa sedikit haus,” Aku mencium bau rokok dari tubuhnya saat dia melangkah masuk dan kami berpapasan di ambang pintu. Mungkin dia keluar selama 2 jam untuk merokok?

Eh?!

Aku spontan menoleh ke sampingku dimana dia berdiri. Dia menghalangiku untuk keluar kamar dengan satu tangannya memegang pinggir frame pintu di samping wajahku. Dan nafas juga detak jantungku seperti direnggutnya saat tanpa sadar wajahnya yang sedikit ia miringkan sudah tepat di depan wajahku dan tanpa jarak sedikitpun. Aku bisa merasakan aroma rokok dan dingin bibirnya di milikku.

Tunggu!
APA?!!!!

“Shinji—” Aku menarik diriku namun dia kembali menarik tubuhku, membuat punggungku bersandar ke pinggiran frame pintu. Aku refleks menutupi mulutnya saat wajahnya kembali mendekat, namun dengan mudah dia menyingkirkannya, mengangkat daguku dengan tangannya dan aku bisa kembali merasakan aroma rokok masuk ke tenggorokanku dan lembut bibirnya. Bibir yang di awal tadi terasa dingin kini jadi terasa lebih hangat.

SEBENARNYA APA-APAAN INI??!!

Aku berusaha untuk bisa bersikap biasa di hadapannya, sampai akhirnya aku bisa melakukannya lalu kenapa dia melakukan hal yang bisa membuatku canggung lagi untuk berhadapan dengannya?
Jangan bilang dia sedang mabuk karena rokok sekarang!

Aku masih menahan nafasku saat dia menarik bibirnya dari milikku. Tubuhku seperti membatu.

Katakanlah aku adalah seorang master dalam hal berciuman. Aku biasa melakukan ciuman yang ekstrim dan bersifat menggairahkan pasanganku tapi aku sendiri tidak suka terbawa dengan itu. Tapi yang dia lakukan hanyalah menempelkan bibirnya dengan sedikit hisapan saja dan itu sudah membuat tubuhku panas dingin.

“Tidak semanis yang selalu kubayangkan,” komentarnya sambil menyentuh bibir bawahnya.

Apa?
Memangnya dia pikir bibirku manis?

“Aku tidak mengerti, apa sebenarnya maksudmu melakukan ini? Kau mabuk?” Aku mengernyitkan dahiku menatapnya, berusaha seacuh mungkin dengan apa yang dia lakukan. Meski sebenarnya jantungku sedang rusuh di dalam sana dan kuharap dia tidak mendengarnya.

Aku bisa melihat pantulan diriku di kedua bola mata tajam itu. Aku menyukainya, tapi aku tidak bisa bertahan lama di tatap dengan begitu intens dan dari jarak sedekat ini. Itu seperti mencoba bernafas dalam air. Aku tidak tahu apa yang harus dan bisa kulakukan dan ekspresi wajah seperti apa yang harus kutunjukan dengan kedua mata itu terus menatapku hingga tanpa sadar aku menutup kedua matanya dengan telapak tanganku.

Shinji meraih pergelangan tanganku dan menarik telapak tanganku dari kedua matanya. Aku lihat kedua mata itu terpejam saat telapak tanganku meninggalkannya namun beberapa saat kemudian mereka kembali terbuka dan dia mengecup telapak tanganku dalam genggamannya. Aku dapat merasakan dengan begitu jelas aliran darah yang berdesir di tubuhku karena hal kecil yang ia lakukan.

Apa-apaan dia?

“Hentikan Shinji!” Aku sudah tidak bisa berpura-pura lagi acuh dengan semua hal mengejutkan yang dilakukannya. Aku sedikit menunduk menatap kedua kakiku dan kakinya. Aku tahu besok dia akan kembali bersikap acuh dan arogan padaku. Karena itu kumohon hentikan!

“Jadi milikku!” Bisiknya tepat di telingaku.

Apa?!
Aku refleks mengangkat wajahku, terkejut dengan apa yang baru saja kudengar dari mulutnya dan menoleh ke samping dimana aku mendapatkan pipinya dalam pandanganku.

Milik?
Itu, maksudnya....?

“Atau pergi jauh dari kehidupanku! Jangan pernah muncul lagi di hadapanku! Menghilanglah dari kehidupanku seperti sebelumnya!”




×÷~To.Be.Continued~÷×


2 comments:

  1. "Jadi milikku!"
    "Atau pergi jauh dari kehidupanku! Jangan pernah muncul lagi di hadapanku! Menghilanglah dari kehidupanku seperti sebelumnya!”
    HUWAAAA!!!!!!XDDDDDDDDD pengenn~(?) #DUAKSSSS

    ReplyDelete