Author: RuKira Matsunori
Chapter: 6B/6
Genre: AU // Romance // Drama
Rating: R
Fandom: Alicenine
Pairing: Tora / Saga.
Warning: Male x Male!
A/N: Ini malam? Malam kan ya? *ditabokin berjamaah* xD maaf, saia tidak puas dengan hasil sebelumnya, tapi inipun saia rasa masih ada yang kurang entah kenapa saia masih belum benar-benar puas dengan endingnya! Tapi.... manis asam asin pait silahkan dibaca saja xDa *kalo udah baca gosok gigi ya~ eaaaa*
“Otsukaresama deshita!”
“Otsukaresama deshita!”
Nao duduk di sampingku sementara Kai-san asik mengobrol dengan waiter-waiternya. Sejak aku pulang dari Koriyama, Kai-san sama sekali tak pernah menyapaku. Dia mungkin memang tak memberiku izin saat itu tapi aku tetap bersikeras membolos. Dia marah padaku! Tapi biasanya dia akan ngomel-ngomel bukannya mendiamkanku. Aku lebih suka dia memarahiku daripada didiamkan.
“Kenapa kau?” Tanya Nao melihatku menghela nafas berat.
“Kai-san masih tak mengajakku bicara,” gumamku sambil meraih tas gendongku.
“Kalau begitu kau yang ajak dia bicara!”
“Aku pernah melakukannya tapi dia mengabaikanku.” Aku mendengus.
“Haha... dia memang begitu kalau benar-benar marah pada orang. Tapi itu tidak akan lama, percayalah!” Nao menepuk-nepuk punggungku.
“Dia tidak akan memecatku kan?” Aku merasa sedikit khawatir dengan itu. Aku memang kadang bandel tapi aku suka bekerja di tempat ini.
“Itu tidak mungkin. Walau kau sering bolos tapi kau selalu bekerja dengan baik dan Kai-san suka cara kerjamu. Tapi kalau boleh kunasehati, lain kali jangan coba-coba bolos lagi kalau dia tidak memberimu izin.”
Aku mengangguk lemah, “aku tahu. Aku tidak akan melakukannya lagi.”
“Itu bagus,” Nao tersenyum mengacungiku jempol, “akan kukatakan padanya kalau kau menyesal dan tak akan melakukannya lagi. Tapi kau harus pegang janjimu!”
Aku tersenyum menganggukan kepalaku, “thanks.”
“Tak masalah.”
Aku membuka seragam kerjaku dan menggantinya dengan T-shirt dan jaket milikku, begitupun Nao mengganti seragamnya dengan baju miliknya.
“Oh ya, tadi Hiroto datang lagi dengan... siapa? Tora? Temanmu ketika di Sumire.” Ucap Nao tiba-tiba sambil mengancingkan kemejanya.
“He?” Aku menoleh ke arah Nao, “oh,” responku berusaha tidak setertarik mungkin mendengarnya datang lagi kemari.
Jadi dia mengajak Hiroto untuk keluar itu.... kemari? Padahal aku ingin melihatnya! Kalau aku tahu dia mau datang, aku akan mengintip-intip ke konter tadi.
Terdengar bodoh ya? Tapi aku ingin melihatnya tanpa perlu berinteraksi dengannya. Aku ingin melihatnya tanpa dia menyadari keberadaanku.
“Apa dia akan kembali lagi ke Inggris ya?”
Aku kembali menoleh ke arah Nao sedikit terkejut, “apa?”
Nao merapikan baju seragamnya lalu menoleh ke arahku dengan satu alisnya sedikit terangkat, “kalau tidak salah tadi aku mendengar selintas ia bicara dengan Hiroto tentang... kembali ke Inggris, kembali ke Inggris semacam itu.”
“Kau serius?!” tanpa sadar suaraku mendadak meninggi saat bertanya itu pada Nao.
“Aku tidak terlalu yakin. Aku tidak benar-benar menyimak sebelumnya, tapi yang aku dengar besok pagi dia ke bandara.”
Inggris?
Jarak Jepang dan Inggris terlalu jauh.
Itu artinya aku tak akan bisa melihatnya lagi?
Kedua mata itu tak akan ....menatapku lagi?
“Menghilanglah dari kehidupanku seperti sebelumnya!”
Aku refleks melemparkan baju seragam dalam genggamanku bersama tasku ke sembarang tempat.
“Eh, Oi ! Takashi?”
Aku tak menghiraukan panggilan-panggilan Nao dan tatapan bingung Kai-san juga para waiternya saat melihatku keluar Club dengan terburu-buru bahkan hampir berlari. Tubuhku seperti bergerak sendiri tanpa menunggu perintah otakku. Aku tak tahu kemana kakiku membawaku berlari di tengah malam seperti ini.
Kembali ke Inggris?
Bohong kan?
Kenapa tiba-tiba?
Apa-apaan ini?
Bukankah dia menyuruhku untuk pergi dari kehidupannya? Dia tidak bilang dia yang akan pergi dari kehidupanku kan? Lagipula.... AKU BELUM MEMBERINYA JAWABAN!!
Apa dia pikir kebisuanku adalah penolakan? Apa itu maksudnya dengan 'aku mengerti' yang dia katakan waktu itu? Apa dia bodoh? Apa dia setidak sabaran itu?
Brengsek kau Shinji!!! Apa kau tidak pernah belajar tentang bagaimana seseorang shock saat mendapatkan sesuatu yang tak pernah ia duga akan ia dapatkan?
Aku berlari di sepanjang pinggir jalan yang sedikit sepi tapi aku lihat mobil-mobil masih lalu lalang di tengah jalanan sana. Kenapa aku merasa takut? Untuk pertama kalinya aku merasakan perasaan takut seperti ini. Dulu dia juga pergi meninggalkanku, tapi aku tidak setakut ini kehilangannya. Aku merasa lemah.
Perasaanku benar-benar kacau, aku merasa seperti berpijak dan tidak berpijak ke bumi. Pikiranku terlalu dipenuhinya dan ketakutanku akan kehilangan semua bayangan itu. Apa sebenarnya yang telah dia lakukan sampai membuatku setakut ini? Bukankah dia hanya selalu mengatakan dan melakukan sesuatu semaunya?
Aku tak mengerti dirinya, tapi aku lebih tak mengerti diriku sendiri yang berlari di tengah malam begini seperti orang gila hanya demi orang sok itu! Hanya demi agar aku tetap bisa melihat orang arogan itu saat aku menginginkannya.
Aku menyadarinya sekarang.
Aku mungkin tidak yakin kami bisa jadi sepasang kekasih, tapi aku yakin akan ketakutanku kehilangannya. Aku tidak ingin kehilangannya lagi untuk kedua kalinya. Aku ingin selalu bersamanya dan jika untuk itu aku harus menjadi kekasihnya, budaknya, atau apapun itu aku akan menyanggupinya. Selama itu agar aku tetap bisa melihat pantulan diriku di kedua mata indahnya, apapun akan kulakukan.
Setelah kau menolongku dan merawat lukaku, setelah kau memperlihatkan sisi lembutmu, setelah kau memberiku kecupan itu dan mengatakan agar aku jadi milikmu, setelah aku tahu kau memendam perasaanmu begitu lama untukku, bagaimana bisa aku melepaskanmu Shinji !!!
Aku baru menyadari dinginnya lantai malam seperti menusuk telapak kakiku yang terasa panas saat aku menekan bel pintu apartmentnya. Aku membungkukan tubuhku dengan satu tangan bertumpu di dengkul kakiku sedangkan yang lainnya menyeka keringat yang terasa dingin di kening dan wajahku karena tersapa angin malam. Aku mengatur nafas berusaha mendapatkan oksigen yang cukup untuk paru-paruku setelah berlari-lari.
Dan beberapa saat kemudian aku melihat pintu di hadapanku terbuka. Aku kembali menegakan tubuhku masih dengan nafas yang sedikit terengah dan aku melihat wajah yang selalu ingin kulihat itu bingung sekaligus terkejut melihatku berdiri di depan pintu apartmentnya.
Syukurlah, aku masih bisa melihatnya.
“Takashi?”
Aku menarik nafasku dalam-dalam. “Apa kau bodoh?! Aku belum mengatakan apapun! Kenapa kau seenaknya menyimpulkan!! Bukankah kau menyuruhku untuk memilih, lalu kenapa kau seenaknya memilih sendiri?”
Aku merasakan dadaku kembali turun naik, mencoba kembali mendapatkan oksigen yang cukup untuk paru-paruku. Aku mengucapkannya hampir tanpa jeda.
“Siapa itu Tora?” Aku mendengar suara wanita bertanya dari dalam sana.
Tunggu! Apa itu ibunya?
Dia ada di sini?
“Ah, teman....Temanku!” Jawab Shinji tanpa mengalihkan tatapannya dariku dan dia melihat ke kedua kakiku. Oh, itu memalukan sekali. Aku hendak mengganti sepatu kerja dengan sneakerku tadi tapi Nao terlanjur mengatakannya. Aku sendiri tak sadar berlari-lari keluar dari Club tanpa alas kaki begini. Aku baru sadar ketika kakiku menginjak kerikil dan itu cukup terasa sakit tapi aku seakan tak menghiraukannya.
“Ada apa malam-malam begini?”
Dan saat itulah kedua matanya melepaskanku. Aku melihat dia berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari yang kuyakini adalah ibunya itu. “Dia bertengkar dengan orang tuanya dan melarikan diri kemari,” serunya.
“Apa?” Aku mengernyitkan dahiku.
Dia berbohong lagi tentangku pada ibunya?!
“Kalau begitu suruh dia masuk Tora! Ini sudah sangat larut malam.”
Shinji menarik pergelangan tanganku membawaku masuk ke dalam apartmentnya. Aku sedikit terpincang saat berjalan. Aku baru merasakan rasa sakit di telapak kakiku yang mungkin karena menginjak kerikil tadi.
“Oh. Sakamoto-kun? Benar?” Tanya nyonya Amano saat melihatku. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya.
Sepertinya aku sudah mengganggu waktu tidurnya. Tentu! Memangnya jam berapa ini? Tapi aku sama sekali tidak terpikirkan ibu Shinji akan ada di apartmentnya.
“Kaasan, Saga akan menginap di sini.”
He?! Kapan aku bilang aku mau menginap di sini?
“Kami harus bicara dan aku perlu menasehatinya. Tapi—”
“Dia tidak akan merasa bebas jika aku ada di sini. Aku mengerti.”
Aku menoleh ke arah Shinji yang terlihat sedikit tersenyum mendengar kata-kata ibunya. “Aku akan mengantarmu.”
“Antarkan saja kaasan sampai depan. Kau tidak boleh meninggalkan temanmu lama-lama di sini seorang diri.”
Shinji masuk ke kamarnya dengan terburu-buru dan keluar dengan mantel di tangannya. Dia membantu nyonya Amano memakai mantelnya dengan begitu hati-hati. Dia akan pulang dengan baju tidur dan hanya dengan mantel seperti itu?
Meski usianya sudah 44, tapi dia sungguh tidak terlihat seperti orang dengan usia setua itu. Apalagi melihatnya memakai dress tidur tipis yang memperlihatkan lekuk tubuh dan dengan rambutnya yang hitam terurai seperti itu. Dia masih sangat cantik!
Mungkin karena dia banyak melakukan operasi , kan?
“Ma-maaf!” Aku membungkukan tubuhku merasa seakan secara tidak langsung aku mengusirnya dengan datang kemari. Tapi aku tidak berniat dan bilang akan menginap di sini kan?
“Tak apa. Aku mengerti kalian anak muda butuh saat dan ruang tanpa pengawasan orang tua sewaktu-waktu. Anggaplah rumah sendiri, dan terimakasih sudah mempercayai Tora sebagai teman baikmu.”
“I-iya,” aku sedikit menunduk. Aku jadi merasa ikut membohonginya. Tapi aku juga tak mungkin mengatakan kalau aku sebenarnya menyukai anaknya!!!
“Dan pastikan kalian tidur setelah urusan kalian selesai. Tora baru sembuh dari sakit, bergadang bisa buruk untuk kesehatannya dan kesehatanmu juga.”
Shinji sakit?
Aku menoleh ke arahnya. Mungkin ibunya juga menginap di sini untuk merawatnya.
Ah, aku sedikit iri, dia sangat diperhatikan.
Tapi dia baru keluar bersama Hiroto tadi?
“Tunggu di sini,” ucapnya sebelum keluar untuk mengantar ibunya. Itu seperti dia seakan memastikan agar aku jangan kabur.
Aku melihat setiap sudut ruangan apartmentnya dengan sedikit gugup. Apartment yang dua bahkan mungkin tiga kali lipat milikku dengan satu kamar tidur dan kamar mandi yang besar. Ini kedua kalinya aku datang kemari.
Aku melihat jam di tanganku.
Pukul 00:34 a.m
Berarti sekitar kurang lebih 20 menit waktu yang kubutuhkan untuk bisa sampai di depan pintu apartmentnya. Memang tidak terlalu jauh dari club tempatku bekerja, bahkan mungkin bisa ditempuh hanya dalam waktu kurang dari 5 menit jika menggunakan kendaraan. Tapi ditempuh dengan hanya menggunakan kedua kaki yang berlari, itu cukup melelahkan.
Bodoh sekali. Padahal aku bisa menumpang di skuter Nao kan?
Apa-apaan aku ini?
Bahkan aku sampai lupa memakai sneakerku!
Aku seperti orang yang sudah tak bisa berpikir jernih lagi ketika mendengarnya akan kembali ke Inggris. Ketakutanku terlalu cepat menguasaiku. Ternyata aku bisa sampai bertindak sekonyol ini saking takutnya kehilangan seseorang.
Aku menghela nafas. Saat dia kembali nanti, aku akan mengatakan perasaanku. Aku akan mengatakan keinginanku! Lalu apa yang akan dia pikirkan setelah mendengar itu?
Cklek.
Aku sedikit terhenyak hanya karena mendengar suara pintu yang terbuka. Dia sudah kembali? Apa hanya perasaanku saja kalau dia cepat sekali kembali?
“Kau masih berdiri di situ?” tanyanya sambil kembali menutup pintu.
“Aku... aku tidak biasa duduk tanpa pemilik rumah mempersilahkanku duduk,” omong kosong~ aku hanya gugup. “Ibumu sudah pulang?”
“Aku mengantarnya sampai dia naik taksi.”
“Apa tidak apa-apa menyuruh ibumu pulang di jam segini?” Aku masih merasa sedikit bersalah.
“Aku tidak perduli.”
He?
Aku melihatnya berjalan ke dapur dan beberapa saat kemudian ia kembali ke ruangan dimana aku masih berdiri di posisi yang sama saat ia meninggalkanku tadi, dengan sebaskom kecil air... hangat? dan handuk kecil di tangannya.
“Kemari!” suruhnya.
Aku hanya mengernyitkan dahi tak mengerti dengan apa yang hendak ia lakukan. “Apa aku harus menyeretmu?”
“Apa?”
“Kemarilah, dan duduk!”
Meski aku belum bisa menebak dengan apa yang hendak ia lakukan dengan sebaskom air hangat itu, aku berjalan menghampirinya dan dia menyuruhku untuk duduk di sofa.
“Tu-tunggu! Shinji, apa yang kau lakukan?!” Aku refleks menaikan kedua kakiku ke atas sofa, berjongkok. Saat Shinji tiba-tiba berjongkok di lantai dan memasukan satu kakiku ke dalam baskom kecil berisi air hangat yang tadi ia bawa.
“Mencuci sekaligus menghangatkan kakimu.”
Apa?!
“Untuk apa? Aku, aku tidak perlu!”
Namun dia tak mendengarkanku dan malah menarik kaki kiriku yang masih kurasakan sakit di telapaknya karena kerikil tadi. “Shinji—” aku berusaha kembali menarik kakiku namun dia tak membiarkannya. Dia melihat telapak kakiku yang ternyata aku sendiri baru melihat ada setitik darah mengering di sana. Sepertinya kerikil yang kuinjak menyobek kecil kulit telapak kakiku. Pantas saja sakitnya membekas begitu lama.
“Kau lihat? Kakimu bisa infeksi kalau tidak segera dibersihkan dengan air hangat,” ucapnya sambil meletakan kakiku ke dalam baskom berisi air hangat.
“Aku bisa melakukannya sendi—” Aku menahan kata terakhirku di tenggorokan saat melihatnya mengangkat wajahnya dan menatapku seakan memperingatkan agar aku diam. Dan dia berhasil.
Aku menyerah dan membiarkannya melakukan apa yang diinginkannya. Aku hanya memperhatikannya yang terlihat sibuk mencuci kedua kakiku dan melapnya dengan handuk kecil setelah ia selesai. Dia beranjak dari hadapanku dan kembali dengan sebuah plester ditangannya.
Kenapa dia begini?
Sebenarnya apa yang dia pikirkan sampai mau-maunya dia mencucikan kakiku?
Kenapa dia begitu perhatian? Kenapa dia begitu lembut?
Dia tidak tahu, hal kecil seperti ini... membuatku semakin tak ingin kehilangannya.
Dia kembali berjongkok sambil membuka plester di tangannya, “Sebenarnya apa yang—”
“Shinji,” aku memanggilnya dan dia mengangkat wajahnya menatapku. Kedua bola matanya yang begitu bening dan jernih, saat malam hari terlihat begitu hitam dan cantik. Aku bisa melihat kedua matanya sedikit membulat saat tanganku meraih wajahnya dan tanpa sadar aku merendahkan kepalaku dan mengecup sebelah matanya yang langsung menutup saat permukaan bibirku menyentuhnya. “Kumohon tatap aku,” aku lihat kedua matanya kembali terbuka, “tatap aku lebih lama lagi dengan mata itu.”
Aku suka melihat bayanganku terpantul di kedua matanya. Aku suka saat dia menatapku dengan kedua mata tajam itu. Aku ingin kedua mata itu selalu melihatku, hanya aku.
“Jangan pergi Shinji. Kumohon jangan pergi lagi dari kehidupanku!” Aku menenggelamkan wajahku diantara kedua lututku, “jangan pinta aku untuk jadi orang asing. Aku tidak bisa berpura-pura tak mengenalmu sementara memoriku menyimpan banyak kenangan tentangmu. Aku tidak ingin pergi dari kehidupanmu! Aku ingin selalu bisa melihatmu. Aku ingin kau ada saat aku ingin melihatmu. Karena itu jangan pergi! Tetaplah di sini!” Aku masih menyembunyikan wajahku diantara kedua lututku tak berani melihat langsung ke kedua matanya. Tapi aku merasakan sedikit kelegaan di dadaku karena berhasil menyuarakan isi hatiku dalam bentuk suara dan kata-kata yang bisa ia dengar langsung. Meski ketakutanku akan kehilangannya masih terasa begitu kuat karena aku tidak cukup percaya diri kata-kataku akan sampai ke hatinya, membuatnya merubah keputusannya.
“Aku di sini.”
Aku mengangkat wajahku dan melihatnya sudah berdiri dari jongkoknya di lantai.
“Aku tidak akan kemana-mana.”
“Sungguh?!”
Apa itu artinya dia membatalkan rencananya? Aku berhasil membuatnya merubah keputusannya? Perasaanku sampai padanya?
“Kau tidak akan kembali ke Inggris?”
Aku melihat Shinji menaikan satu alisnya terlihat bingung dengan pertanyaanku. “Tidak. Siapa yang bilang aku akan kembali ke Inggris?”
Tunggu.....
APA?!
“Nao bilang kau bicara pada Hiroto kalau—”
“Oh. Saat di Club? Aku hanya mengatakan kalau besok aku akan mengantar ibuku ke bandara untuk kembali ke Inggris.”
Oh, oooh!!! Dan aku benar-benar merasa BODOH!!! Sudah berlari-lari tengah malam seperti orang stress hanya karena dia akan mengantar ibunya ke bandara?
Apa aku harus mentertawakan diriku sendiri sekarang?!
“Be-begitu? Haha... Berarti Nao salah dengar,” aku tertawa hambar. Bodoh! Bodoh! Bodooooohh!!! Apa yang telah kulakukan? “ baguslah kalau kau akan tetap di sini. Kalau begitu aku pulang.” Aku berdiri dari sofa tanpa berani melihat ke arahnya, hendak beranjak keluar namun tangannya mendorong tubuhku kembali terduduk di atas sofa. Dia membungkukan tubuhnya membuat wajahnya agak sejajar denganku dengan kedua tangannya bertumpu pada sandaran sofa di samping kanan dan kiri kepalaku.
“Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja setelah apa yang kau lakukan?”
Aku menggulir bola mataku menghindari tatapannya.
“Aku hanya memberimu dua pilihan. Jika kau tak ingin pergi dari kehidupanku, kau tahu apa artinya itu?”
Aku menelan ludahku paksa, sedikit mengangguk lemah. “Aku milikmu,” ucapku pelah hampir bergumam pada diriku sendiri.
“Dan apa kau tahu apa artinya dengan menjadi milikku?”
Aku kembali menggulir bola mataku ke arahnya, memberanikan diri untuk bertatapan dengannya.
“Itu artinya kau milikku! Hanya milikku!”
Aku memejamkan kedua mata merasakan darah dalam tubuhku berdesir dengan cepatnya hanya karena dia berbisik di telingaku dan permukaan kulit bibirnya sedikit menyentuh cuping telingaku. Dan kata-kata yang ia bisikan...
“Tidak akan kubiarkan siapapun menyentuhmu.”
Aku merasakan permukaan jari-jari tangannya menyentuh leher sampingku.
“Dan jangan pernah berpikir untuk melepaskan diri dariku,” dia mengecup bahuku, “karena aku tidak akan pernah melakukannya,” aku sedikit menggigit bibir bawahku merasakan bibirnya mengecup leher sampingku. Kuharap dia tidak mendengar detak jantungku yang seakan tengah berontak di dalam sana. “apapun yang terjadi.” Dia kembali menarik kepalanya untuk kembali berhadapan dengan wajahku, “pikirkan itu baik-baik Takashi. Aku masih memberimu kesempatan untuk melarikan diri sekarang. Karena kau tidak akan bisa melakukannya setelah kau memutuskan untuk menjadi milikku.”
Kedua mata itu menatapku tajam penuh dengan keseriusan. Dia sungguh-sungguh dengan kata-katanya.
Dan dia seakan bertanya, apa aku yakin dengan keputusanku?
Aku sudah menghabiskan waktuku berhari-hari untuk itu dan dia masih bertanya apa aku yakin dengan keputusanku?
Aku sedikit menekuk leherku, menunduk. “Aku sudah merasa cukup dengan waktuku berpikir. Aku sudah memutuskannya.” Dan aku kembali mengangkat wajahku hanya untuk menemukan kedua matanya dalam pandangan, “jika itu semua arti dari menjadi milikmu, aku mengerti. Dan aku siap.”
Aku melihat kedua matanya sedikit melebar dan itu mengejutkanku. Dia menundukan kepalanya sejenak dan aku mendengar sebuah helaan nafas sebelum dia kembali menegakan tubuhnya dan beranjak dari hadapanku.
“Shinji?”
“Tidak, tidak! Kau pasti sedang bercanda. Kau ingin menjailiku.”
Aku mengernyitkan dahiku melihatnya mondar-mondar mandir dengan satu tangannya menyisir rambut depannya ke belakang dan yang lainnya berkacak pinggang. Tampak seperti seorang suami yang gelisah menunggu istrinya melahirkan?
Kenapa dia?
“Aku serius.”
“Tidak, Kau bohong!” Dia menunjukku.
Apa?
“Shinji—” aku menahan kalimatku di tenggorokan saat melihatnya mendudukan dirinya di kursi sambil menatap tangannya sendiri yang kulihat sedikit.... gemetar?
Apa? Kenapa dia seperti itu?
“Katakan aku sedang bermimpi!” Aku mendengar dia bergumam pelan sambil menutupi kedua matanya dengan satu tangan, menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa.
Tunggu?!
Dia seperti sulit mempercayainya.
Apa dia pikir aku menjadi miliknya adalah suatu hal yang tidak mungkin?
Sebesar itukah dia menginginkanku?
Entah kenapa pikiran-pikiranku sendiri tentangnya membuatku tersenyum. Dan melihatnya bertingkah seperti itu adalah hal yang sangat menggemaskan membuatku .... ingin memeluknya.
Aku ingin memeluknya...
Aku beranjak dari sofa dan menghampirinya, berjongkok di hadapannya yang masih terduduk bersandar ke sandaran sofa dengan satu tangan itu menutupi kedua matanya, sedikit menengadah ke langit-langit. “Apa sesulit itu menerima kenyataan kalau aku milikmu?” Aku tersenyum kecil. Ada sedikit keisengan dalam kalimatku.
“Aku hanya tak pernah terpikirkan hari itu akan benar-benar datang,” dia melepaskan telapak tangannya dari kedua matanya namun ia tidak melihat ke arahku, “hari dimana kau menjadi milikku.”
Aku menyentuh satu tangannya yang tergeletak bebas di atas sofa. “Tapi aku milikmu sekarang, Shinji.” Aku memainkan jari-jari tangannya. Aku baru menyadarinya, dia punya jari-jari tangan yang cantik, panjang dan ramping. Saat aku berhenti bermain-main dengan jarinya, aku kembali menarik pandanganku dan menemukan dia sudah menatapku dengan tatapan lembut.
“Kemari!” dia menepuk-nepuk permukaan sofa kosong di sampingnya, “duduklah di sampingku!”
Aku sedikit mengernyitkan dahi namun tanpa berpikir panjang lagi aku bangun dari jongkokku dan duduk di sampingnya.
“Kakimu!”
“Ha?” Aku mengernyitkan dahiku tak mengerti sampai dia menarik satu kakiku yang menginjak kerikil tadi, membuatku terpaksa duduk menghadapnya dengan satu kaki menginjak lantai dan yang lainnya kutekuk di atas sofa membiarkan dia memeriksa telapak kakiku. Tangannya meraih plester yang sempat terabaikan tadi di atas sofa bekasku duduk dan menempelkannya di telapak kakiku.
“Kau datang ke tempatku tengah malam begini... dan tanpa alas kaki,” dia mengalihkan tatapannya dari kakiku untuk menatapku, “karena kau pikir aku akan kembali ke Inggris?”
Teringat itu aku jadi ingin membenturkan kepalaku ke tembok.
“Lucu ya?” aku tersenyum hambar membuang mukaku, “kau boleh mentertawakanku.”
Aku bahkan ingin mentertawakan diriku sendiri. Tapi itu karena aku begitu takut. Aku takut tak bisa melihatnya lagi. Dan aku bersyukur dia tidak benar-benar pergi.
“Aku tidak ingin mentertawakanmu,” tangannya menyentuh lututku, yang kemudian dagunya ikut bertumpu di sana, “aku ingin menciummu.”
Seperti ada sengatan listrik yang menyerang dadaku saat dia mengatakan itu dengan kedua matanya menatap lurus ke mataku. Aku refleks menundukan wajahku menghindari tatapannya yang tak lama kemudian kurasakan sebuah kecupan mendarat di keningku. Aku memejamkan kedua mataku saat telapak tangannya menyentuh pipi kiriku dan dia mengecup pipi kananku, “milikku,”bisiknya dan kemudian bibir kami bertemu.
Aku merasakan seperti ada perasaan hangat menjalari dadaku saat bibir lembutnya menekan permukaan bibirku. Dia mengecupku dengan begitu lembut dan hati-hati, seakan bibirku adalah benda rapuh yang akan hancur jika dia memperlakukannya sedikit kasar. Dan aku sedikit kecewa saat dia menarik bibirnya dari milikku. Maksudku... hanya seperti itu saja? Dia seakan tak punya keberanian untuk melakukannya lebih.
“Aku masih tak percaya ini,” gumamnya pelan sambil menundukan kepalanya sementara satu tangannya masih menyentuh pipiku.
Sesulit itukah mempercayai bahwa aku miliknya sekarang?
Aku menyentuh pergelangan tangannya yang masih setia menyentuh pipiku,“apa yang harus kulakukan agar kau percaya?”
Aku lihat dia mengangkat wajahnya, menatap mataku beberapa saat. “Kau harus ada di sampingku saat aku terbangun besok pagi, dengan begitu aku percaya ini bukan mimpi,” ucapnya sambil membuang muka. oh! Entah bagaimana tapi aku merasa dia begitu menggemaskan bertingkah seperti itu. Aku ingin menggigitnya!!
“Aku tidak mau tidur dengan orang yang suka ngompol,” ucapku iseng dan aku mendengarnya mendengus pelan.
“Kau mengatakan itu juga di depan anak-anak. Apa kau sadar sudah menghancurkan kebanggaanku sebagai seorang laki-laki?”
“Oh ya?” Aku bersila di atas sofa, “maaf saja tapi aku tidak menyesal sudah melakukannya.” Aku tersenyum menggodanya.
“Kau benar-benar membuatku kesal. Saat itu aku ingin sekali membekap mulutmu itu—”
“Kalau begitu kenapa tidak kau lakukan?”
“dengan bibirku.”
O-oh~
Syukurlah dia tidak melakukannya. Itu berbahaya jika dilihat semua anak-anak dan juga Naomi-san kan?
“Shinji,” aku menyingkirkan poni-poni rambut yang sedikit menutupi mata indahnya, “sejak kapan kau menyukaiku?” aku ingin tahu itu langsung dari mulutnya.
“Sejak aku sendiri belum mengenal apa itu menyukai seseorang.”
He? Berarti memang dia menyukaiku sejak kecil?
Aku sama sekali tidak pernah menyadarinya. Mungkin karena... saat itu aku juga belum tahu apa itu menyukai seseorang.
“Kenapa kau menyukaiku?” Aku juga penasaran dengan itu. Padahal aku hanya selalu menjaili dan membuatnya menangis. Aku tidak mengerti...
“Aku tidak tahu.”
Eh?
“Tapi kau membuatku selalu ingin melihatmu, ingin menyentuhmu, ingin memelukmu, aku ingin memilikimu untuk diriku sendiri. Aku tidak suka saat kau menjaili anak lain.”
Eeeeehh?!
“Dan waktu itu aku tidak tahu aku harus menyebut apa untuk perasaanku itu.”
“Tapi kau selalu menangis saat aku menjailimu. Kupikir kau membenciku...”
“Apa aku pernah mengatakan aku membencimu?”
Tidak.
Oh, ya... Dia memang tidak pernah mengatakannya. Tapi aku selalu menganggap dia pasti membenciku dan memang seharusnya begitu kan?
“Aku justru berpikir kau membenciku karena aku anak yang cengeng dan tidak berguna. Kadang aku benci diriku sendiri.”
Aku memang sering dibuat jengkel karena kecengengan dan kemanjaannya tapi kadang bisa membuatnya menangis itu menyenangkan. Aku merasa senang jika berhasil membuatnya ketakutan saat kutakut-takuti dengan kecoak, aku senang jika berhasil membuatnya menangis dan Naomi-san akan memarahiku karena itu. Aku tidak pernah membencinya...
“Kau tahu sekarang,” aku mengelus pipinya dan mengecup bibir tipisnya, “aku tidak pernah membencimu.” Aku mengucapkannya saat bibir kami bahkan masih saling bersentuhan. Aku lihat dia terdiam terpaku seakan apa yang kulakukan padanya adalah hal yang sangat mengejutkannya.
“Dan jika kau menyukaiku sejak dulu.... kenapa kau tidak pernah memberiku dan Naomi-san kabar? Kenapa kau bersikap dingin padaku saat aku pertama kali bertatap muka lagi denganmu? Kenapa kau mengatakan tidak ingin mengenalku lagi?” Aku menatapnya serius. Dan untuk pertama kalinya dia yang menghindar dari tatapanku, padahal biasanya selalu aku yang kalah.
“Banyak hal yang kutakutkan.” Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa dan sedikit menekuk lehernya, “aku takut kau benci padaku, aku takut kau takut padaku jika kau tahu perasaanku. Aku takut aku akan menyakitimu, ” dia seperti bergumam pada dirinya sendiri saat mengatakan kalimat terakhirnya dan aku melihat satu tangannya mengepal di atas permukaan sofa. “Aku sungguh-sungguh dengan kata-kataku bahwa aku tidak berharap untuk bertemu lagi denganmu dalam kehidupanku ,” dia menoleh ke arahku, “aku takut—” dia menatapku lekat sampai akhirnya kembali membuang muka dan menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa, sedikit menengadah sambil menutupi sebelah wajahnya.
Aku sedikit penasaran. Dia hendak mengatakan sesuatu setelah kalimatnya yang belum selesai. Meski selintas, aku seperti melihat ada ketakutan dan kesedihan dalam tatapan kedua mata tajamnya baru saja. Tapi juga ada keraguan di sana yang membuat kalimatnya tak selesai.
“Shinji?”
“Lebih baik kau menghilang dari kehidupanku seperti sebelumnya. Karena aku tak bisa melihatmu berkeliaran disekitarku tanpa aku bisa memilikimu. Itu menyiksaku...”
Aku sedikit menunduk dan menggigit bibir bawahku.
Setersiksa itukah dia menyukaiku? Dan dia menyembunyikan itu dibalik sikap dingin dan kearoganannya. Tapi dia seakan selalu hilang kendali diri dan sifat aslinya muncul. Itu yang selalu membingungkanku.
“Kenapa kau berpikir aku akan takut dan membencimu? Kenapa kau berpikir tidak akan bisa memilikiku? Kau orang yang keren tapi kau pesimis,” aku sedikit meremat kain lengan piyamanya.
“Aku sangat tidak percaya diri jika itu tentangmu.”
“Tapi kenapa?”
Aku sedikit terhenyak saat dengan tiba-tiba dia menggenggam pergelangan tanganku membuat rematan tanganku di kain piyamanya terpaksa kulepas. Dia menggenggam pergelangan tanganku begitu kuat sementara dia menenggelamkan wajahnya diantara leher dan pundakku. “Karena aku terlalu mencintaimu. Itu membuatmu begitu tinggi , itu membuatmu menjadi hal yang sulit untuk kujangkau. Menjadi sesuatu terindah dan terbesar jika aku bisa mendapatkanmu.”
Tanpa sadar aku melingkarkan kedua tanganku di atas bahunya, aku ikut menenggelamkan wajahku diantara leher dan pundaknya dan aku merasakan kedua tangannya pun balas memelukku, begitu erat. “Aku takut menyakitimu, tapi keinginanku untuk memilikimu lebih besar. Aku orang yang egois...”
Aku tersenyum kecil, “aku tahu.”
“Aku sudah memberimu kesempatan untuk lari dariku sejak awal, tapi kau terus saja datang padaku. Keras kepala!”
“Maaf,” masih ada senyuman kecil di bibirku. “Tapi lagi-lagi aku tak menyesal dengan apa yang kulakukan.” sekarang aku justru bersyukur atas kekeras kepalaanku.
“Aku mungkin akan menyakitimu, tapi aku sudah memperingatkanmu sejak awal...” senyuman kecilku melebar merasakan ujung hidungnya menyentuh kulit leherku, sedikit menggelitik, “apapun yang terjadi aku tidak akan pernah melepaskanmu.”
“Aku mengerti.”
Karena dia yang mengatakannya. Karena orang yang kucintai dan begitu mencintaiku yang mengatakan tak kan melepaskanku, bagaimana aku tidak senang?
Tanpa dia mengatakan seperti itupun aku tak ingin lepas darinya.
“Ohok!”
Aku melepaskan pelukanku saat mendengarnya terbatuk, dan diapun melakukan hal yang sama. Aku baru teringat peringatan nyonya Amano. Anaknya baru sembuh dari sakit dan dia memperingatkan untuk memastikan agar Shinji tidak bergadang.
“Kau tak masuk kuliah selama 2 hari karena sakit?”
“Hanya masuk angin biasa. Tapi ibuku melarangku masuk kuliah, padahal itu bukan masalah untukku.” Dia sedikit mendengus.
“Itu artinya dia mengkhawatirkanmu. Seharusnya kau senang ada keluarga yang menghawatirkan dan menjagamu. Aku? Tidak ada.” Aku menggulir bola mataku tersenyum hambar .
“Aku.”
“He?” aku kembali menarik bola mataku ke arahnya.
“Aku akan selalu menjaga dan melindungimu.”
Aku tidak melihat ada sedikitpun keraguan di matanya ketika dia mengatakan kata-kata yang seperti hawa panas yang berhasil melelehkan es yang dimana es itu sendiri adalah hatiku. Dia sungguh-sungguh dengan kata-katanya...
“Thanks. Apa yang harus kulakukan untuk membalas itu?” Aku berusaha tetap tenang meski sebenarnya dia membuatku merasa seperti terbang.
“Cukup berada di sampingku selamanya.” Dia kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa dengan kedua mata yang tak lepas dariku.
“Oh? Hanya itu? Tentu.” Aku sedikit iseng.
Dia tersenyum. Oh, baiklah ini bukan pertama kalinya aku melihat senyuman manis itu tapi ini pertama kalinya senyuman itu tertuju untukku setelah aku bertemu kembali dengannya. Aku terlalu senang melihatnya tersenyum sampai tanpa sadar tubuhku bergerak dan duduk di lahunannya dengan posisi menghadapnya, kutarik kerah piyamanya dan kulumat bibir tipis itu. Awalnya Shinji terlihat terkejut tak merespon, namun aku terus menggodanya dengan menggigit-gigit kecil bibir bawahnya, dan tak lama kemudian kurasakan lidahnya menyusup masuk ke dalam mulutku dan aku seperti hampir tersedak dengan tindakannya yang tiba-tiba. Aku memberinya keberanian untuk melakukan lebih. Aku yang menantangnya, karena itu mau tak mau aku harus siap dengan akibatnya.
Lidah kami bertaut dan bergelut di dalam sana. Namun aku kalah lincah darinya, padahal kupikir aku seorang master untuk hal berciuman. Lidahnya menjajah mulutku selama beberapa lama sementara kurasakan tangannya masuk ke dalam t-shirt-ku, mengelus lembut punggungku dan kontak telapak tangannya dengan kulit punggungku membuatku sedikit merinding. Aku menarik wajahku dan sedikit mendorong dadanya melepaskan tautan bibir kami saat kupikir aku perlu sedikit oksigen untuk kuhirup, namun dia kembali melahap bibirku, menjilat dan menghisapnya kuat. Lidahnya kembali bermain-main di mulutku dengan tangannya masih bergentayangan meraba punggung dan dadaku. Aku mendesah pelan ditengah-tengah ciumannya, merasakan ibu jari tangannya bermain-main dengan nipple-ku.
Oh, tidak! Ini berbahaya!
Shinji melepaskan ciumannya dan menurunkan wajahnya ke leherku, menghisap adam-apple-ku. Tangannya menyingkap kain jaket yang menutupi bahuku dan dia mengecup-ngecup kecil bagian itu.
“Aku menginginkanmu,” bisiknya sambil menjilat leher sampingku. Sontak aku mendorong tubuhnya sampai punggungnya berbentur dengan sandaran sofa.
“Aa... aku—” aku lihat dia menatapku bingung.
“Kau tak ingin melakukannya?”
“Tidak, hanya saja...”
“Kau takut hamil?”
“Bukan begitu!” Aku menepuk pipinya pelan. “Hanya saja... kupikir itu terlalu cepat.”
aku membuang muka.
Bohong! Aku hanya tidak percaya diri! Aku berlari-lari untuk sampai di sini tadi dan itu membuat tubuhku mengeluarkan cukup banyak keringat. Aku tidak ingin first-timeku dengannya dengan keadaan tubuhku kotor begini.
Aku sedikit meliriknya. Memeriksa ekspresi wajahnya. Apa dia akan marah? kecewa?
“Aku tidak mendengarnya.”
“Eh, apa?!”
Dia kembali menarik tubuhku dan aku sedikit cengir saat merasakan hisapan kuat diantara leher dan bahuku.
“Shin—” aku berusaha mendorong dadanya namun kurasakan hisapannya malah semakin kuat.
Apa dia marah aku menolaknya?
Aku bisa merasakan lembab lidah dan mulutnya di kulitku yang terasa hangat. Aku menyerah membuatnya agar melepaskanku dan menunggu sampai dia puas dengan apa yang dia lakukan. Aku menundukan wajahku sambil merapatkan kedua mata dan menggigit bibir bawahku menahan sensasi yang diakibatkan hisapannya. Pasti itu akan meninggalkan bekas yang perlu waktu lama untuk hilang.
“Aku akan menunggu,” aku mendengarnya berbisik.
Sontak aku membuka kedua mataku dan menatapnya.
“Sekalipun itu artinya selamanya.”
Apa?!
“Tidak, tidak! Aku hanya perlu sedikit waktu.”
Untuk membersihkan diriku!!
“Kapanpun untukmu.”
Apa aku tarik kembali saja penolakanku?
Melihatnya begitu sabar dan penurut, aku jadi tak tega.
Tapi aku lebih tak tega jika dia pingsan karena harus mencumbu orang yang bau keringat. Baiklah mungkin itu terlalu berlebihan. Aku hanya tak mau kesan pertamaku jelek di matanya!
“Setidaknya aku sudah mengklaimmu sebagai milikku,” dia menyentuh permukaan kulit dimana dia menghisapku tadi, “ini adalah tanda kepemilikanku atas dirimu. Akan terus kuperiksa. Jika hilang, akan kubuatkan lagi yang baru.”
Dia mengatakannya dengan ekspresi wajah serius, itu artinya dia tak main-main untuk terus membuat tanda merah itu selalu ada di leherku.
Aku menyentuh kulit dimana kupikir tanda itu membekas dan turun dari lahunannya tanpa mengatakan apapun. Aku duduk di sampingnya dengan menekuk kedua lututku masih mengusap-usap leherku sedikit tersenyum. Apa dia sebangga itu memilikiku?
Aku melihat jam di tanganku. hampir pukul 3 pagi?!
“Shinji!” Aku menoleh ke arahnya cepat, “kau harus segera tidur! Ibumu bilang kau tidak boleh bergadang.”
“Apa kita harus mendengarkannya?” Dia menaikan satu alisnya terlihat tak suka aku menyuruhnya untuk segera tidur.
“Tentu saja. Aku tak mau disalahkan kalau kau jatuh sakit lagi.”
“Temani aku.”
“Lagipula— ha?” aku kembali menoleh ke arahnya.
“Temani aku tidur!”
“Apa kau takut tidur sendiri?” Aku pura-pura bodoh.
Dia sedikit menghela nafas, “Aku tidak akan menyerangmu, percayalah.”
Aku percaya. Tentu saja aku percaya. Diserang juga aku tidak apa-apa haha...
Bodoh!! Tubuhku masih kotor, itu tidak bagus.
Dia memberiku sebuah piyama berwarna hitam dan aku segera mengganti bajuku dengan itu. Awalnya aku ingin memberanikan diri berganti baju di kamarnya, dimana dia duduk memperhatikanku. Tapi pada akhirnya aku berganti di kamar mandi karena ternyata aku masih punya rasa malu. Padahal aku tahu dia sudah melihat seluruh tubuhku malam itu tapi tetap saja jika tanpa efek obat apapun, rasanya sulit. Aku jadi berpikir, lalu bagaimana jika aku harus melakukan itu dengannya suatu saat nanti?
Shinji sudah tiduran di atas tempat tidur king-sizenya saat aku keluar kamar mandi. Aku berjalan ke arah tempat tidur dengan gugup. Padahal aku hanya akan menemaninya tidur kan? Hanya tidur dalam satu ranjang! Kami tidak akan melakukan apapun!
Aku naik ke atas tempat tidurnya dan kegugupanku semakin bertambah merasakan kedua matanya terus memperhatikanku. Aku tidur di sampingnya dengan sebuah guling di tengah-tengah kami. Dia membalik tubuhnya menghadapku dan aku meliriknya dengan ekor mataku masih dengan posisi tubuh terlentang.
“Kau tahu? Aku suka melihat wajah tidurmu.”
Aku ikut membalik tubuhku ke arahnya hingga kami berhadapan dan aku tersenyum. “Dan kau tahu? Aku suka kedua matamu.”
Shinji terlihat mengernyitkan dahinya, “aku selalu berpikir ....kau membencinya?”
Aku menggelengkan kepalaku pelan, “cepat tidur tuan! besok kau harus mengantar ibumu ke bandara kan?” Aku mengusap-usap kepalanya dan
dia segera menggenggam pergelangan tanganku, “tetaplah di sampingku sampai aku terbangun.”
Aku mengangguk dan dia mengecup telapak tanganku.
“Oyasumi, Chéri.” gumamnya sebelum akhirnya ia memejamkan kedua matanya.
Aku tidak tahu sematang apa wajahku sekarang. Dia sepertinya tahu cara membuat perasaanku melambung.
Dia.....Shinji.
Teman kecilku.
Kami teman satu kamar ketika di Sumire dulu. Dan aku tidak pernah tahu 14 tahun kemudian, aku akan tidur satu ranjang dengannya seperti ini, dan sebagai... sepasang kekasih.
Aku sudah memutuskannya dan tak akan menyesali keputusanku. Aku tak perduli perkataan dan pandangan orang. Aku hanya ingin orang yang tidur di sampingku ini. Aku hanya ingin dia yang selalu bisa mengejutkanku dengan semua tingkah dan perkataannya, membuatku merasa begitu berarti dan aku tak perduli yang lainnya.
Anak yang cengeng dan manja. Anak yang selalu kujaili dan kubuat menangis. Anak yang lebih pendek dariku. Bagaimana dia bisa tumbuh menjadi orang yang mengesankanku seperti ini? Membuatku terkagum-kagum padanya, membuatku begitu senang hanya karena senyumannya, membuatku ingin memilikinya untuk diriku sendiri.
Seperti yang dia katakan, mungkin dulu aku juga belum mengenal apa itu menyukai seseorang, mungkin aku memang tidak jatuh cinta padanya sejak kanak-kanak seperti bagaimana dia jatuh cinta padaku.
Tapi aku tahu, aku selalu mengagumi iris cantiknya, aku jatuh cinta pada kedua mata indah miliknya itu sejak pertama kali aku melihatnya.
Kedua mata itulah yang membuatku tetap bisa mengenalinya meski telah terpisah selama belasan tahun. Meski sosok dan wujudnya telah berubah, kedua mata itu tetap tak bisa mengelabuiku.
Aku jatuh cinta pada kedua mata itu di pertemuan pertamaku dengannya. Dan di pertemuan kedua kami, kedua mata itu membuatku menemukan orang yang kucintai.
Bibirku melebar dengan sendirinya melihat wajah tidur damainya di sampingku. Nafasnya ringan dan teratur.
Dia licik! Bisa tidur dengan nyenyak seperti itu sementara aku mungkin akan bergadang sampai pagi karena detak jantungku tak karuan begini.
Aku menyentuh pipinya dan mengelusnya lembut tak ingin membuatnya terbangun. Aku mengangkat kepalaku dan mengecup keningnya, “oyasumi, my cute tiger.”
Aku tahu itu berbahaya dengan sengaja masuk ke kandang seekor macan. Tapi kupikir aku sudah mengenal macan ini dengan cukup baik dan mungkin aku tahu bagaimana cara menjinakannya jika ternyata keadaan mulai membahayakanku.
Karena dia macanku...
Macan milikku.
Baiklah~ saia tulis di atas 'THE END' tapi sebenarnya ceritanya masih panjang. Ada beberapa yang belum jelas dan belum selesai di sini, seperti.... alasan Tora tak pernah memberi kabar dan kenapa dia tak ingin mengenal Saga lagi.
Karena itu sampai bertemu lagi di 'Cherry Butterfly' (Tiger Eyes bagian Tora xD) kapan-kapan!
Maaf jika tak memuaskan! mengecewakan!
Terimakasih sudah mau membaca hehe...
Chapter: 6B/6
Genre: AU // Romance // Drama
Rating: R
Fandom: Alicenine
Pairing: Tora / Saga.
Warning: Male x Male!
A/N: Ini malam? Malam kan ya? *ditabokin berjamaah* xD maaf, saia tidak puas dengan hasil sebelumnya, tapi inipun saia rasa masih ada yang kurang entah kenapa saia masih belum benar-benar puas dengan endingnya! Tapi.... manis asam asin pait silahkan dibaca saja xDa *kalo udah baca gosok gigi ya~ eaaaa*
×÷~虎の瞳~÷×
“Otsukaresama deshita!”
“Otsukaresama deshita!”
Nao duduk di sampingku sementara Kai-san asik mengobrol dengan waiter-waiternya. Sejak aku pulang dari Koriyama, Kai-san sama sekali tak pernah menyapaku. Dia mungkin memang tak memberiku izin saat itu tapi aku tetap bersikeras membolos. Dia marah padaku! Tapi biasanya dia akan ngomel-ngomel bukannya mendiamkanku. Aku lebih suka dia memarahiku daripada didiamkan.
“Kenapa kau?” Tanya Nao melihatku menghela nafas berat.
“Kai-san masih tak mengajakku bicara,” gumamku sambil meraih tas gendongku.
“Kalau begitu kau yang ajak dia bicara!”
“Aku pernah melakukannya tapi dia mengabaikanku.” Aku mendengus.
“Haha... dia memang begitu kalau benar-benar marah pada orang. Tapi itu tidak akan lama, percayalah!” Nao menepuk-nepuk punggungku.
“Dia tidak akan memecatku kan?” Aku merasa sedikit khawatir dengan itu. Aku memang kadang bandel tapi aku suka bekerja di tempat ini.
“Itu tidak mungkin. Walau kau sering bolos tapi kau selalu bekerja dengan baik dan Kai-san suka cara kerjamu. Tapi kalau boleh kunasehati, lain kali jangan coba-coba bolos lagi kalau dia tidak memberimu izin.”
Aku mengangguk lemah, “aku tahu. Aku tidak akan melakukannya lagi.”
“Itu bagus,” Nao tersenyum mengacungiku jempol, “akan kukatakan padanya kalau kau menyesal dan tak akan melakukannya lagi. Tapi kau harus pegang janjimu!”
Aku tersenyum menganggukan kepalaku, “thanks.”
“Tak masalah.”
Aku membuka seragam kerjaku dan menggantinya dengan T-shirt dan jaket milikku, begitupun Nao mengganti seragamnya dengan baju miliknya.
“Oh ya, tadi Hiroto datang lagi dengan... siapa? Tora? Temanmu ketika di Sumire.” Ucap Nao tiba-tiba sambil mengancingkan kemejanya.
“He?” Aku menoleh ke arah Nao, “oh,” responku berusaha tidak setertarik mungkin mendengarnya datang lagi kemari.
Jadi dia mengajak Hiroto untuk keluar itu.... kemari? Padahal aku ingin melihatnya! Kalau aku tahu dia mau datang, aku akan mengintip-intip ke konter tadi.
Terdengar bodoh ya? Tapi aku ingin melihatnya tanpa perlu berinteraksi dengannya. Aku ingin melihatnya tanpa dia menyadari keberadaanku.
“Apa dia akan kembali lagi ke Inggris ya?”
Aku kembali menoleh ke arah Nao sedikit terkejut, “apa?”
Nao merapikan baju seragamnya lalu menoleh ke arahku dengan satu alisnya sedikit terangkat, “kalau tidak salah tadi aku mendengar selintas ia bicara dengan Hiroto tentang... kembali ke Inggris, kembali ke Inggris semacam itu.”
“Kau serius?!” tanpa sadar suaraku mendadak meninggi saat bertanya itu pada Nao.
“Aku tidak terlalu yakin. Aku tidak benar-benar menyimak sebelumnya, tapi yang aku dengar besok pagi dia ke bandara.”
Inggris?
Jarak Jepang dan Inggris terlalu jauh.
Itu artinya aku tak akan bisa melihatnya lagi?
Kedua mata itu tak akan ....menatapku lagi?
“Menghilanglah dari kehidupanku seperti sebelumnya!”
Aku refleks melemparkan baju seragam dalam genggamanku bersama tasku ke sembarang tempat.
“Eh, Oi ! Takashi?”
Aku tak menghiraukan panggilan-panggilan Nao dan tatapan bingung Kai-san juga para waiternya saat melihatku keluar Club dengan terburu-buru bahkan hampir berlari. Tubuhku seperti bergerak sendiri tanpa menunggu perintah otakku. Aku tak tahu kemana kakiku membawaku berlari di tengah malam seperti ini.
Kembali ke Inggris?
Bohong kan?
Kenapa tiba-tiba?
Apa-apaan ini?
Bukankah dia menyuruhku untuk pergi dari kehidupannya? Dia tidak bilang dia yang akan pergi dari kehidupanku kan? Lagipula.... AKU BELUM MEMBERINYA JAWABAN!!
Apa dia pikir kebisuanku adalah penolakan? Apa itu maksudnya dengan 'aku mengerti' yang dia katakan waktu itu? Apa dia bodoh? Apa dia setidak sabaran itu?
Brengsek kau Shinji!!! Apa kau tidak pernah belajar tentang bagaimana seseorang shock saat mendapatkan sesuatu yang tak pernah ia duga akan ia dapatkan?
Aku berlari di sepanjang pinggir jalan yang sedikit sepi tapi aku lihat mobil-mobil masih lalu lalang di tengah jalanan sana. Kenapa aku merasa takut? Untuk pertama kalinya aku merasakan perasaan takut seperti ini. Dulu dia juga pergi meninggalkanku, tapi aku tidak setakut ini kehilangannya. Aku merasa lemah.
Perasaanku benar-benar kacau, aku merasa seperti berpijak dan tidak berpijak ke bumi. Pikiranku terlalu dipenuhinya dan ketakutanku akan kehilangan semua bayangan itu. Apa sebenarnya yang telah dia lakukan sampai membuatku setakut ini? Bukankah dia hanya selalu mengatakan dan melakukan sesuatu semaunya?
Aku tak mengerti dirinya, tapi aku lebih tak mengerti diriku sendiri yang berlari di tengah malam begini seperti orang gila hanya demi orang sok itu! Hanya demi agar aku tetap bisa melihat orang arogan itu saat aku menginginkannya.
Aku menyadarinya sekarang.
Aku mungkin tidak yakin kami bisa jadi sepasang kekasih, tapi aku yakin akan ketakutanku kehilangannya. Aku tidak ingin kehilangannya lagi untuk kedua kalinya. Aku ingin selalu bersamanya dan jika untuk itu aku harus menjadi kekasihnya, budaknya, atau apapun itu aku akan menyanggupinya. Selama itu agar aku tetap bisa melihat pantulan diriku di kedua mata indahnya, apapun akan kulakukan.
Setelah kau menolongku dan merawat lukaku, setelah kau memperlihatkan sisi lembutmu, setelah kau memberiku kecupan itu dan mengatakan agar aku jadi milikmu, setelah aku tahu kau memendam perasaanmu begitu lama untukku, bagaimana bisa aku melepaskanmu Shinji !!!
Aku baru menyadari dinginnya lantai malam seperti menusuk telapak kakiku yang terasa panas saat aku menekan bel pintu apartmentnya. Aku membungkukan tubuhku dengan satu tangan bertumpu di dengkul kakiku sedangkan yang lainnya menyeka keringat yang terasa dingin di kening dan wajahku karena tersapa angin malam. Aku mengatur nafas berusaha mendapatkan oksigen yang cukup untuk paru-paruku setelah berlari-lari.
Dan beberapa saat kemudian aku melihat pintu di hadapanku terbuka. Aku kembali menegakan tubuhku masih dengan nafas yang sedikit terengah dan aku melihat wajah yang selalu ingin kulihat itu bingung sekaligus terkejut melihatku berdiri di depan pintu apartmentnya.
Syukurlah, aku masih bisa melihatnya.
“Takashi?”
Aku menarik nafasku dalam-dalam. “Apa kau bodoh?! Aku belum mengatakan apapun! Kenapa kau seenaknya menyimpulkan!! Bukankah kau menyuruhku untuk memilih, lalu kenapa kau seenaknya memilih sendiri?”
Aku merasakan dadaku kembali turun naik, mencoba kembali mendapatkan oksigen yang cukup untuk paru-paruku. Aku mengucapkannya hampir tanpa jeda.
“Siapa itu Tora?” Aku mendengar suara wanita bertanya dari dalam sana.
Tunggu! Apa itu ibunya?
Dia ada di sini?
“Ah, teman....Temanku!” Jawab Shinji tanpa mengalihkan tatapannya dariku dan dia melihat ke kedua kakiku. Oh, itu memalukan sekali. Aku hendak mengganti sepatu kerja dengan sneakerku tadi tapi Nao terlanjur mengatakannya. Aku sendiri tak sadar berlari-lari keluar dari Club tanpa alas kaki begini. Aku baru sadar ketika kakiku menginjak kerikil dan itu cukup terasa sakit tapi aku seakan tak menghiraukannya.
“Ada apa malam-malam begini?”
Dan saat itulah kedua matanya melepaskanku. Aku melihat dia berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari yang kuyakini adalah ibunya itu. “Dia bertengkar dengan orang tuanya dan melarikan diri kemari,” serunya.
“Apa?” Aku mengernyitkan dahiku.
Dia berbohong lagi tentangku pada ibunya?!
“Kalau begitu suruh dia masuk Tora! Ini sudah sangat larut malam.”
Shinji menarik pergelangan tanganku membawaku masuk ke dalam apartmentnya. Aku sedikit terpincang saat berjalan. Aku baru merasakan rasa sakit di telapak kakiku yang mungkin karena menginjak kerikil tadi.
“Oh. Sakamoto-kun? Benar?” Tanya nyonya Amano saat melihatku. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya.
Sepertinya aku sudah mengganggu waktu tidurnya. Tentu! Memangnya jam berapa ini? Tapi aku sama sekali tidak terpikirkan ibu Shinji akan ada di apartmentnya.
“Kaasan, Saga akan menginap di sini.”
He?! Kapan aku bilang aku mau menginap di sini?
“Kami harus bicara dan aku perlu menasehatinya. Tapi—”
“Dia tidak akan merasa bebas jika aku ada di sini. Aku mengerti.”
Aku menoleh ke arah Shinji yang terlihat sedikit tersenyum mendengar kata-kata ibunya. “Aku akan mengantarmu.”
“Antarkan saja kaasan sampai depan. Kau tidak boleh meninggalkan temanmu lama-lama di sini seorang diri.”
Shinji masuk ke kamarnya dengan terburu-buru dan keluar dengan mantel di tangannya. Dia membantu nyonya Amano memakai mantelnya dengan begitu hati-hati. Dia akan pulang dengan baju tidur dan hanya dengan mantel seperti itu?
Meski usianya sudah 44, tapi dia sungguh tidak terlihat seperti orang dengan usia setua itu. Apalagi melihatnya memakai dress tidur tipis yang memperlihatkan lekuk tubuh dan dengan rambutnya yang hitam terurai seperti itu. Dia masih sangat cantik!
Mungkin karena dia banyak melakukan operasi , kan?
“Ma-maaf!” Aku membungkukan tubuhku merasa seakan secara tidak langsung aku mengusirnya dengan datang kemari. Tapi aku tidak berniat dan bilang akan menginap di sini kan?
“Tak apa. Aku mengerti kalian anak muda butuh saat dan ruang tanpa pengawasan orang tua sewaktu-waktu. Anggaplah rumah sendiri, dan terimakasih sudah mempercayai Tora sebagai teman baikmu.”
“I-iya,” aku sedikit menunduk. Aku jadi merasa ikut membohonginya. Tapi aku juga tak mungkin mengatakan kalau aku sebenarnya menyukai anaknya!!!
“Dan pastikan kalian tidur setelah urusan kalian selesai. Tora baru sembuh dari sakit, bergadang bisa buruk untuk kesehatannya dan kesehatanmu juga.”
Shinji sakit?
Aku menoleh ke arahnya. Mungkin ibunya juga menginap di sini untuk merawatnya.
Ah, aku sedikit iri, dia sangat diperhatikan.
Tapi dia baru keluar bersama Hiroto tadi?
“Tunggu di sini,” ucapnya sebelum keluar untuk mengantar ibunya. Itu seperti dia seakan memastikan agar aku jangan kabur.
Aku melihat setiap sudut ruangan apartmentnya dengan sedikit gugup. Apartment yang dua bahkan mungkin tiga kali lipat milikku dengan satu kamar tidur dan kamar mandi yang besar. Ini kedua kalinya aku datang kemari.
Aku melihat jam di tanganku.
Pukul 00:34 a.m
Berarti sekitar kurang lebih 20 menit waktu yang kubutuhkan untuk bisa sampai di depan pintu apartmentnya. Memang tidak terlalu jauh dari club tempatku bekerja, bahkan mungkin bisa ditempuh hanya dalam waktu kurang dari 5 menit jika menggunakan kendaraan. Tapi ditempuh dengan hanya menggunakan kedua kaki yang berlari, itu cukup melelahkan.
Bodoh sekali. Padahal aku bisa menumpang di skuter Nao kan?
Apa-apaan aku ini?
Bahkan aku sampai lupa memakai sneakerku!
Aku seperti orang yang sudah tak bisa berpikir jernih lagi ketika mendengarnya akan kembali ke Inggris. Ketakutanku terlalu cepat menguasaiku. Ternyata aku bisa sampai bertindak sekonyol ini saking takutnya kehilangan seseorang.
Aku menghela nafas. Saat dia kembali nanti, aku akan mengatakan perasaanku. Aku akan mengatakan keinginanku! Lalu apa yang akan dia pikirkan setelah mendengar itu?
Cklek.
Aku sedikit terhenyak hanya karena mendengar suara pintu yang terbuka. Dia sudah kembali? Apa hanya perasaanku saja kalau dia cepat sekali kembali?
“Kau masih berdiri di situ?” tanyanya sambil kembali menutup pintu.
“Aku... aku tidak biasa duduk tanpa pemilik rumah mempersilahkanku duduk,” omong kosong~ aku hanya gugup. “Ibumu sudah pulang?”
“Aku mengantarnya sampai dia naik taksi.”
“Apa tidak apa-apa menyuruh ibumu pulang di jam segini?” Aku masih merasa sedikit bersalah.
“Aku tidak perduli.”
He?
Aku melihatnya berjalan ke dapur dan beberapa saat kemudian ia kembali ke ruangan dimana aku masih berdiri di posisi yang sama saat ia meninggalkanku tadi, dengan sebaskom kecil air... hangat? dan handuk kecil di tangannya.
“Kemari!” suruhnya.
Aku hanya mengernyitkan dahi tak mengerti dengan apa yang hendak ia lakukan. “Apa aku harus menyeretmu?”
“Apa?”
“Kemarilah, dan duduk!”
Meski aku belum bisa menebak dengan apa yang hendak ia lakukan dengan sebaskom air hangat itu, aku berjalan menghampirinya dan dia menyuruhku untuk duduk di sofa.
“Tu-tunggu! Shinji, apa yang kau lakukan?!” Aku refleks menaikan kedua kakiku ke atas sofa, berjongkok. Saat Shinji tiba-tiba berjongkok di lantai dan memasukan satu kakiku ke dalam baskom kecil berisi air hangat yang tadi ia bawa.
“Mencuci sekaligus menghangatkan kakimu.”
Apa?!
“Untuk apa? Aku, aku tidak perlu!”
Namun dia tak mendengarkanku dan malah menarik kaki kiriku yang masih kurasakan sakit di telapaknya karena kerikil tadi. “Shinji—” aku berusaha kembali menarik kakiku namun dia tak membiarkannya. Dia melihat telapak kakiku yang ternyata aku sendiri baru melihat ada setitik darah mengering di sana. Sepertinya kerikil yang kuinjak menyobek kecil kulit telapak kakiku. Pantas saja sakitnya membekas begitu lama.
“Kau lihat? Kakimu bisa infeksi kalau tidak segera dibersihkan dengan air hangat,” ucapnya sambil meletakan kakiku ke dalam baskom berisi air hangat.
“Aku bisa melakukannya sendi—” Aku menahan kata terakhirku di tenggorokan saat melihatnya mengangkat wajahnya dan menatapku seakan memperingatkan agar aku diam. Dan dia berhasil.
Aku menyerah dan membiarkannya melakukan apa yang diinginkannya. Aku hanya memperhatikannya yang terlihat sibuk mencuci kedua kakiku dan melapnya dengan handuk kecil setelah ia selesai. Dia beranjak dari hadapanku dan kembali dengan sebuah plester ditangannya.
Kenapa dia begini?
Sebenarnya apa yang dia pikirkan sampai mau-maunya dia mencucikan kakiku?
Kenapa dia begitu perhatian? Kenapa dia begitu lembut?
Dia tidak tahu, hal kecil seperti ini... membuatku semakin tak ingin kehilangannya.
Dia kembali berjongkok sambil membuka plester di tangannya, “Sebenarnya apa yang—”
“Shinji,” aku memanggilnya dan dia mengangkat wajahnya menatapku. Kedua bola matanya yang begitu bening dan jernih, saat malam hari terlihat begitu hitam dan cantik. Aku bisa melihat kedua matanya sedikit membulat saat tanganku meraih wajahnya dan tanpa sadar aku merendahkan kepalaku dan mengecup sebelah matanya yang langsung menutup saat permukaan bibirku menyentuhnya. “Kumohon tatap aku,” aku lihat kedua matanya kembali terbuka, “tatap aku lebih lama lagi dengan mata itu.”
Aku suka melihat bayanganku terpantul di kedua matanya. Aku suka saat dia menatapku dengan kedua mata tajam itu. Aku ingin kedua mata itu selalu melihatku, hanya aku.
“Jangan pergi Shinji. Kumohon jangan pergi lagi dari kehidupanku!” Aku menenggelamkan wajahku diantara kedua lututku, “jangan pinta aku untuk jadi orang asing. Aku tidak bisa berpura-pura tak mengenalmu sementara memoriku menyimpan banyak kenangan tentangmu. Aku tidak ingin pergi dari kehidupanmu! Aku ingin selalu bisa melihatmu. Aku ingin kau ada saat aku ingin melihatmu. Karena itu jangan pergi! Tetaplah di sini!” Aku masih menyembunyikan wajahku diantara kedua lututku tak berani melihat langsung ke kedua matanya. Tapi aku merasakan sedikit kelegaan di dadaku karena berhasil menyuarakan isi hatiku dalam bentuk suara dan kata-kata yang bisa ia dengar langsung. Meski ketakutanku akan kehilangannya masih terasa begitu kuat karena aku tidak cukup percaya diri kata-kataku akan sampai ke hatinya, membuatnya merubah keputusannya.
“Aku di sini.”
Aku mengangkat wajahku dan melihatnya sudah berdiri dari jongkoknya di lantai.
“Aku tidak akan kemana-mana.”
“Sungguh?!”
Apa itu artinya dia membatalkan rencananya? Aku berhasil membuatnya merubah keputusannya? Perasaanku sampai padanya?
“Kau tidak akan kembali ke Inggris?”
Aku melihat Shinji menaikan satu alisnya terlihat bingung dengan pertanyaanku. “Tidak. Siapa yang bilang aku akan kembali ke Inggris?”
Tunggu.....
APA?!
“Nao bilang kau bicara pada Hiroto kalau—”
“Oh. Saat di Club? Aku hanya mengatakan kalau besok aku akan mengantar ibuku ke bandara untuk kembali ke Inggris.”
Oh, oooh!!! Dan aku benar-benar merasa BODOH!!! Sudah berlari-lari tengah malam seperti orang stress hanya karena dia akan mengantar ibunya ke bandara?
Apa aku harus mentertawakan diriku sendiri sekarang?!
“Be-begitu? Haha... Berarti Nao salah dengar,” aku tertawa hambar. Bodoh! Bodoh! Bodooooohh!!! Apa yang telah kulakukan? “ baguslah kalau kau akan tetap di sini. Kalau begitu aku pulang.” Aku berdiri dari sofa tanpa berani melihat ke arahnya, hendak beranjak keluar namun tangannya mendorong tubuhku kembali terduduk di atas sofa. Dia membungkukan tubuhnya membuat wajahnya agak sejajar denganku dengan kedua tangannya bertumpu pada sandaran sofa di samping kanan dan kiri kepalaku.
“Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja setelah apa yang kau lakukan?”
Aku menggulir bola mataku menghindari tatapannya.
“Aku hanya memberimu dua pilihan. Jika kau tak ingin pergi dari kehidupanku, kau tahu apa artinya itu?”
Aku menelan ludahku paksa, sedikit mengangguk lemah. “Aku milikmu,” ucapku pelah hampir bergumam pada diriku sendiri.
“Dan apa kau tahu apa artinya dengan menjadi milikku?”
Aku kembali menggulir bola mataku ke arahnya, memberanikan diri untuk bertatapan dengannya.
“Itu artinya kau milikku! Hanya milikku!”
Aku memejamkan kedua mata merasakan darah dalam tubuhku berdesir dengan cepatnya hanya karena dia berbisik di telingaku dan permukaan kulit bibirnya sedikit menyentuh cuping telingaku. Dan kata-kata yang ia bisikan...
“Tidak akan kubiarkan siapapun menyentuhmu.”
Aku merasakan permukaan jari-jari tangannya menyentuh leher sampingku.
“Dan jangan pernah berpikir untuk melepaskan diri dariku,” dia mengecup bahuku, “karena aku tidak akan pernah melakukannya,” aku sedikit menggigit bibir bawahku merasakan bibirnya mengecup leher sampingku. Kuharap dia tidak mendengar detak jantungku yang seakan tengah berontak di dalam sana. “apapun yang terjadi.” Dia kembali menarik kepalanya untuk kembali berhadapan dengan wajahku, “pikirkan itu baik-baik Takashi. Aku masih memberimu kesempatan untuk melarikan diri sekarang. Karena kau tidak akan bisa melakukannya setelah kau memutuskan untuk menjadi milikku.”
Kedua mata itu menatapku tajam penuh dengan keseriusan. Dia sungguh-sungguh dengan kata-katanya.
Dan dia seakan bertanya, apa aku yakin dengan keputusanku?
Aku sudah menghabiskan waktuku berhari-hari untuk itu dan dia masih bertanya apa aku yakin dengan keputusanku?
Aku sedikit menekuk leherku, menunduk. “Aku sudah merasa cukup dengan waktuku berpikir. Aku sudah memutuskannya.” Dan aku kembali mengangkat wajahku hanya untuk menemukan kedua matanya dalam pandangan, “jika itu semua arti dari menjadi milikmu, aku mengerti. Dan aku siap.”
Aku melihat kedua matanya sedikit melebar dan itu mengejutkanku. Dia menundukan kepalanya sejenak dan aku mendengar sebuah helaan nafas sebelum dia kembali menegakan tubuhnya dan beranjak dari hadapanku.
“Shinji?”
“Tidak, tidak! Kau pasti sedang bercanda. Kau ingin menjailiku.”
Aku mengernyitkan dahiku melihatnya mondar-mondar mandir dengan satu tangannya menyisir rambut depannya ke belakang dan yang lainnya berkacak pinggang. Tampak seperti seorang suami yang gelisah menunggu istrinya melahirkan?
Kenapa dia?
“Aku serius.”
“Tidak, Kau bohong!” Dia menunjukku.
Apa?
“Shinji—” aku menahan kalimatku di tenggorokan saat melihatnya mendudukan dirinya di kursi sambil menatap tangannya sendiri yang kulihat sedikit.... gemetar?
Apa? Kenapa dia seperti itu?
“Katakan aku sedang bermimpi!” Aku mendengar dia bergumam pelan sambil menutupi kedua matanya dengan satu tangan, menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa.
Tunggu?!
Dia seperti sulit mempercayainya.
Apa dia pikir aku menjadi miliknya adalah suatu hal yang tidak mungkin?
Sebesar itukah dia menginginkanku?
Entah kenapa pikiran-pikiranku sendiri tentangnya membuatku tersenyum. Dan melihatnya bertingkah seperti itu adalah hal yang sangat menggemaskan membuatku .... ingin memeluknya.
Aku ingin memeluknya...
Aku beranjak dari sofa dan menghampirinya, berjongkok di hadapannya yang masih terduduk bersandar ke sandaran sofa dengan satu tangan itu menutupi kedua matanya, sedikit menengadah ke langit-langit. “Apa sesulit itu menerima kenyataan kalau aku milikmu?” Aku tersenyum kecil. Ada sedikit keisengan dalam kalimatku.
“Aku hanya tak pernah terpikirkan hari itu akan benar-benar datang,” dia melepaskan telapak tangannya dari kedua matanya namun ia tidak melihat ke arahku, “hari dimana kau menjadi milikku.”
Aku menyentuh satu tangannya yang tergeletak bebas di atas sofa. “Tapi aku milikmu sekarang, Shinji.” Aku memainkan jari-jari tangannya. Aku baru menyadarinya, dia punya jari-jari tangan yang cantik, panjang dan ramping. Saat aku berhenti bermain-main dengan jarinya, aku kembali menarik pandanganku dan menemukan dia sudah menatapku dengan tatapan lembut.
“Kemari!” dia menepuk-nepuk permukaan sofa kosong di sampingnya, “duduklah di sampingku!”
Aku sedikit mengernyitkan dahi namun tanpa berpikir panjang lagi aku bangun dari jongkokku dan duduk di sampingnya.
“Kakimu!”
“Ha?” Aku mengernyitkan dahiku tak mengerti sampai dia menarik satu kakiku yang menginjak kerikil tadi, membuatku terpaksa duduk menghadapnya dengan satu kaki menginjak lantai dan yang lainnya kutekuk di atas sofa membiarkan dia memeriksa telapak kakiku. Tangannya meraih plester yang sempat terabaikan tadi di atas sofa bekasku duduk dan menempelkannya di telapak kakiku.
“Kau datang ke tempatku tengah malam begini... dan tanpa alas kaki,” dia mengalihkan tatapannya dari kakiku untuk menatapku, “karena kau pikir aku akan kembali ke Inggris?”
Teringat itu aku jadi ingin membenturkan kepalaku ke tembok.
“Lucu ya?” aku tersenyum hambar membuang mukaku, “kau boleh mentertawakanku.”
Aku bahkan ingin mentertawakan diriku sendiri. Tapi itu karena aku begitu takut. Aku takut tak bisa melihatnya lagi. Dan aku bersyukur dia tidak benar-benar pergi.
“Aku tidak ingin mentertawakanmu,” tangannya menyentuh lututku, yang kemudian dagunya ikut bertumpu di sana, “aku ingin menciummu.”
Seperti ada sengatan listrik yang menyerang dadaku saat dia mengatakan itu dengan kedua matanya menatap lurus ke mataku. Aku refleks menundukan wajahku menghindari tatapannya yang tak lama kemudian kurasakan sebuah kecupan mendarat di keningku. Aku memejamkan kedua mataku saat telapak tangannya menyentuh pipi kiriku dan dia mengecup pipi kananku, “milikku,”bisiknya dan kemudian bibir kami bertemu.
Aku merasakan seperti ada perasaan hangat menjalari dadaku saat bibir lembutnya menekan permukaan bibirku. Dia mengecupku dengan begitu lembut dan hati-hati, seakan bibirku adalah benda rapuh yang akan hancur jika dia memperlakukannya sedikit kasar. Dan aku sedikit kecewa saat dia menarik bibirnya dari milikku. Maksudku... hanya seperti itu saja? Dia seakan tak punya keberanian untuk melakukannya lebih.
“Aku masih tak percaya ini,” gumamnya pelan sambil menundukan kepalanya sementara satu tangannya masih menyentuh pipiku.
Sesulit itukah mempercayai bahwa aku miliknya sekarang?
Aku menyentuh pergelangan tangannya yang masih setia menyentuh pipiku,“apa yang harus kulakukan agar kau percaya?”
Aku lihat dia mengangkat wajahnya, menatap mataku beberapa saat. “Kau harus ada di sampingku saat aku terbangun besok pagi, dengan begitu aku percaya ini bukan mimpi,” ucapnya sambil membuang muka. oh! Entah bagaimana tapi aku merasa dia begitu menggemaskan bertingkah seperti itu. Aku ingin menggigitnya!!
“Aku tidak mau tidur dengan orang yang suka ngompol,” ucapku iseng dan aku mendengarnya mendengus pelan.
“Kau mengatakan itu juga di depan anak-anak. Apa kau sadar sudah menghancurkan kebanggaanku sebagai seorang laki-laki?”
“Oh ya?” Aku bersila di atas sofa, “maaf saja tapi aku tidak menyesal sudah melakukannya.” Aku tersenyum menggodanya.
“Kau benar-benar membuatku kesal. Saat itu aku ingin sekali membekap mulutmu itu—”
“Kalau begitu kenapa tidak kau lakukan?”
“dengan bibirku.”
O-oh~
Syukurlah dia tidak melakukannya. Itu berbahaya jika dilihat semua anak-anak dan juga Naomi-san kan?
“Shinji,” aku menyingkirkan poni-poni rambut yang sedikit menutupi mata indahnya, “sejak kapan kau menyukaiku?” aku ingin tahu itu langsung dari mulutnya.
“Sejak aku sendiri belum mengenal apa itu menyukai seseorang.”
He? Berarti memang dia menyukaiku sejak kecil?
Aku sama sekali tidak pernah menyadarinya. Mungkin karena... saat itu aku juga belum tahu apa itu menyukai seseorang.
“Kenapa kau menyukaiku?” Aku juga penasaran dengan itu. Padahal aku hanya selalu menjaili dan membuatnya menangis. Aku tidak mengerti...
“Aku tidak tahu.”
Eh?
“Tapi kau membuatku selalu ingin melihatmu, ingin menyentuhmu, ingin memelukmu, aku ingin memilikimu untuk diriku sendiri. Aku tidak suka saat kau menjaili anak lain.”
Eeeeehh?!
“Dan waktu itu aku tidak tahu aku harus menyebut apa untuk perasaanku itu.”
“Tapi kau selalu menangis saat aku menjailimu. Kupikir kau membenciku...”
“Apa aku pernah mengatakan aku membencimu?”
Tidak.
Oh, ya... Dia memang tidak pernah mengatakannya. Tapi aku selalu menganggap dia pasti membenciku dan memang seharusnya begitu kan?
“Aku justru berpikir kau membenciku karena aku anak yang cengeng dan tidak berguna. Kadang aku benci diriku sendiri.”
Aku memang sering dibuat jengkel karena kecengengan dan kemanjaannya tapi kadang bisa membuatnya menangis itu menyenangkan. Aku merasa senang jika berhasil membuatnya ketakutan saat kutakut-takuti dengan kecoak, aku senang jika berhasil membuatnya menangis dan Naomi-san akan memarahiku karena itu. Aku tidak pernah membencinya...
“Kau tahu sekarang,” aku mengelus pipinya dan mengecup bibir tipisnya, “aku tidak pernah membencimu.” Aku mengucapkannya saat bibir kami bahkan masih saling bersentuhan. Aku lihat dia terdiam terpaku seakan apa yang kulakukan padanya adalah hal yang sangat mengejutkannya.
“Dan jika kau menyukaiku sejak dulu.... kenapa kau tidak pernah memberiku dan Naomi-san kabar? Kenapa kau bersikap dingin padaku saat aku pertama kali bertatap muka lagi denganmu? Kenapa kau mengatakan tidak ingin mengenalku lagi?” Aku menatapnya serius. Dan untuk pertama kalinya dia yang menghindar dari tatapanku, padahal biasanya selalu aku yang kalah.
“Banyak hal yang kutakutkan.” Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa dan sedikit menekuk lehernya, “aku takut kau benci padaku, aku takut kau takut padaku jika kau tahu perasaanku. Aku takut aku akan menyakitimu, ” dia seperti bergumam pada dirinya sendiri saat mengatakan kalimat terakhirnya dan aku melihat satu tangannya mengepal di atas permukaan sofa. “Aku sungguh-sungguh dengan kata-kataku bahwa aku tidak berharap untuk bertemu lagi denganmu dalam kehidupanku ,” dia menoleh ke arahku, “aku takut—” dia menatapku lekat sampai akhirnya kembali membuang muka dan menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa, sedikit menengadah sambil menutupi sebelah wajahnya.
Aku sedikit penasaran. Dia hendak mengatakan sesuatu setelah kalimatnya yang belum selesai. Meski selintas, aku seperti melihat ada ketakutan dan kesedihan dalam tatapan kedua mata tajamnya baru saja. Tapi juga ada keraguan di sana yang membuat kalimatnya tak selesai.
“Shinji?”
“Lebih baik kau menghilang dari kehidupanku seperti sebelumnya. Karena aku tak bisa melihatmu berkeliaran disekitarku tanpa aku bisa memilikimu. Itu menyiksaku...”
Aku sedikit menunduk dan menggigit bibir bawahku.
Setersiksa itukah dia menyukaiku? Dan dia menyembunyikan itu dibalik sikap dingin dan kearoganannya. Tapi dia seakan selalu hilang kendali diri dan sifat aslinya muncul. Itu yang selalu membingungkanku.
“Kenapa kau berpikir aku akan takut dan membencimu? Kenapa kau berpikir tidak akan bisa memilikiku? Kau orang yang keren tapi kau pesimis,” aku sedikit meremat kain lengan piyamanya.
“Aku sangat tidak percaya diri jika itu tentangmu.”
“Tapi kenapa?”
Aku sedikit terhenyak saat dengan tiba-tiba dia menggenggam pergelangan tanganku membuat rematan tanganku di kain piyamanya terpaksa kulepas. Dia menggenggam pergelangan tanganku begitu kuat sementara dia menenggelamkan wajahnya diantara leher dan pundakku. “Karena aku terlalu mencintaimu. Itu membuatmu begitu tinggi , itu membuatmu menjadi hal yang sulit untuk kujangkau. Menjadi sesuatu terindah dan terbesar jika aku bisa mendapatkanmu.”
Tanpa sadar aku melingkarkan kedua tanganku di atas bahunya, aku ikut menenggelamkan wajahku diantara leher dan pundaknya dan aku merasakan kedua tangannya pun balas memelukku, begitu erat. “Aku takut menyakitimu, tapi keinginanku untuk memilikimu lebih besar. Aku orang yang egois...”
Aku tersenyum kecil, “aku tahu.”
“Aku sudah memberimu kesempatan untuk lari dariku sejak awal, tapi kau terus saja datang padaku. Keras kepala!”
“Maaf,” masih ada senyuman kecil di bibirku. “Tapi lagi-lagi aku tak menyesal dengan apa yang kulakukan.” sekarang aku justru bersyukur atas kekeras kepalaanku.
“Aku mungkin akan menyakitimu, tapi aku sudah memperingatkanmu sejak awal...” senyuman kecilku melebar merasakan ujung hidungnya menyentuh kulit leherku, sedikit menggelitik, “apapun yang terjadi aku tidak akan pernah melepaskanmu.”
“Aku mengerti.”
Karena dia yang mengatakannya. Karena orang yang kucintai dan begitu mencintaiku yang mengatakan tak kan melepaskanku, bagaimana aku tidak senang?
Tanpa dia mengatakan seperti itupun aku tak ingin lepas darinya.
“Ohok!”
Aku melepaskan pelukanku saat mendengarnya terbatuk, dan diapun melakukan hal yang sama. Aku baru teringat peringatan nyonya Amano. Anaknya baru sembuh dari sakit dan dia memperingatkan untuk memastikan agar Shinji tidak bergadang.
“Kau tak masuk kuliah selama 2 hari karena sakit?”
“Hanya masuk angin biasa. Tapi ibuku melarangku masuk kuliah, padahal itu bukan masalah untukku.” Dia sedikit mendengus.
“Itu artinya dia mengkhawatirkanmu. Seharusnya kau senang ada keluarga yang menghawatirkan dan menjagamu. Aku? Tidak ada.” Aku menggulir bola mataku tersenyum hambar .
“Aku.”
“He?” aku kembali menarik bola mataku ke arahnya.
“Aku akan selalu menjaga dan melindungimu.”
Aku tidak melihat ada sedikitpun keraguan di matanya ketika dia mengatakan kata-kata yang seperti hawa panas yang berhasil melelehkan es yang dimana es itu sendiri adalah hatiku. Dia sungguh-sungguh dengan kata-katanya...
“Thanks. Apa yang harus kulakukan untuk membalas itu?” Aku berusaha tetap tenang meski sebenarnya dia membuatku merasa seperti terbang.
“Cukup berada di sampingku selamanya.” Dia kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa dengan kedua mata yang tak lepas dariku.
“Oh? Hanya itu? Tentu.” Aku sedikit iseng.
Dia tersenyum. Oh, baiklah ini bukan pertama kalinya aku melihat senyuman manis itu tapi ini pertama kalinya senyuman itu tertuju untukku setelah aku bertemu kembali dengannya. Aku terlalu senang melihatnya tersenyum sampai tanpa sadar tubuhku bergerak dan duduk di lahunannya dengan posisi menghadapnya, kutarik kerah piyamanya dan kulumat bibir tipis itu. Awalnya Shinji terlihat terkejut tak merespon, namun aku terus menggodanya dengan menggigit-gigit kecil bibir bawahnya, dan tak lama kemudian kurasakan lidahnya menyusup masuk ke dalam mulutku dan aku seperti hampir tersedak dengan tindakannya yang tiba-tiba. Aku memberinya keberanian untuk melakukan lebih. Aku yang menantangnya, karena itu mau tak mau aku harus siap dengan akibatnya.
Lidah kami bertaut dan bergelut di dalam sana. Namun aku kalah lincah darinya, padahal kupikir aku seorang master untuk hal berciuman. Lidahnya menjajah mulutku selama beberapa lama sementara kurasakan tangannya masuk ke dalam t-shirt-ku, mengelus lembut punggungku dan kontak telapak tangannya dengan kulit punggungku membuatku sedikit merinding. Aku menarik wajahku dan sedikit mendorong dadanya melepaskan tautan bibir kami saat kupikir aku perlu sedikit oksigen untuk kuhirup, namun dia kembali melahap bibirku, menjilat dan menghisapnya kuat. Lidahnya kembali bermain-main di mulutku dengan tangannya masih bergentayangan meraba punggung dan dadaku. Aku mendesah pelan ditengah-tengah ciumannya, merasakan ibu jari tangannya bermain-main dengan nipple-ku.
Oh, tidak! Ini berbahaya!
Shinji melepaskan ciumannya dan menurunkan wajahnya ke leherku, menghisap adam-apple-ku. Tangannya menyingkap kain jaket yang menutupi bahuku dan dia mengecup-ngecup kecil bagian itu.
“Aku menginginkanmu,” bisiknya sambil menjilat leher sampingku. Sontak aku mendorong tubuhnya sampai punggungnya berbentur dengan sandaran sofa.
“Aa... aku—” aku lihat dia menatapku bingung.
“Kau tak ingin melakukannya?”
“Tidak, hanya saja...”
“Kau takut hamil?”
“Bukan begitu!” Aku menepuk pipinya pelan. “Hanya saja... kupikir itu terlalu cepat.”
aku membuang muka.
Bohong! Aku hanya tidak percaya diri! Aku berlari-lari untuk sampai di sini tadi dan itu membuat tubuhku mengeluarkan cukup banyak keringat. Aku tidak ingin first-timeku dengannya dengan keadaan tubuhku kotor begini.
Aku sedikit meliriknya. Memeriksa ekspresi wajahnya. Apa dia akan marah? kecewa?
“Aku tidak mendengarnya.”
“Eh, apa?!”
Dia kembali menarik tubuhku dan aku sedikit cengir saat merasakan hisapan kuat diantara leher dan bahuku.
“Shin—” aku berusaha mendorong dadanya namun kurasakan hisapannya malah semakin kuat.
Apa dia marah aku menolaknya?
Aku bisa merasakan lembab lidah dan mulutnya di kulitku yang terasa hangat. Aku menyerah membuatnya agar melepaskanku dan menunggu sampai dia puas dengan apa yang dia lakukan. Aku menundukan wajahku sambil merapatkan kedua mata dan menggigit bibir bawahku menahan sensasi yang diakibatkan hisapannya. Pasti itu akan meninggalkan bekas yang perlu waktu lama untuk hilang.
“Aku akan menunggu,” aku mendengarnya berbisik.
Sontak aku membuka kedua mataku dan menatapnya.
“Sekalipun itu artinya selamanya.”
Apa?!
“Tidak, tidak! Aku hanya perlu sedikit waktu.”
Untuk membersihkan diriku!!
“Kapanpun untukmu.”
Apa aku tarik kembali saja penolakanku?
Melihatnya begitu sabar dan penurut, aku jadi tak tega.
Tapi aku lebih tak tega jika dia pingsan karena harus mencumbu orang yang bau keringat. Baiklah mungkin itu terlalu berlebihan. Aku hanya tak mau kesan pertamaku jelek di matanya!
“Setidaknya aku sudah mengklaimmu sebagai milikku,” dia menyentuh permukaan kulit dimana dia menghisapku tadi, “ini adalah tanda kepemilikanku atas dirimu. Akan terus kuperiksa. Jika hilang, akan kubuatkan lagi yang baru.”
Dia mengatakannya dengan ekspresi wajah serius, itu artinya dia tak main-main untuk terus membuat tanda merah itu selalu ada di leherku.
Aku menyentuh kulit dimana kupikir tanda itu membekas dan turun dari lahunannya tanpa mengatakan apapun. Aku duduk di sampingnya dengan menekuk kedua lututku masih mengusap-usap leherku sedikit tersenyum. Apa dia sebangga itu memilikiku?
Aku melihat jam di tanganku. hampir pukul 3 pagi?!
“Shinji!” Aku menoleh ke arahnya cepat, “kau harus segera tidur! Ibumu bilang kau tidak boleh bergadang.”
“Apa kita harus mendengarkannya?” Dia menaikan satu alisnya terlihat tak suka aku menyuruhnya untuk segera tidur.
“Tentu saja. Aku tak mau disalahkan kalau kau jatuh sakit lagi.”
“Temani aku.”
“Lagipula— ha?” aku kembali menoleh ke arahnya.
“Temani aku tidur!”
“Apa kau takut tidur sendiri?” Aku pura-pura bodoh.
Dia sedikit menghela nafas, “Aku tidak akan menyerangmu, percayalah.”
Aku percaya. Tentu saja aku percaya. Diserang juga aku tidak apa-apa haha...
Bodoh!! Tubuhku masih kotor, itu tidak bagus.
Dia memberiku sebuah piyama berwarna hitam dan aku segera mengganti bajuku dengan itu. Awalnya aku ingin memberanikan diri berganti baju di kamarnya, dimana dia duduk memperhatikanku. Tapi pada akhirnya aku berganti di kamar mandi karena ternyata aku masih punya rasa malu. Padahal aku tahu dia sudah melihat seluruh tubuhku malam itu tapi tetap saja jika tanpa efek obat apapun, rasanya sulit. Aku jadi berpikir, lalu bagaimana jika aku harus melakukan itu dengannya suatu saat nanti?
Shinji sudah tiduran di atas tempat tidur king-sizenya saat aku keluar kamar mandi. Aku berjalan ke arah tempat tidur dengan gugup. Padahal aku hanya akan menemaninya tidur kan? Hanya tidur dalam satu ranjang! Kami tidak akan melakukan apapun!
Aku naik ke atas tempat tidurnya dan kegugupanku semakin bertambah merasakan kedua matanya terus memperhatikanku. Aku tidur di sampingnya dengan sebuah guling di tengah-tengah kami. Dia membalik tubuhnya menghadapku dan aku meliriknya dengan ekor mataku masih dengan posisi tubuh terlentang.
“Kau tahu? Aku suka melihat wajah tidurmu.”
Aku ikut membalik tubuhku ke arahnya hingga kami berhadapan dan aku tersenyum. “Dan kau tahu? Aku suka kedua matamu.”
Shinji terlihat mengernyitkan dahinya, “aku selalu berpikir ....kau membencinya?”
Aku menggelengkan kepalaku pelan, “cepat tidur tuan! besok kau harus mengantar ibumu ke bandara kan?” Aku mengusap-usap kepalanya dan
dia segera menggenggam pergelangan tanganku, “tetaplah di sampingku sampai aku terbangun.”
Aku mengangguk dan dia mengecup telapak tanganku.
“Oyasumi, Chéri.” gumamnya sebelum akhirnya ia memejamkan kedua matanya.
Aku tidak tahu sematang apa wajahku sekarang. Dia sepertinya tahu cara membuat perasaanku melambung.
Dia.....Shinji.
Teman kecilku.
Kami teman satu kamar ketika di Sumire dulu. Dan aku tidak pernah tahu 14 tahun kemudian, aku akan tidur satu ranjang dengannya seperti ini, dan sebagai... sepasang kekasih.
Aku sudah memutuskannya dan tak akan menyesali keputusanku. Aku tak perduli perkataan dan pandangan orang. Aku hanya ingin orang yang tidur di sampingku ini. Aku hanya ingin dia yang selalu bisa mengejutkanku dengan semua tingkah dan perkataannya, membuatku merasa begitu berarti dan aku tak perduli yang lainnya.
Anak yang cengeng dan manja. Anak yang selalu kujaili dan kubuat menangis. Anak yang lebih pendek dariku. Bagaimana dia bisa tumbuh menjadi orang yang mengesankanku seperti ini? Membuatku terkagum-kagum padanya, membuatku begitu senang hanya karena senyumannya, membuatku ingin memilikinya untuk diriku sendiri.
Seperti yang dia katakan, mungkin dulu aku juga belum mengenal apa itu menyukai seseorang, mungkin aku memang tidak jatuh cinta padanya sejak kanak-kanak seperti bagaimana dia jatuh cinta padaku.
Tapi aku tahu, aku selalu mengagumi iris cantiknya, aku jatuh cinta pada kedua mata indah miliknya itu sejak pertama kali aku melihatnya.
Kedua mata itulah yang membuatku tetap bisa mengenalinya meski telah terpisah selama belasan tahun. Meski sosok dan wujudnya telah berubah, kedua mata itu tetap tak bisa mengelabuiku.
Aku jatuh cinta pada kedua mata itu di pertemuan pertamaku dengannya. Dan di pertemuan kedua kami, kedua mata itu membuatku menemukan orang yang kucintai.
Bibirku melebar dengan sendirinya melihat wajah tidur damainya di sampingku. Nafasnya ringan dan teratur.
Dia licik! Bisa tidur dengan nyenyak seperti itu sementara aku mungkin akan bergadang sampai pagi karena detak jantungku tak karuan begini.
Aku menyentuh pipinya dan mengelusnya lembut tak ingin membuatnya terbangun. Aku mengangkat kepalaku dan mengecup keningnya, “oyasumi, my cute tiger.”
Aku tahu itu berbahaya dengan sengaja masuk ke kandang seekor macan. Tapi kupikir aku sudah mengenal macan ini dengan cukup baik dan mungkin aku tahu bagaimana cara menjinakannya jika ternyata keadaan mulai membahayakanku.
Karena dia macanku...
Macan milikku.
×÷~The.End~÷×
Baiklah~ saia tulis di atas 'THE END' tapi sebenarnya ceritanya masih panjang. Ada beberapa yang belum jelas dan belum selesai di sini, seperti.... alasan Tora tak pernah memberi kabar dan kenapa dia tak ingin mengenal Saga lagi.
Karena itu sampai bertemu lagi di 'Cherry Butterfly' (Tiger Eyes bagian Tora xD) kapan-kapan!
Maaf jika tak memuaskan! mengecewakan!
Terimakasih sudah mau membaca hehe...
Aaaaaa.... Aku tahu ini belum selesaiii!!
ReplyDeleteMisteri keluarga tora masih belum jelas! Dan ibunya semakin mencurigakan... Dan tora saga juga masih punya utang "semut" setelah saga membersihkan badannya!.xDD
Selalu menunggu untuk season 2 nya Kira-san ^O^//
Kakkkkkk !!! Lanjutkannnn aku masih mau baca ff ini smpai selesai
ReplyDeleteTapi aku request dong kalau adegan romantis saga sama tora agak di perbanyakk di season yg akan datang (?) Wkwkk
Kak kakak inget wind tears gak ? Ff kakak juga
Aku masih mau baca kelanjutan hubungan mereka kak wkwkkwk xD
Aku tunggu ya kak ff TOSA nya !! XD
mbak kiraaa~~~
ReplyDeleteada lanjutannya kah???