Author : RuKira Matsunori
Rated : T (untuk chapter ini) *BUAGH!!*
Genre : AU/ BL/ Romance/ School life
Genre : AU/ BL/ Romance/ School life
Pairing : ToGa aka ToSa aka ToraXSaga <3 br="br">
Fandom : Alicenine dkk (gyaahaha)3>
Chapter : 1
Note : (-/\-) semoga minna yang udah minta tag kemarin gak nyesel
pas udah baca ini… hiks!!!!
Length : 12 Pages (MS.Word) 3015 words.
♣LOVE:EXP♣
;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;
Tap..
Tap..
Tap...
Suara langkah kaki yang menaiki anak
tangga terdengar semakin mendekat.
“senpai—“
BRUGH!!
Aku menoleh ke arah suara yang cukup mengganggu dari arah pintu
masuk tangga, “kau menginjak tali sepatumu lagi Pon”
“ugh! Argh”, dia membangunkan tubuhnya dari lantai dan segera
membenarkan tali sepatunya lalu berlari kearahku setelah sebelumnya memungut
kembali sekantong cemilan yang dibawanya dari lantai. Dia adalah Hiroto,
seorang adik kelas yang sering sekali memaksa untuk ikut serta dalam setiap
kegiatanku dan Takashi. Termasuk membooking atap sekolah untuk tempat kami menghabiskan
waktu jam istirahat. Tak ada seorang muridpun yang berani mendatangi tempat ini
selama jam istirahat, karena mereka tak ingin mengganggu kami, lebih tepatnya
tak ingin terlibat urusan dengan kami. Terutama dengan orang yang kini sedang
tiduran di sampingku.
“ARGH!!!”, Takashi tiba-tiba menggeram sambil membalik posisi tubuhnya di sampingku,
membuat Hiroto sedikit terkejut.
“ada apa dengannya?”, Tanya Hiroto menatapku.
“mmm~”, aku menyeruput susu kedelaiku lalu tersenyum pada Hiroto.
“ha? aku tidak mendapatkan jawaban dengan kau tersenyum seperti
itu!”
“setidaknya kau mendapat pengetahuan kalau senyumku manis”
“setidaknya kau mendapat pengetahuan kalau senyumku manis”
“aku tidak perlu pengetahuan seperti itu”
“hoo…ya?”, aku sedikit mencolek dagu anak ‘kecil’ itu. aku dan Takashi
suka sekali menggodanya.
“Hentikan pembicaraan gak mutu kalian..”, Takashi tiba-tiba
terbangun lalu mengambil paksa sekantong cemilan ditangan Hiroto, beberapa saat
mereka seperti berebut kantong cemilan namun sekali deathglare-an dari Takashi
membuat Hiroto menyerah dan satu jitakan di ubun-ubunnya mengakhiri perang
kecil diantara mereka. Takashi lalu kembali tiduran di sampingku,
membelakangiku.
Ya…Tapi cara kami berbeda.
“kenapa selalu aku yang mendapat jitakan?”, gerutu Hiroto sambil
mengusap-usap kepalanya.
“karena kau kecil?”
“apa hubungannya?”
“berisik kalian!!”
Aku hanya tertawa kecil sambil kembali menyeruput susu kedelaiku.
Ini adalah bagaimana keseharian kami menghabiskan waktu di atap
sekolah ini. kami dikenal sebagai murid
yang perlu perhatian lebih dari pihak sekolah, ada juga yang mengatakan kami murid
yag berbahaya. Tapi aku merasa keadaanku biasa saja seperti yang lainnya,
bahkan kami sering melakukan hal-hal konyol, tapi yang mereka tahu hanya
tentang semua keburukan kami, meski
begitu aku tak keberatan.
Kami mengalahkan gang-gang sekolah-sekolah lain, dan beberapa lawan
yang kami kalahkan menjadi teman (lebih tepatnya mereka menawarkan diri untuk
menjadi pengikut), banyak orang yang dengan bangga menyebut dirinya sebagai
teman kami di luar sana. bahkan Hiroto sebelumnya menyatakan dirinya sebagai rival
Takashi namun sekarang ia berakhir dengan… selalu mengikuti kami keemanapun.
Itu semua karena Takashi.
“jadi.. ada apa dengannya?”, Tanya Hiroto sekali lagi dengan suara
pelan sambil menunjuk orang di sampingku.
“…..”
Flashback::.
SREG!
Semua mata yang sebelumnya tertuju kearah papan tulis dimana sang
murid pindahan berdiri, sekarang keadaan itu beralih ke arah sampingnya dimana satu-satunya murid
yang disangka absen di hari pertamanya di kelas tiga ini menampakkan dirinya di
pintu masuk kelas.
“kau?...Sakamoto?”, Tanya Kaya sensei.
aku lihat Takashi terdiam diposisinya semula terlihat cukup
terkejut tak menjawab ataupun menganggukan kepalanya atas pertanyaan wali kelas
baru kami. Seperti yang kuduga… pasti begitu.
“apa saja yang kau lakukan? Setelah semua teman-temanmu selesai
memperkenalkan diri, kau baru menampakkan dirimu di sini?”, Kaya sensei terlihat
sedikit jengkel dengan baru datangnya Takashi. “karena ini hari pertamamu di
kelas ini aku mencoba untuk tidak mempermasalahkan ini jadi sekarang giliranmu
memperkenalkan diri pada teman-teman barumu, silahkan ber—Sakamoto?”, Kaya
sensei menaikan sebelah alisnya karena sebanyak ia mengeluarkan kata-katanya,
ia sama sekali tak mendapat perhatian dari Takashi. Takashi hanya terus menatap
murid pindahan yang baru saja memperkenalkan diri yang berdiri tepat beberapa
langkah di depannya.
terlihat murid pindahan bernama Amano itu sedikit risih ditatap begitu intens sedari tadi oleh Takashi, “ya? ada yang salah dengan—“
terlihat murid pindahan bernama Amano itu sedikit risih ditatap begitu intens sedari tadi oleh Takashi, “ya? ada yang salah dengan—“
GRET!
“eee!! Hei, Sakamoto apa yang kau lakukan?!”, Kaya sensei sedikit
terkejut tiba-tiba Takashi menghampiri murid pindahan itu lalu menggamit kerah
seragamnya.
“KAU!!”
.::End of Flashback
“Amano..Shinji?!”
“yep!”
“siapa itu?”, Hiroto terlihat kebingungan.
Ah… ya, hanya aku yang tahu tentang orang itu.
“hm.. kalau boleh kukatakan dia itu… bisa dikatakan orang yang
paling ingin Takashi lihat penderitaannya haha…”, aku tertawa garing tapi
Hiroto terlihat antusias mendengar kata-kataku.
“maksudmu dia musuh terbesar Saga-senpai?!”
“err~ semacam itu…”, mengingat Takashi tidak pernah benar-benar
menganggap serius setiap orang yang datang padanya dan mengaku sebagai rivalnya
meski ia tidak pernah menolak jika mendapat tantangan. Baginya yang benar-benar
ia anggap sebagai kemenangannya hanyalah ketika ia bisa membuat orang itu
berlutut di kakinya.
“aku pikir Takashi membenciku”
“tidak ada orang yang kubenci selain orang itu”
Aku mengenal Takashi sejak
berada di sekolah dasar, meski kami tak akrab saat itu…
“bagaimana bisa dia pindah
ke sekolah ini??”
“benar….dari begitu banyak sekolah SMU di Tokyo ini kenapa dia bisa
terdampar di sekolah yang hanya menyandang reputasi jelek ini, aku heran…haha”,
aku memutar bola mataku ke arahnya yang hanya tiduran sedari tadi.
“ah! Itu pasti karena mereka berjodoh!”
aku hampir saja tersedak mendengar kata-kata asal Hiroto. “apa?”
“mereka berjodoh sebagai musuh, ini adalah takdir bahwa Saga-senpai
harus bertemu lagi dengannya dan mengalahkan musuh terbesarnya! benar kan? jadi
Inilah saatnya~~ ”
“hm… mungkin kau benar”, aku memasukan sedotan susu ke dalam
mulutku lagi tanpa kuseruput, mungkin memang sekarang waktu yang
ditunggu-tunggu Takashi selama ini.“tapi yang membuat Takashi begitu
jengkel…..”, ah ya, aku masih bisa mengingat bagaimana ekspresi wajah Takashi
ketika orang itu mengatakan, “siapa kau?”, saat itu. mungkin itu seperti
keadaan dimana tiba-tiba lantai yang ia pijak menjadi lautan yang membeku dan
mendadak retak di bawah kakinya.
“HEEEEEEE???!!!! Dia tak mengingat Saga-senpai??!”
“benar, haha…”
“keterlaluan sekali orang itu! padahal Saga senpai sudah menyimpan
dendam begitu dalam selama ini bagaimana bisa ia melupakan orang yang menjadi
rival terbesarnya”, Hiroto menggebu-gebu.”ah, aku jadi penasaran seperti apa
orang yang membuat saga senpai mengakuinya sebagai rival terbesarnya… tunjukan
padaku orang itu!”
“ahah…rival
terbesarnya” , gumamku. Aku mengenal orang di sampingku ini sejak sekolah
dasar… dan aku tahu apa yang membuatnya berakhir dengan begitu membenci Amano
Shinji itu.
Aku menengok
jam tangan di tangan kiriku, hampir waktuya masuk kelas…, “Oi..!!”, aku
mengguncangkan tubuh Takashi bermaksud membangunkannya. “o—“
“aku lewat..”
“hm?”, oh..
sepertinya ia tak akan betah di kelas baru kami sekarang, mengingat saat tak
ada seorangpun tadi yang mengangkat tangannya saat diminta untuk menjadi ketua
kelas, dan aku tahu kenapa itu… karena ada Takashi menjadi salah satu murid di
sana pasti mereka menyerah sebelum harus disuruh untuk menanganinya suatu hari
nanti. Tapi dengan percaya dirinya orang itu menawarkan diri untuk menjadi
ketua kelas, mengingat dia adalah anak pindahan tentu itu cukup mengejutkan
untuk semua, termasuk Takashi. Karena itu…. bagaimana bisa ia betah di kelas dengan
diketuai oleh orang yang begitu ia benci selama ini. “kalau begitu aku lewat
juga…”, aku menjatuhkan tubuhku terlentang dengan menjadikan kedua lengan
sebagai bantalan di belakangnya.
“he? Aku?”,
Hiroto menunjuk dirinya sendiri.
“kau mau ikut
bolos juga? Di sini!”, aku menepuk-nepuk lantai di sampingku mengajaknya
tiduran juga.
“sekarang jam
pelajaran si killer, aku masuk kelas!”, Hiroto segera berdiri lalu berlari
meninggalkan kami.
Lucu sekali
anak itu, aku menikmati saat menggodanya. Tapi dia cukup handal dalam
berkelahi, jadi aku tak bisa benar-benar mempermainkannya atau anak itu akan
memukulku karena terlalu marah.
Aku menengok ke
samping dimana Takashi tertidur, dan yang bisa kulihat hanyalah belakang kepala
dan punggung orang itu. aku meraih rambut hazelnya lalu kuacak-acak, “apa yang
akan kau lakukan sekarang… Takashi?”
“…..”
;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;
“kau…Saga
yang banyak dibicarakan itu?”
“ada
masalah?”
“haha… lihat
itu? penampilannya saja sudah tak meyakinkan! Apa mereka salah satu personel
boyband? Hyahaha… mana teman-temanmu yang lainnya? Kalian berdua tidak datang
untuk menyerahkan diri kan? wakak”
“bicaralah
setelah kita menyelesaikan ini”
“he..kau
yakin bisa menyelesaikan ini?”
“aku bilang,
BICARALAH SETELAH KITA MENYELESAIKAN INI!!! KEPALA PITAK!!”
;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;
“heeee?! Kalian
bermain-main tanpa aku lagi?! Dengan kelompok dari sekolah xx itu?”
“hm…”,
Takashi hanya menanggapi Hiroto dengan satu ‘hm’-annya seperti biasa.
“kenapa
tidak mengajakku senpai? Kalian licik!”, Hiroto tampak merengut menggaruk garuk
kepalanya, “wah sudut bibirmu sobek? Kau membiarkan mereka memukulmu senpai?”,
Hiroto memperhatikan wajah Takashi sambil berjalan di sampingnya.
Mana mungkin..
Aku hanya terlalu lengah tadi, hingga salah satu dari mereka berhasil
mendaratkan pukulannya di wajah Takashi saat ia berusaha memperingatiku.
“apa mereka
cukup kuat?”, Hiroto berjalan mendahuluiku dan Takashi, berjalan mundur
menghadap kami.
“kepala
mereka pitak”
“he?”,
Hiroto tampak mengernyitkan dahinya dengan kata-kata Takashi, “apa orang
berkepala pitak itu kuat?”
“orang kuat
tidak berkepala pitak”
“jadi mereka
tidak kuat?”
“tidak ada
hubungannya orang kuat dengan kepala pitak”, aku menengahi.
“jadi kepala
mereka tidak pitak?”
“kepala
mereka pitak!!”, Takashi ngotot.
“err~…..”,
Hei hei…Aku penasaran kapan pembicaraan tak berguna ini berakhir.
“berisik
sekali kau!”, Takashi menjitak Hiroto di tempat biasa dia melakukannya. Ini
adalah jitakan pertamanya hari ini untuk si kecil yang banyak omong itu.
“tuh kan! Kau
yang ngotot tapi aku juga yang kena jitak!!”, Hiroto menggerutu sambil
mengusap-usap kepalanya, “eh? Sebelum masuk kelas, mau ke UKS? Biar kuobati
bibirmu itu..”
“obati saja
bibirmu sendiri”, Takashi melengos.
“HAH??!! kau
memang tidak pernah bisa menerima kebaikanku senpai!! Ughh…”
“haha..cepatlah
masuk ke kelasmu, biar aku yang mengurusnya..”, aku mengacak-acak rambut blonde
anak itu sambil tertawa-tawa. Sementara Takashi terus melenggang menaiki tangga
menuju lantai tiga dimana kelas baru kami berada.
Aku segera menyusulnya setelah Hiroto
melepaskan diri ke kelasnya, aku berjalan di belakang mengikutinya menaiki
anak-anak tangga. “apa luka di bibirmu parah?”
“jangan mengkhawatirkan hal yang tidak
berguna… Kazamasa”
“ahaha..begitu?
kau memang manis saat sedang berbaik hati haha..”, aku lihat Takashi menoleh
dengan delikkannya lalu meninju perutku pelan dan itu malah membuat volume
suara tawaku semakin mengeras menyadari kata-kataku membuatnya malu. Aku tahu
Takashi, aku tahu kebaikannya, aku tahu disaat bagaimana ia akan merasa lemah.
Aku tahu diri Takashi yang sesungguhnya. Mungkin karena itu juga aku tak bisa
lepas darinya begitupun ia menjagaku.
“…..”
Aku hampir
menabrak tubuh Takashi di depanku saat kami berhasil mencapai lantai tiga,
entah apa yang membuatnya berhenti mendadak sampai aku melihat kedua orang yang
berjalan berlawanan arah di depan kami, baru aku mengerti. “ohayou
Watanabe-san”, aku tersenyum menyapa gadis berambut lurus sebahu yang entah
kenapa ia terlihat pucat pagi ini.
“o..ohayou
Kohara-kun..”, gadis itu balas tersenyum menyapaku.
Dan seseorang
yang sedang menggandengnya? Aku melirik Takashi dan seperti dugaanku… wajahnya
terlihat tak aman, penuh dengan emosi.
“ohayou..
Kohara-san dan… Sakamoto-san”, Orang yang begitu Takashi benci itu menyapanya.
Grep!
Takashi
melepaskan tangan laki-laki berkaca mata yang tengah menggandeng Watanabe, lalu
menarik gadis itu ke dekatnya. Namun aku lihat Watanabe segera menepis tangan
Takashi lalu mendorong tubuh Takashi menjauh darinya, “a-apa yang kau lakukan?”,
gadis itu terlihat ketakutan tak berani menatap wajah laki-laki yang ia dorong
tubuhnya.
“…..”
Aku dan Amano
hanya memandang satu sama lain, aku yakin dia tak mengerti apa yang terjadi
dengan kedua orang di depannya tapi denganku.. tentu saja berbeda.
“Watanabe-san merasa tidak enak badan, karena itu aku bermaksud
mengantarkannya ke UKS…”, ucap Amano kemudian.
Gret!
“A-Amano-kun?”
Takashi menggamit baju seragam laki-laki itu untuk yang kedua
kalinya, membawanya mendempet ke dinding terlihat begitu emosi.
“Sakamoto-kun apa yang—“, aku menarik lengan Watanabe yang hendak
menginterupsi amarah Takashi terhadap laki-laki itu. gadis itu menatapku
terlihat meminta penjelasan kenapa aku mencegahnya melerai mereka. Tapi cukup
dengan satu senyuman aku memberinya jawaban, meski ia terlihat tak mengerti
tapi itu bagus… cukup aku saja yang mengerti.
“tunjukan dirimu yang sesungguhnya?”
Entah itu ekspresi yang ia buat-buat atau apa tapi Amano terlihat
bingung dengan perkataan Takashi. “apa maksudmu Sakamoto-sa—“
“Jangan berpura-pura!! Perhatikan aku baik-baik!!”, Takashi
terlihat begitu emosi mengeluarkan kata-katanya cukup keras.
“kau benar-benar tak ingat dengan kami Amano…san?”, aku penasaran
dengan bagaimana reaksinya kalau aku ikut campur. Meski mungkin kami sedikit
berubah, ah turutama Takashi. seharusnya dia bisa mengingatnya, err~ jika
ingatannya cukup bagus.
Dia terlihat berpikir beberapa saat memperhatikanku dan Takashi, lalu
melepaskan gamitan tangan Takashi di seragamnya, membenarkan kaca mata yang
dikenakannya, “maaf…sejak dulu aku selalu berpindah-pindah sekolah, mungkin
kalian temanku di salah satu sekolah itu? aku tidak pernah lama menetap di
suatu tempat karena pekerjaan ayahku. Jadi ada banyak teman yang aku lupa—“
BUAGH!!
Prak…
“Amano-kun!!”, lengan Watanabe lepas dari genggamanku lalu segera
ia menghampiri laki-laki yang kena pukulan telak di pipinya itu. “apa yang kau
lakukan Sakamoto? Amano-kun tidak punya salah apa-apa kan?!”
“dia punya! AKU TIDAK AKAN MEMBIARKANNYA SEENAKNYA MUNCUL
DIHADAPANKU MENJADI ORANG ASING TANPA RASA BERSALAH!! AKU TIDAK AKAN
MEMBIARKANNYA BERKELIARAN DISEKITARKU TANPA AKU BISA MEMBUAT ORANG INI MENYESAL!!”
“…..”, Watanabe terlihat cukup syok Takashi meneriakinya. Dan rasa
terkejut yang nampak di wajah gadis itu membuat Takashi tampak sedikit merasa
bersalah. Aku yakin Takashi tidak bermaksud membuat gadis itu ketakutan. Bukan
gadis itu sasaran emosinya.
“aku tidak mengerti kata-katamu… sepertinya kau salah mengira aku
seseorang yang kau kenal?”
“KAU!!!”, Takashi kembali menggamit kerah baju Amano itu kuat, “masih berani mengatakan itu dengan
wajah innocentmu?”, Watanabe terlihat berusaha melepaskan gamitan Takashi di
baju Amano tapi sepertinya tidak berhasil.
“aku bisa melaporkanmu pada wali kelas Sakamoto”, ancam watanabe.
“jangan pikir aku tidak bisa melakukannya…”, Watanabe menatap Takashi dengan
keseriusan di kedua mata kecoklatannya, dan itu cukup membuat Takashi tak bisa
berbuat apa-apa lagi. Takashi melepaskan gamitan tanganya dengan kasar.
“jangan dekat-dekat dengannya..”, ucap Takashi pelan di samping
Watanabe sesaat sebelum akhirnya ia meninggalkan kedua orang itu. aku merasa
kata-kata yang ia tujukan untuk gadis itu cukup menunjukan sisi kemanisan
Takashi, bahwa sebenarnya ia cukup manis. Aku tersenyum tipis segera mengikuti
langkah Takashi yang berjalan menuju kelas kami, aku lihat ternyata cukup
banyak murid yang melihat aksi(?) Takashi tadi dan aku yakin pandangan mereka
tentang Takashi hanya akan semakin buruk saja gara-gara ini.
“hei…seharusnya kau terus terang kalau ‘aku cemburu tahu’ seperti
itu!”, aku tertawa kecil sedikit menggodanya. Beberapa saat aku menunggu
kata-kata seperti ‘berisik!’ atau ‘bukan urusanmu!’ keluar dari mulutnya, tapi
yang aku lihat ia hanya merapatkan bibirnya sedikit menunduk. Bukan berarti dia
mengabaikan kata-kata jailku, hanya… sepertinya ia sedang berusaha jujur pada
dirinya sendiri. aku tahu bagaimana perasaannya tadi…
Watanabe Hana…
perempuan yang selama ini selalu bersikap manis pada kami, anak perempuan
yang berbeda dengan anak-anak perempuan lain di kelas kami, dia cerdas, rajin
dan ramah pada siapapun. Selalu menyapa kami jika bertemu dimanapun, mengajak
kami makan bersama ketika jam istirahat, dan aku bisa merasakan Takashi menaruh
perhatian padanya. Namun sejak kenaikan kelas dan sejak beberapa hari Amano
Shinji itu menjadi salah satu teman sekaligus ketua kelas di kelasku dan
Takashi, Watanabe terlihat begitu akrab dengannya, mungkin karena mereka
sebagai pengurus kelas dan wakilnya…tapi Watanabe seperti tidak pernah menyapa
kami lagi sejak itu, kami seperti dihindari. Dan aku bisa mengerti kenapa
Takashi bisa begitu emosi tadi, melihat gadis itu digandeng orang yang begitu
ia benci, apa akan sedikit belebihan kalau aku katakan itu pasti seperti ada
gunung meletus saja dalam dirinya , “hihihi….”
“apa yang kau tertawakan?”, Takashi menoleh ke arahku.
“hm? Oh, Tidak ada”
“cis!”
“oh ya? apa kau tidak sedikit memikirkan kata-katanya tentang
mungkin kau salah orang? Atau…”
“aku yakin itu dia! Insting kebencianku tidak akan salah mengenali mangsanya”
“aku yakin itu dia! Insting kebencianku tidak akan salah mengenali mangsanya”
He? Apa itu…Insting kebencian?
“hmm~ aku juga yakin kalau itu dia”, ya… apalagi setelah melihatnya
tanpa kaca mata karena pukulan Takashi tadi yang membuat benda itu jatuh, “tapi
sepertinya dia benar-benar tidak ingat apa-apa… apa mungkin dia mengalami
amnesia seperti melupakan sebagian memori masa lalunya karena disebabkan sebuah
kecelakaan?”
“omong kosong.... dia adalah dia! dan aku tidak akan kalah darinya…
dalam hal apapun! Jika dia lupa maka dia harus mengingatnya! Bagaimanapun
caranya dia harus mengingat kesalahannya! Dan aku akan membuatnya memohon ampun
atas itu semua! Amano Shinji brengsek!”
“….”
Aku terus mengikuti Takashi sampai masuk ke dalam kelas, lalu kami
duduk di bangku paling belakang yang menjadi bangku tempat kami duduk saling
bersebelahan. Takashi meletakan tasnya sembarangan di atas meja lalu
menyandarkan punggungnya di sandaran bangku sambil menatap ke luar jendela.
Sedangkan aku hanya menopang daguku memperhatikan Takashi di sebelahku.
“apa yang akan kau lakukan jika bertemu dengannya suatu hari nanti..
Takashi?”
“apapun! Sampai dia berlutut dikedua kakiku”
Aku jadi penasaran dengan apa yang akan ia lakukan agar bisa
membuat Amano Shinji itu berlutut memohon ampun di kedua kakinya.
;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;
BLETAK!!
Bruk.
“Amano-san kau tidak apa-apa?”
“tidak aku…”, Amano menatap Takashi yang tengah mengambil bola voli
yang menggelinding tidak jauh beberapa langkah di dekatnya. Sepertinya dia
menyadari kalau Takashi sengaja melakukannya, tentu saja… bahkan anak anak yang
lainpun menyadarinya. Amano segera mengambil kaca matanya lalu berdiri
menghampiri Takashi tak perduli yang lain berusaha mencegahnya meski tak secara
terang-terangan. “kau benar-benar membenciku?”
aku lihat Takashi hanya menoleh sekilas lalu mengabaikannya mengambil bola, membawanya ke arahku.
aku lihat Takashi hanya menoleh sekilas lalu mengabaikannya mengambil bola, membawanya ke arahku.
“membuat jebakan ember air di kelas, menempelkan permen karet di
bangku, mencorat-coret agenda kelas, mengunci pintu toilet, mengarahkan pukulan
bola ke arahku saat aku lengah, kau tidak berpikir bagaimana jika itu mengenai
Watanabe yang berada di dekatku?… apa itu cara seorang Saga yang begitu
ditakuti menciptakan sinyal perang? Ck! Ke-kanak-kanak-an…”, Amano itu terlihat
menyeringai meremehkan.
Benar, kekanak-kanakan… aku menggeleng-geleng kepalaku.
karena dari pertama sampai sebelum pukulan bola itu, semua
keisengan si kecil Hiroto, dan dia yang melakukan semuanya… sejak dia penasaran
seperti apa orang yang Takashi akui sebagai rival terbesarnya, aku menunjukan
Amano padanya dan Hiroto seperti…’huh? Si kaca mata itu?’, dia merasa orang
berkaca mata bukanlah orang yang cocok untuk menjadi rival seorang Takashi,
Hiroto mengatakan orang berkaca mata cocoknya dijaili. ya, tapi sepertinya aku
juga ikut terlibat saat menguncinya di toilet.
BAK!
Bola voli itu memantul dengan kuat ketika Takashi membenturkannya
ke lantai dengan kekuatan penuh.
“jika kau ingin bersaing denganku… jadilah rival yang membanggakan
dengan tidak melakukan hal-hal konyol seperti yang kau lakukan. Sakamoppoi-san…”
Tanpa berusaha mengingat apapun, sepertinya Amano salah
menyimpulkan sesuatu?
Takashi membalik tubuhnya menghadap laki-laki yang masih
menyeringai itu, “ck! Kau yang meminta… Amagane…san”
He? Aku melihat Takashi ikut menyeringai dingin menanggapi
perkataan Amano. Seperti ada sebuah api tanda peperangan yang menjalar di
tengah-tengah mereka. Sepertinya itu menjadi hal yang menarik untuk Takashi,
aku tidak pernah melihanya benar-benar serius menanggapi tantangan dari
seseorang tapi dia tampak benar-benar bersemangat menanggapi perkataan Amano.
Tentu saja… hal apapun yang berhubungan dengan Amano Shinji itu pasti menarik
minat Takashi, semenjak dia lah orang yang paling Takashi benci…
♣T♣B♣C♣
Sakamoppoi dari Sakamoto + Kodomoppoi = Sakamoto si kekanak-kanakan
XD
Amagane dari Amano + Megane = Amano si kaca mata XD
~(-__-)~ ceritanya berkembang dengan anehnya~~ padahal belum
apa-apa saia sudah ngalor ngidul XD *gak guna*
No comments:
Post a Comment