Search + histats

Sunday 31 August 2014

Tiger Eyes ※2 (Part B)

Author: RuKira Matsunori
Chapter: 2B/?
Genre: AU // Romance // Drama
Rating: R 
Fandom: Alicenine
Pairing: Tora / Saga.
Warning: Bahasa! Male x Male
A/N: Hanya 7 page ! xD maaf karena ada sedikit masalah jadi agak telat postnya. 



Saturday 30 August 2014

Tiger Eyes ※2 (Part A)

Author: RuKira Matsunori
Chapter: 2A/?
Genre: AU // Romance // Drama
Rating: R 
Fandom: Alicenine
Pairing: Tora / Saga.
Warning: Bahasa! Male x Male
A/N: Saia bagi jadi dua part chap 2 nya, karena terlalu panjang xD tapi terlalu pendek untuk jadi 2 chapter. Part-2 nya saia post nanti malam atau besok (masih dalam tahap penyelesaian) xD




Monday 25 August 2014

Tiger Eyes ※1

Author: RuKira Matsunori
Chapter: 1/?
Genre: AU // Romance // Drama
Rating: R
Fandom: Alicenine
Pairing: Tora / Saga.
Warning: Bahasa! Male x Male
A/N: Ide cerita saia ambil dari komik-komikan jaman SMA dulu yang pernah saia buat (sampe sekarang belum kelar, tapi endingnya sudah di kepala) saia pakai nama karakter Kira dan Ruki di situ wakwak *muntah* ok! cukup! Saia mandet lagi untuk Natural Sense tapi pasti saia lanjutin! Dan sudah sejak lama saia pengen tulis ini, tapi gak bisa memulai! dan sempet bingung mau pair Reituki atau Tosa xD percayalah tidak akan panjang!
Baiklah, dan akhir kata, saia harap minna suka ini m(_ _)m



÷~虎の瞳~÷×

Aku punya alasan untuk mengatakan bahwa dunia ini kejam. Satu, aku tidak pernah tau siapa kedua orang tuaku. Usiaku menginjak 20 tahun ini, dan aku tidak pernah sekalipun melihat mereka. Bagaimana bisa seorang anak tidak pernah tau kedua orang tuanya? Dan itu adalah alasan keduaku, mereka membuangku. Tiga, aku hidup di panti asuhan, sementara teman-temanku yang lain mendapatkan orang tua angkat mereka, tak satupun pasangan suami istri yang mengadopsiku, padahal hei! aku anak yang manis diusiaku waktu itu. Ok, aku mungkin sedikit nakal tapi itu wajar untuk seorang anak laki-laki. Alasan keempat, aku lepas dari panti asuhan diusia 15 tahun. Sementara anak yang lainnya masih asik menghambur-hamburkan uang orang tuanya, aku harus bekerja untuk bertahan hidup dan mengecap pendidikan.

Tapi ada juga alasan yang membuatku rasanya tidak enak mengatai dunia ini kejam. Satu, Tuhan menganugrahiku otak yang membuatku sampai bisa mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliahku di Universitas di Tokyo. Baiklah, memang bukan Toudai tapi universitasku juga cukup punya nama di Tokyo. Aku mengambil jurusan Sastra Inggris seperti keinginan hatiku, aku suka bahasa inggris dan berharap bisa berkeliling dunia dengan menguasainya. Baiklah, itu mimpi yang jelas tentang ketidak terwujudannya dan satu lagi, aku cukup bersyukur bisa memilih jurusan sesuai ketertarikanku karena banyak juga orang yang mengambil jurusan bukan berdasarkan hati mereka dan aku mengasihani orang-orang seperti itu. Aku tidak bisa bayangkan setiap hari harus bergelut dengan sesuatu yang tidak kita sukai atau terpaksa kita pilih sementara ada sesuatu yang kita sukai yang sebenarnya bisa kita pilih.

Dan alasan keduaku untuk mengurungkan menilai dunia ini kejam adalah... aku punya wajah dan penampilan yang sangat menarik hingga membuat banyak perempuan mengejarku. Aku serius!

PLAK!

“KAU BRENGSEK!!”

Dan aku tidak bisa mengatakan dunia ini kejam karena ini adalah tamparan ketiga dari tangan yang berbeda yang mendarat di pipiku dalam satu bulan ini. Itu adalah efek dari anugrah yang diberikan Tuhan untukku, memang sakit tapi aku tak akan menyalahkan dunia ataupun wajahku. Aku masih muda, aku masih mencari banyak pengalaman, selama aku masih menarik kenapa tidak memanfaatkannya? Dan lagi aku cepat bosan dengan sesuatu, terutama perempuan.

“Terlihat masih fresh.”

Shou, si kaca mata. Teman satu jurusanku. Aku tidak akan menyebutnya teman baik, teman dekat, sahabat atau semacamnya, karena dia lebih sering membuatku jengkel daripada senang. Kami tidak pernah berhubungan di luar kampus, bahkan aku tidak punya nomor ponselnya. Tapi dia satu-satunya orang yang paling sering berkomunikasi denganku daripada teman satu jurusanku yang lain.

“Pipimu pasti sudah kapalan, jadi kebal,” Shou berkomentar sambil duduk di bangkunya.
“Tamparan perempuan tidak ada bedanya dengan kecupan mereka,” aku menggulir bola mataku malas.
“Hm...” terdengar mengejek.

Dan seperti hari-hari sebelumnya, mata kuliah berjalan dengan membosankan. Ok, aku memang menyukai jurusanku tapi sekali lagi, aku ini cepat bosan dan kadang berada dalam keadaan jenuh akan sesuatu tapi bukan berarti aku jadi tidak menyukainya.

“Apa kau merasa sebagai cowok paling populer di Universitas ini?”

Aku melirik Shou kurang semangat sambil mengunyah permen karet, “tidak, tapi aku juga tidak memungkiri bahwa kenyataannya memang begitu,” aku tersenyum lebar setelah sedikit membanggakan diri sendiri hanya untuk mendapatkan wajah tanpa ekspresi dari Shou.

“Kau sudah dengar tentang mahasiswa pindahan baru dari luar negeri?”
“Hn? Bule?” tanggapku kurang tertarik.
“Bukan, tapi dia baru pulang dari Inggris setelah 3 tahun tinggal di sana.”
“Wow!”
“Anak cewek pada meributkannya! Kupikir cepat atau lambat posisimu akan digesernya,” Shou mengangkat kedua bahunya.
“Oh ya? Hanya karena dia pernah tinggal di luar negeri?”
“Bukan hanya karena itu,” Shou menghela nafas ringan, “sebaiknya kau lihat orangnya langsung.”

Aku menoleh ke arah Shou sambil menggelembungkan permen karet di mulutku kemudian meletuskannya, “Ok, siapa namanya?”
“Amano... Tora.”
“Tora?” Aku sedikit tertawa kecil mendengar namanya.

Keren, oke lah. Keputusan yang berani untuk memilih nama tapi jika orangnya tidak sesuai dengan namanya atau malah berlawanan dari imej keren, akan jadi sangat lucu jadinya.

×÷~虎の瞳~÷×

Hari dimana akhirnya aku bertatap muka dengan sang Tora yang selalu jadi topik pembicaraan para mahasiswi yang menggilainya dan para mahasiswa yang mengeluhkan kepopulerannya dikalangan cewek semakin lama semakin membuatku terusik. Aku ingin tahu se'wah' apakah gerangan beliau?

Dan untuk pertama kalinya aku menerima ada laki-laki yang lebih menarik dariku, maksudku... aku ini keren, dan aku selalu menganggap tidak ada laki-laki se-kerenku di universitas ini tapi melihatnya, kuakui dia sangat cocok dengan namanya.
Dia terlihat lebih tinggi beberapa sentimeter dariku, tubuhnya.. tidak terlalu berotot tapi juga tidak se-skinny-ku, terlihat ramping namun di saat yang sama juga terlihat tegap dan tegas. Pengakuan keduaku, tubuhnya adalah tipe ideal kebanyakan perempuan dan aku pernah berharap untuk punya tubuh seperti itu juga.

Wajahnya... Jika para perempuan itu menyebutku tipe bishounen maka bisa kukatakan dia tipe ikemen. Dia dan aku punya tipe wajah yang berbeda dilihat dari jenis ketertarikan cewek akan tipe cowok. Akan aneh jika aku yang mengatakannya, tapi kalau aku cewek akan kukatakan dia macho, maskulin, atau semacamnya. Aku mengerti sekarang, kenapa cewek-cewek itu selalu histeris saat menggosipkannya. Dia dianugrahi wajah dan perawakan yang memungkinkan cewek-cewek membuka pahanya lebar-lebar untuknya.
Baiklah, akhirnya ada laki-laki yang sedikitnya membuatku merasa banyak kekurangan setelah melihatnya.

Bentuk rahang dan hidung yang tegas dan matanya... Kupikir yang paling menarik untuk dilihat darinya. Tunggu! Mata itu... 

“Sepertinya kau cukup menikmati apa yang kau lihat dariku.”
“He?” Aku menaikan satu alisku sementara dia menyunggingkan senyum sinis sambil menggulir bola matanya malas.
“Kau mau apa Saga? Kita sudah putus! Jangan harap kau bisa memintaku kembali padamu! Jadi menghilanglah dari pandanganku!”

Ow, Risa. Si pelaku yang membuat pipiku bahkan masih terasa panas setelah beberapa hari kejadian. Tunggu, sejak kapan dia di situ?
Kuterima, tamparan cewek satu ini paling keras diantara yang lain. Dan lihat, dia bergelayutan di lengan sang populer itu padahal sebelumnya dia selalu nempel-nempel padaku dan tidak ada satu bagianpun dari tubuhnya yang belum kulihat, itu karena dia sendiri yang dengan nakal memperlihatkannya padaku.
Aku hanya memberinya ciuman panas dan dia tiba-tiba menanggalkan semua pakaiannya. Untuk sebagian terdengar menggiurkan dan aneh. Aku hanya menatapnya, kuakui aku cukup menikmati pemandangan yang kulihat waktu itu, tapi hanya itu. Aku kemudian segera memungut pakaiannya dan menyuruhnya untuk memakainya kembali, dan saat itulah tamparannya mendarat di pipiku.

Perlu ku garis bawahi di sini, aku tidak pernah berhubungan sex dengan setiap perempuan yang kukencani, bukannya aku impoten atau tidak punya gairah sebagai seorang laki-laki sejati, aku hanya punya kelebihan pengendalian diri yang bagus. Aku tidak ingin suatu hari ada seorang perempuan dengan perut membulat datang padaku dan mengatakan 'ini anakmu' oh tidak! aku tidak ingin mengambil resiko menjadi seorang ayah diusia muda, aku masih ingin menikmati masa-masa lajangku. Dan mungkin aku adalah penjahat bagi perempuan, tapi aku bukan orang jahat yang berani menyuruh seorang ibu untuk membunuh anak dalam janinnya. Aku bukan orang sejahat itu.

“Benarkah, jadi kau ingin mengambil gadismu kembali?” tanyanya tidak tertarik.
“Tidak,” aku ragu apakah Risa cocok dipanggil 'gadis', maksudku apa yang sudah dia lakukan padaku membuatku ragu dia masih seorang 'gadis'. Aku mendengar Risa mendesis pelan. “Kita memang tidak satu jurusan tapi aku sudah cukup mendengar banyak tentangmu. Kau cukup populer kawan! haha... Selamat datang di Univ—”

“Kasihan~ dia sudah pergi,” Risa tersenyum mengejek kemudian sedikit berlari untuk menyusul mangsa barunya itu yang entah sejak kapan dia menghilang dari hadapanku.

Bagus!
Aku pikir sesama orang keren, aku dan dia bisa menjalin hubungan baik. Dengan berat hati aku terima, aku merasa sedikit terancam punah dengan kehadirannya. Kupikir dengan berteman dengannya bisa membuatku di posisi aman. Aku tidak berpikir kalau orang dengan kesempurnaan itu mungkin akan punya sifat arogan dan ya! Dia memberikan kesan pertama yang cukup menunjukan dia ingin memusuhiku. Hei, siapa yang tahu mungkin dia juga mengakui betapa menariknya aku dan merasa terancam dengan itu. Siapa yang tahu kan?

Tapi rasanya ada sedikit hal yang mengganjal, apa cuma perasaanku saja? Tapi mata itu mengingatkanku pada mata seorang anak kecil yang selalu kubuat menangis karena kuejek. Tapi melihat bagaimana dia bersikap.... rasanya tidak mungkin.

×÷~虎の瞳~÷×


“Aku duluan, Takashi!”

“Ok!”

Nao, rekan sepekerjaanku di Bar, dia seorang bartender sekaligus seniorku di tempat kerja, usianya juga lebih tua dariku. Dan posisiku? Aku seorang barback, dengan kata lain aku adalah asistennya yang menyediakan semua yang dibutuhkan Nao untuk keperluan menyajikan minuman dan melayani pengunjung. Kadang Nao juga mengajariku cara menjadi seorang bartender dan sekali-kali aku menggantikan tugasnya. Dan meski Nao terlihat keren saat menjalankan pekerjaannya, sebenarnya ia punya kepribadian yang unik, dengan wajahnya yang bulat dan suaranya yang cempreng kalau dia berteriak saat ada kecoak, cicak atau hewan kecil apapun itu di tubuhnya (abaikan siapa yang membuat hewan-hewan kecil itu sampai mendarat di tubuhnya). Aku suka menjahilinya, mungkin memang pada dasarnya jahil itu adalah sifat alamiku.

Aku ingat, aku cukup ditakuti anak-anak yang lain saat di panti asuhan dulu. Karena aku selalu punya cara untuk membuat mereka ketakutan bahkan menangis. Tapi karena itulah tidak ada yang mau mengadopsiku, selama bisa memilih, orang tua mana yang ingin menjaga seorang anak nakal di rumahnya? terlebih, anak angkat? Tapi inilah sifatku, dan jika memang ada orang yang tidak bisa menerimanya aku baik-baik saja dengan itu.

“Takashi, bagaimana kabarmu?” 

Aku memasukan seragamku ke dalam tas dengan ponsel di sebelah telingaku yang ku tahan dengan satu bahu, “Aku baik-baik saja Naomi-san, kau sendiri?” tanyaku dengan kedua tangan masih sibuk memakai sepatu.

“Aku juga baik-baik saja. Rasanya kau mulai melupakan wanita tua ini, sudah lama sekali kau tidak memberiku kabar.” 
Aku tertawa kecil, “Karena di Tokyo banyak wanita-wanita cantik, maaf saja kalau aku jadi melupakanmu,” candaku iseng.
“Anak nakal!” 
“Haha... tidak, tidak! Kau selalu jadi wanita nomor satu bagiku Naomi-san!”
“Jangan menggoda wanita tua!”
“Ah, aku seriusss!”

Walau mungkin aku tak punya orang tua angkat, walau mungkin mereka tidak bisa menerima kepribadianku, aku tidak apa-apa. Karena aku punya wanita yang selalu memperhatikanku, menjagaku, menegurku saat aku melakukan kesalahan. Dia yang mengurus kami anak-anak di panti asuhan 'Sumire' dengan penuh kasih sayang, dia seperti seorang ibu bagiku. Aku tidak habis pikir kenapa ada beberapa dari temanku yang tidak pernah memberinya kabar lagi setelah mereka mendapatkan keluarga baru. Seakan melupakan kasih sayang yang diberikan Naomi-san untuk mereka, dasar tidak tahu terimakasih.

“Oh ya, Naomi-san... Ada mahasiswa baru di kampusku, dan kupikir matanya mirip Shinji.” Bicara tentang orang yang tidak tahu terimakasih, aku jadi teringat anak cengeng itu.
“Shinji? Oh ya? Mungkin saja itu memang dia, keluarganya kan di Tokyo.” 
“Tidak mungkin itu dia haha...Lagipula namanya juga bukan Shinji .” Aku berdiri setelah selesai memakai sepatu dan menarik tasku untuk beranjak pulang.
“Begitu?”
“Lagipula aku pasti langsung mengenalinya kalau itu dia.”

Ya, anak itu lebih pendek dariku, terlihat lemah, penakut dan cengeng hingga aku selalu menjadikannya sasaran kejailanku, dan matanya yang seperti non-nihonjin, selalu jadi bahan ejekanku untuknya. Dan sejak tidak pernah lagi bertemu dengannya, aku tidak pernah menemukan jenis mata yang sama dan tiba-tiba saja orang arogan itu muncul. Ya... Mungkin mereka hanya punya mata yang sama. Melihat dari perawakannya saja sudah tidak mungkin. Apalagi ditambah dengan sikapnya...

Aku mendengar suara lembaran-lembaran buku yang dibuka di line telepon, “Naomi-san?” Aku mengernyitkan dahi sambil mengambil minuman kaleng favoritku di vending machine.
“Ah, ini dia...” 
“Apa yang sedang kau lakukan?”
“Aku menemukan data pengadopsian Shinji.” 
“Hn?” Tanggapku sambil meneguk minumanku.
“Pasangan suami istri yang mengadopsi Shinji bermarga... Amano.” 

PRUUFFTT!!!

Spontan aku menyemburkan kembali minuman dalam mulutku.

“Takashi?” 
Aku melap mulutku, mengabaikan pandangan orang-orang yang berpapasan di jalanku ,“Naomi-san, kau bercanda?!”
“Tidak, kenapa?”
“Orang itu juga bermarga Amano!”
“Berarti itu memang Shinji.” 
“Tapi namanya Amano Tora,” aku mengernyitkan dahi.
“Tora? Mungkin dia atau orang tua angkatnya mengganti namanya? Takashi, coba kau pikir, mungkin tidak sedikit di Tokyo keluarga yang bermarga Amano, tapi jika orang itu bahkan mirip berarti dia memang orang sama.” 

Baiklah, itu masuk akal.

“Tapi... dia lebih tinggi dariku! Dan sifatnya... Aku tidak ingin percaya kalau itu Shinji si cengeng itu!” Aku mendengus.
“Kau pikir waktu umur berapa terakhir kalian bertemu? Pasti banyak yang berubah darinya.” 

Tetap saja aku tidak terima kalau yang dimaksud perubahan untuknya itu... seperti itu! Maksudku, hei ! Dulu dia sangat culun dan lugu dan cengeng.

Ah, ya. Aku ingat, dulu aku sempat iri karena dia diadopsi keluarga kaya raya. Dan jika itu memang benar dia, aku mengerti kenapa dia bersikap seperti itu padaku. Dulu aku selalu menjailinya dan mengejeknya, mungkin dia membenciku dan ingin menunjukan dia punya segalanya sekarang sedangkan aku? Tidak.

Tapi... Apa dia akan langsung mengenaliku begitu saja? Terakhir dia melihatku ketika usia kami 6 tahun. Seperti aku yang bahkan sama sekali tidak mengenalnya kalau bukan karena matanya itu. Mungkin banyak hal juga yang berubah dariku?

“Takashi?” 
“Ah ya, err...” aku menggaruk-garuk tengkukku.
“Coba kau tanya langsung padanya. Mungkin dia punya alasan kenapa dia tidak pernah sekalipun memberi kabar.” 
“Tidak usah ditanya, aku sudah melihat bagaimana berubahnya dia sekarang Naomi-san. Dia pasti sangat menikmati kehidupannya sebagai anak dari keluarga konglomerat, dia hanya kacang yang lupa kulitnya,” aku sedikit mendengus.
“Aku tidak yakin Shinji orang seperti itu.” 
“Kita tidak tahu hati manusia,” aku menggesek kartu tiket shinkansen-ku di mesin, “ah, keretaku sudah datang.”
“Baiklah, kalau begitu sudah dulu. Jaga dirimu baik-baik, dan jangan lupa memberi kabar!” 
“Siap! Kaasan~” aku tersenyum sendiri dan aku mendengar tawa kecil di seberang sana.

Aku segera naik kereta sesuai tujuanku. Dan bayangan Shinji, temanku ketika di panti dulu dengan orang bernama Amano Tora itu terus muncul dalam kepalaku. Jika benar mereka orang yang sama maka aku harus memberinya sedikit pelajaran. Aku terima jika dia membenciku karena kelakuanku dahulu padanya, tapi bukan berarti dia boleh melupakan panti 'Sumire' dan juga Naomi-san begitu saja.

Dan hal pertama yang harus kulakukan adalah... bertanya langsung padanya. Dan untuk bertanya aku harus bertatap muka lagi dengannya. Apa ada cara selain harus bertatap muka dengannya? Meminta nomor ponselnya? pada orang lain? Itu akan sangat aneh, dan terdengar tidak keren. Baiklah... mau tidak mau , aku memang harus menghadap orang itu lagi tampaknya.

×÷~虎の瞳~÷×

“Ohayou.”
“Ohayou.”

Aku merasakan tatapan intens Shou tertuju padaku.

“Apa?” Aku mengernyitkan dahiku bingung.
“Terjadi sesuatu? Kau terlihat nervous,” ucapnya sambil mengeluarkan beberapa buku dari tasnya.
“Apa? Tidak ada,” responku santai.

Bicara apa si megane itu? Kenapa aku harus nervous untuk berhadapan lagi dengan orang sok arogan itu.

“Kau sudah melihat langsung orang bernama Amano Tora itu kan?” Aku hanya mengangguk merespon pertanyaan Shou sambil membuka permen karetku yang kemudian kumasukan ke dalam mulut, kukunyah dan kugelembungkan. “Bagaimana menurutmu?”

“Lumayan! Tapi levelnya tetap di bawahku haha...”
“Kau tidak berpikir begitu kan?”
“Ok! Dia se-level denganku.” Aku menggulir bola mataku malas.
“Dan aku yakin kau juga tidak berpikir begitu.”

Tuh kan, orang satu ini menjengkelkan!

“Dia punya perawakan yang kuinginkan dan wajahnya, okelah.”
“Dan kau merasa terancam.”
“Terimakasih sudah membaca pikiranku! Tapi hentikan itu kawan! Itu menyebalkan!”

Shou sedikit tersenyum membuang mukanya. Tunggu! Kenapa dia? Gerak tubuhnya bukan dia sekali.

“Aku hanya asal bicara, ternyata benar.”
“Ow!”

Menjengkelkan sekali orang satu ini.

“Matanya mengingatkanku pada teman masa kecilku,” aku bergumam sambil memainkan ponselku.
“Mata temanmu sepertinya? Kupikir Amano punya mata yang unik dan orang Jepang tidak bermata seperti itu. Jadi berarti temanmu itu keren.”
“Ahh tidak juga. Dia culun dan lemah. Aku sering sekali mengejek matanya yang aneh, aku suka memanggilnya Gaijin.”
“Kau bilang dia temanmu? Tapi mendengar ceritamu, sepertinya dia tidak akan menganggapmu sama.”
“Aku tahu. Dulu aku memang anak yang sedikit kurang ajar.”
“Aku tidak terkejut mendengarnya.”

Aku menghela nafas, “dulu aku tinggal di panti asuhan dan dia adalah salah satu anak di sana juga. Tapi sepasang suami istri mengadopsinya dan aku tidak pernah bertemu lagi dengannya sejak saat itu. Dan ... sepasang suami istri itu bermarga Amano.”
“Jadi dia temanmu yang hilang?” tanyanya.

Walau dia menjengkelkan, tapi dia selalu menjadi pendengar yang baik saat kubutuhkan.

“Aku belum terlalu yakin. Nama anak itu Shinji, bukan Tora.”
“Orang bisa mengganti namanya. Kenapa tidak kau tanyakan langsung tentang itu pada Amano?”
“Aku bermaksud melakukan itu,” jawabku malas.
“Oh,” Shou membulatkan mulutnya, “Jadi itu alasan kenapa kau terlihat nervous?”
“Aku tidak nervous!” Aku mendesis pelan.
“Tapi itu yang kulihat.”
“Berarti matamu bermasalah.”
“Tidak usah kau ingatkan. Kau pikir kenapa aku memakai kaca mata?”
“Cis!” Aku menggulir bola mataku malas.

×÷~虎の瞳~÷×

Kedua halis tebalnya saling mendekat satu sama lain saat kedua mata itu melihatku menghampirinya yang terlihat tengah menyantap pesanan makan siangnya di cafetaria bersama laki-laki kecil pirang yang kutahu bernama Ogata Hiroto. Dia cukup dikenal di universitas ini karena hobinya yang suka pamer mobil mewah, hampir setiap bulan sekali bahkan dua kali dia mengganti mobilnya. Entah itu hanya mobil sewaan atau apa. Dan aku bersyukur tidak melihat Risa dimanapun di sekitar Amano. Perempuan itu sedikit berisik dan tampak selalu sinis padaku.

“Boleh aku bergabung?” Tanyaku, mengabaikan wajah terkejut laki-laki kecil pirang yang duduk di samping bangku yang kududuki.
“Kau! Si playboy cap kambing!” Dan mendadak aku merasa ingin nonjok makhluk kecil pirang itu mendengar celetukannya.
“Thanks.” Jawabku datar dan kembali beralih pada laki-laki di hadapanku, “pertama, kenalkan... Namaku Sakamoto Takashi, tapi aku lebih suka orang memanggilku dengan sebutan Saga,” aku memperkenalkan diri dan ekspresi wajahnya tetap tidak berubah setelah mendengar namaku.

“Dan apa yang membuatmu duduk di hadapanku..... Saga?” Dia menaikan satu alisnya.
“Kau tidak ingat sesuatu? Maksudku... Setelah kusebut nama lengkapku?”

Aku memakai nama marga Naomi-san sebagai margaku, dia sendiri yang menyuruhku untuk menggunakannya semenjak aku tidak tahu apa marga orang tuaku. Bahkan ia masukanku dalam daftar keluarganya.

“Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan,” tanggapnya tidak tertarik.
“Benarkah? Kau tidak pernah berhubungan dengan yang namanya Panti Asuhan Sumire? Atau Naomi-san?”
“Oi, bicara apa kau? Kenapa Tora harus berhubungan dengan panti asuhan?” Hiroto terlihat mengernyitkan dahinya.
“Mungkin saja dia anak angkat keluarganya?”
“Apa yang dia bicarakan, Tora?” Hiroto beralih pada temannya, “kau anak angkat keluargamu?”

Aku melihat Amano menghela nafasnya pelan, “katakan saja kalau ingin ber-buddy-buddy ria denganku. Tidak perlu membawa topik omong kosong untuk mengawali pembicaraan,” dia mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya dan memasukan satu batangan itu ke mulutnya.

“Aku hanya ingin memastikan kalau—”
“dan perlu kutegaskan,” dia memotong kalimatku sambil menyalakan pematik dan menyulut rokoknya, “aku tidak tertarik untuk berhubungan dengan kalangan rendah. Jadi, jauh-jauh dariku sebisamu, ok?”

Apa?!

“Aku mengerti, maaf sudah mengganggu waktu berhargamu tuan kalangan atas,” aku berdiri dari kursiku, tersenyum sambil menumpahkan segelas jus orange dari atas mejanya tepat di atas kepalanya, hingga cairan orange itu membasahi rambut hitamnya yang tertata begitu stylish dan mengaliri wajahnya yang sok itu.

“Oi, apa-apaan kau?!” Aku mendengar Hiroto.
“Aku tidak perduli apakah kau benar Shinji atau bukan, kau membuatku muak.”

Aku lihat dia mengusap wajahnya dengan telapak tangan, terlihat menahan kesal saat aku beranjak dari sana, mengabaikan makhluk pirang yang misuh-misuh mengataiku dengan macam-macam sebutan.

Benar, apa perduliku apakah dia Shinji atau bukan?
Aku marah karena anak cengeng itu menghilang seperti ditelan bumi setelah mendapatkan keluarga barunya. Aku marah karena dia melupakan Sumire dan juga Naomi-san yang sudah membesarkannya, menyayanginya sampai akhirnya dia mendapatkan keluarga. Tapi sebenarnya itu bukan urusanku kan? Aku hanya kasihan pada Naomi-san.

“Takashi... aku tidak akan melupakanmu. Aku pasti akan selalu mengirimimu surat.”

“Huh? Aku tidak butuh.” 

Aku sedikit tersenyum kecut.

Pembohong...

Tidak, tidak! Aku tidak ingin percaya kalau orang itu Shinji. Dia bukan anak cengeng itu. Dia bukan anak yang masih selalu saja tersenyum dan menguntil padaku meski aku selalu mengejek dan menjailinya, membuatnya menangis.


×÷~To.Be.Continued~÷×